Membeberkan implementasi proyek e-KTP yang dipimpin oleh Gamawan Fauzi
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi turut hadir sebagai salah satu dari delapan saksi dalam sidang lanjutan kasus megakorupsi pengadaan KTP Elektronik pada Kamis, 16 Maret. Pria yang menjabat Menteri selama empat tahun itu datang didampingi keluarga dan para pembantunya.
Mengenakan kemeja putih, Gamawan tak henti-hentinya tersenyum kepada awak media. Sejak tiba di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Gamawan menarik perhatian media karena dalam dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ia disangkakan menerima suap sebesar US$4,5 juta atau setara Rp60 miliar dan Rp50 juta. Angka tersebut merupakan jumlah terbesar yang diterima pejabat di Kementerian Dalam Negeri.
Selain Gamawan, uang proyek KTP Elektronik juga diyakini mengalir ke lima orang lainnya di Kementerian Dalam Negeri. Tiga di antaranya yakni Diah Anggraini, Irman, dan Sugiharto hadir sebagai saksi dalam persidangan yang berlangsung hampir 12 jam itu.
Di hadapan majelis hakim, Gamawan mengatakan proyek pengadaan KTP Elektronik bukan inisiatifnya. Ia mengaku hanya menjalankan tugas Menteri Dalam Negeri sebelumnya, Mardianto yang memutuskan menjadikan KTP Elektronik nasional.
Gamawan mengaku ragu saat Kementerian yang dipimpinnya diminta merealisasikan proyek tersebut. Ia berdalih sebagai orang baru di Jakarta, dirinya belum paham cara mengerjakan proyek yang anggarannya mencapai Rp 5,9 triliun itu. Sikap enggan tersebut bahkan disampaikan Gamawan di hadapan Wakil Presiden Boediono.
“Saya khawatir karena saya baru di Jakarta, padahal menurut undang-undang Kementerian Dalam Negeri, siapapun Menterinya, dia juga berperan sebagai pengguna anggaran,” kata Gamawan menjawab pertanyaan Ketua Hakim Jhon Halasan Butar – Butar Kamis lalu.
Sayangnya, Boediono tetap memutuskan proyek pengadaan KTP Elektronik sebaiknya dikerjakan Kementerian Dalam Negeri. Boediono berdalih saat itu Direktorat Jenderal yang menangani masyarakat sipil berada di Kementerian Dalam Negeri.
Rapat ini kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden untuk membentuk tim pengarah. Menurut Gamawan, tugas tim adalah mempercepat proses pengerjaan KTP Elektronik agar dapat selesai tepat waktu.
Karena data di KTP Elektronik rencananya juga akan digunakan untuk keperluan pemilu tahun 2014, kata Gamawan.
Selain tim pengarah, Kemendagri juga telah membentuk tim teknis proyek KTP Elektronik yang melibatkan 15 kementerian dan lembaga. Di dalamnya, kata Gamawan, ada Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara (BIN), kepolisian, Badan Sandi Negara, dan BPPT. Tim yang diketuai oleh Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto bertugas memberikan masukan dalam pengerjaan proyek tersebut. Salah satunya adalah soal teknologi yang digunakan.
Uniknya, meski saat itu Gamawan menjabat Menteri Dalam Negeri, ia memilih melimpahkan kewenangan kepada pejabat eselon I dan eselon II untuk mengerjakan proyek KTP Elektronik. Gamawan mengatakan, di bawah kepemimpinan Mardianto, usulan anggaran mencapai Rp6,6 triliun. Atas dasar pendelegasian wewenang tersebut, ia mengaku tidak mengetahui alasan anggaran yang disepakati sebesar Rp 5,9 triliun.
Ia pun mengaku belum mengetahui jika ada upaya penggelembungan anggaran pada proyek KTP Elektronik.
“Saya tahu nominal anggaran aslinya saat itu Rp 6,6 triliun karena saya menemukan dokumen diskusi panjang Mendagri dengan Bapenas, Menteri Keuangan, dan DPR. “Ini untuk usulan 2011-2012,” ujarnya.
Penerima Penghargaan Bung Hatta itu kemudian meminta keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memantau Rencana Anggaran Biaya (BPA) proyek KTP Elektronik. Padahal, sebelumnya RAB tersebut sudah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya, kata Gamawan, tidak ada yang mencurigakan, termasuk penggelembungan anggaran.
Ketua KPK saat itu Busyro Muqodas meminta agar proses tender proyek KTP Elektronik dilakukan secara elektronik. Sistem tender kemudian selesai dalam waktu 15-20 hari.
Belakangan, Kementerian Dalam Negeri menetapkan pemenang tender proyek tersebut adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari lima perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra. Untuk mencegah kecurigaan terhadap praktik KKN, Gamawan kembali meminta agar proses pemenangan tender diaudit oleh LTD. Bahkan, pada tahap itu ada pengajuan banding dari perusahaan yang dikalahkan pada 5 Juni 2009 melalui proses tender.
Namun Gamawan tetap menandatangani surat penetapan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender pada 21 Juni 2009.
“Surat penetapan pemenang ini saya tandatangani setelah berkonsultasi dengan Kepala Biro Hukum sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 55 dan 54,” alasan Gamawan.
Usulan DPR
Permasalahan muncul ketika sumber pendanaan proyek diubah dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi dana APBN. Menurut Gamawan, ada perubahan sumber anggaran atas permintaan DPR usai rapat kerja Kementerian Dalam Negeri dan anggota Komisi II digelar pada 11 November 2009.
Pada poin terakhir penutup rapat dijelaskan bahwa Komisi II meminta Kementerian Dalam Negeri mengupayakan alokasi dana proyek KTP Elektronik dari dalam negeri.
DPR meminta upaya dilakukan dengan anggaran APBN murni karena sebelum ada PHLN, kata Gamawan.
Ia mengaku tak ingat alasan DPR meminta sumber anggaran diubah menggunakan APBN.
“Tentu yang bisa menjawab mengapa sumber anggaran berubah dari hibah ke APBN adalah DPR. “Yang lainnya saya tidak ingat apakah anggota Komisi II DPR siap mengusulkan perubahan sumber pendanaan,” ujarnya.
Kementerian, kata Gamawan, hanya menggunakan anggaran tersebut. Yang membahas sumber pembiayaan adalah Menteri Keuangan dan DPR.
Menolak menerima uang
Majelis Hakim menilai nominal anggaran suatu proyek yang sangat besar rentan disalahgunakan. Apalagi, Gamawan mengaku dalam persidangan tidak mengetahui apakah ada uang anggaran Rp 5,9 triliun yang tercecer dan masuk ke kantong pribadinya. Pernyataannya ia mendasarkan pada laporan LTD yang diterimanya.
“Saya belum pernah mendapat laporan (dari LTD) ada uang negara yang tercecer hingga Rp 2,3 triliun. “Saya juga tidak mendapat laporan berapa anggaran yang digunakan untuk proyek pembuatan KTP Elektronik,” kata Gamawan.
Pernyataan ini membingungkan majelis hakim. Karena posisinya saat itu sebagai Kapten Kementerian Dalam Negeri, ia terkesan kurang mengawasi penggunaan anggaran.
Namun Gamawan dengan tegas menolak menerima sejumlah uang dari proyek KTP Elektronik tersebut. Tuduhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibacakan pada sidang pertama Kamis 9 Maret lalu dinilai tak lebih dari fitnah.
Gamawan bahkan berani bersumpah akan dilaknat Tuhan dan mendoakan kematian seketika jika mendapat satu rupiah dari proyek KTP Elektronik.
