• September 24, 2024

Membuat ulang kata-kata melalui kolase: Mengapa ‘perempuan’, bukan ‘perempuan’?

JAKARTA, Indonesia — Pernahkah Anda berpikir bahwa hal-hal sederhana seperti kata-kata, atau bahasa sehari-hari, ternyata memiliki makna yang lebih luas dari yang selama ini Anda pelajari? Seperti kata “Perempuan” dan “Perempuan” yang walaupun memiliki arti yang sama namun memberikan kesan yang berbeda.

Pemikiran ini mendorong Ika Vantiani, seorang pembuat kolase, untuk memulai proyek Kