Membangun Citra Brutal PKI Pasca 1965
- keren989
- 0
DEN HAAG, Belanda – “Gulung Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke akar-akarnya,” kalimat ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, sebagai warga negara Indonesia.
Kalimat awal itulah yang memicu kebencian dan mendorong tindakan brutal terhadap ratusan ribu orang. Kalimat ini hanyalah salah satu propaganda yang dibuat dengan cermat.
Sidang hari ketiga Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribune (IPT) atas tragedi 1965 mengungkap plot propaganda Soeharto dan rezim Orde Baru untuk melenyapkan PKI dari Indonesia. Di dalamnya, PKI ditampilkan sebagai dalang kudeta.
PKI adalah musuh negara yang berbahaya karena dua hal yang menjadi inti propagandanya dan masih hidup hingga saat ini: ateisme dan anti Pancasila.
Propaganda dilanjutkan dengan menggambarkan kebrutalan anggota PKI dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Anggota perempuan digambarkan tidak bermoral, hiperseksual dan sadis.
“Propaganda ini menyebar luas di masyarakat, dengan mudah menimbulkan ketakutan dan kemarahan terhadap PKI,” kata antropolog Universitas Amsterdam Saskia Wieringa.
Wieringa memandang isu anti-agama terkait PKI adalah isu politik, bukan isu agama. Hal ini dapat dilihat jika kita membalik halaman sejarah ke belakang beberapa dekade.
“PKI tidak selamanya bermusuhan dengan kelompok agama. Pada era kolonialisme Belanda, PKI bekerjasama dengan Haji Merah (Persatuan Islam Merah) dibawah pimpinan Haji Misbach untuk melawan Belanda. “Haji Merah meyakini Islam juga tentang keadilan sosial,” ujarnya.
Kedua kelompok ini bergabung karena menghadapi musuh bersama yaitu Belanda.
Konflik baru muncul setelah kemerdekaan.
“PKI, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), berhasil melakukan propaganda terhadap pemilik tanah di desa-desa yang sebagian besar adalah ulama. Mereka menyebut kyai itu setan desa. “Tentunya sangat merugikan para ulama,” jelasnya.
“Selain itu, Lekra (organisasi kesenian PKI) mementaskan lakon bertajuk Kematian Tuhan.”
Kemudian situasi memanas dan pecahlah peristiwa Madiun tahun 1948.
Sedangkan soal anti Pancasila tidak sepenuhnya benar. Jika mayoritas umat beragama di Indonesia menganggap sila pertama sebagai yang paling penting, maka PKI justru sebaliknya. Sila yang lain lebih penting dibandingkan sila yang pertama.
Plot Orde Baru membentuk citra brutal PKI
Menurut peneliti sekaligus dosen Universitas Gunadarma Wijaya Herlambang, proses tersebut bermula pada 1 Oktober 1965, ketika Soeharto menuduh PKI sebagai dalangnya.
Jenderal Omar Wirahadikusumah langsung melarang terbitnya semua media cetak, kecuali dua surat kabar milik militer, Berita Yudha dan TNI.
Berita Yudha dan pihak militer menerbitkan artikel yang berfokus pada kisah brutal PKI saat kudeta. Pembentukan gambar PKI yang kejam, atheis dan tidak bermoral dilancarkan di sini. Selain surat kabar, pemerintah mulai mengajak masyarakat untuk menumpas PKI melalui radio.
Kurang dari dua bulan kemudian, versi “pemerintah” mengenai insiden tersebut diterbitkan pada tanggal 30 September. Penulisnya adalah sejarawan militer Noegroho Notosoesanto yang ditugaskan oleh Jenderal AH Nasution.
“Hanya butuh 1,5 bulan untuk menulis. Buku itu diberi judul 40 hari sejak kegagalan G30S pihaknya mengulangi tudingan Soeharto bahwa PKI adalah pelaku kudeta tanpa dilakukan penyelidikan lebih lanjut. “Hal ini membuat buku tersebut tidak dapat dipercaya,” kata Wijaya di depan sidang.
Nugroho meresensi buku tersebut di Amerika Serikat. Atas perintah Jenderal Suwarto, ia pergi ke RAND Corporation dan menulis di sana di bawah pengawasan seorang agen CIA bernama Guy Pauker.
Dalam buku tersebut, Nugroho mengkonstruksi motif kudeta PKI. Ia tak lupa menggambarkan para pemimpin PKI sebagai politisi ambisius yang ingin menggulingkan Soekarno.
Buku ini menjadi kitab suci atau kertas putih Orde Baru – satu-satunya sumber sejarah tahun 1965 yang diakui pemerintah. Hal tersebut menjadi acuan produk propaganda selanjutnya, termasuk film Pengkhianatan G30S/PKI.
Bahkan, ada versi alternatif mengenai peristiwa 1965. Buku yang ditulis tiga akademisi Amerika, salah satunya Ben Anderson, selesai ditulis pada Januari 1966. Namun Orde Baru melarang buku tersebut beredar di Indonesia.
Sementara itu, propaganda melalui jalur budaya terus berlanjut tanpa henti. Pada tahun 1968, pemerintah membangun Museum dan Monumen Lubang Buaya. Pada tahun 1974 kewajiban Peningkatan P4 dimulai.
Pada tahun 1980-an, Nugroho menyelesaikan naskah filmnya G30S/PKI. Film ini dirilis pada tahun 1984 dan sejak itu semua anak sekolah harus menontonnya setiap tahun.
Pemerintahan Orde Baru juga menetapkan beberapa hari khusus untuk diperingati, seperti Hari Kesaktian Pancasila.
Buku teks sejarah telah ditulis ulang. Kurikulum sekolah memuat pelajaran wajib pendidikan moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa. PKI digambarkan sebagai pengkhianat yang sadis, sedangkan tentara menjadi korbannya.
Produk budaya juga menjadi media propaganda yang ampuh. Film propaganda selanjutnya didistribusikan, sebut saja Janur Kuning, Enam jam di JogjaDan Jakarta 1966: Sejarah Orde 11 Maret.
Dalam dunia sastra, karya-karya terbitan tahun 1965 yang menggambarkan kekejaman PKI dimuat di majalah Horison dan Sastra. Esai di media massa, novel, bahkan cerita rakyat turut andil dalam menyebarkan kebencian terhadap PKI.
Karena sumber sejarah yang satu ini, selama ini kita hanya memikirkan satu hal, bahwa PKI adalah pengkhianat dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. —Rappler.com
BACA JUGA