“Jika saya mengkhianati bangsa, saya mohon doanya agar Allah SWT melaknat saya. “Saya mohon bantuannya kepada masyarakat Indonesia agar saya segera meninggal jika terbukti memiliki uang US$4,5 juta dan Rp. 50 juta,” kata Gamawan dengan nada emosional.
Dijelaskannya, dana Rp 50 juta itu didapat dengan menjadi pemateri di lima provinsi. Sesuai aturan, seorang menteri akan mendapat gaji per jam sebesar Rp5 juta.
“Kalau saya bicara dua jam Rp 10 juta dan saya bicara di 5 provinsi. “Ini uang resmi,” katanya.
Sementara itu, uang senilai Rp1,5 miliar yang diterima dari kakaknya, Afdal Noverman juga diklaim bukan hasil proyek KTP Elektronik. Menurutnya, uang tersebut merupakan pinjaman untuk keperluan berkebun dan biaya pengobatan kanker usus besar di Singapura.
“Uang Rp 1 miliar itu saya laporkan di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) saat saya masih menjabat menteri. Sedangkan sisanya Rp300 juta dan Rp200 juta diberikan saat saya pensiun, ujarnya.
Gamawan menjelaskan, Rp1 miliar digunakan untuk membeli tanah di kawasan Bogor. Sedangkan biaya beternak sebesar Rp300 juta. Sisanya sebesar Rp 200 juta dipinjam untuk pengobatan rawat jalan di Singapura pada bulan November 2014.
“Pada saat itu, usus saya terpotong dan saya harus minum obat yang mahal. Sementara biaya operasionalnya belum bisa dibayar dengan asuransi karena biayanya mencapai ratusan juta, kata Gamawan.
Alhasil, ia meminjam uang kepada adiknya dan membayarnya kembali dengan menjual tanah di Bogor.
Gamawan mengatakan, Afdal bekerja sebagai pedagang di Tanah Abang sehingga bisa meminjam uang dalam jumlah besar.
Proyek e-KTP sempat tertunda
Meski memakan anggaran yang sangat besar dan melalui proses awal yang terlihat rapi, namun tetap tidak menjamin proyek tersebut akan selesai tepat waktu. Semula, proyek KTP Elektronik dijadwalkan selesai pada akhir tahun 2012, seperti yang dilaksanakan setahun sebelumnya.
Namun yang terjadi, pengerjaan proyek tersebut ditunda hingga Desember 2013. Parahnya, setelah Gamawan lengser dari jabatannya pada 22 Oktober 2014, proyek tersebut tak kunjung selesai.
Data survei yang semula ditargetkan pada 172 orang tidak tercapai. Menurut Gamawan, data masyarakat yang tercatat hanya sekitar 145 juta.
“Tapi saya juga tidak ingat persis berapa data yang tercatat. Mungkin ada 145 juta. Namun pendataan juga dilakukan secara offline bagi warga yang tinggal di daerah terpencil, kata Gamawan.
Hakim semakin kesal karena meski banyak uang yang dicuri, proyek pengadaan KTP elektronik belum selesai. Ia kemudian menanyakan kepada Gamawan apa saja kesalahan dalam pelaksanaan proyek tersebut.
“Yang Mulia, laporan (keuangan) sudah diperiksa tiga kali oleh LTD dan tidak ada kesalahan,” ujarnya.
Gamawan pun mengaku tak tahu bagaimana mempertanggungjawabkan laporan keuangan yang dibuat anak buahnya setelah separuh anggaran proyek diketahui korupsi. Pengunjung pun terlihat geleng-geleng kepala saat mendengar banyak warga Gamawan yang tidak mengetahui hilangnya separuh anggaran tersebut.
Sidang mega korupsi pengadaan KTP Elektronik akan dilanjutkan Kamis depan dengan agenda pemeriksaan saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irene Putri, dalam persidangan Kamis pekan lalu mengatakan, mereka hanya ingin membuktikan perbuatan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Sidangnya masih lama, karena total kami akan memanggil 133 saksi, ujarnya usai persidangan. – Rappler.com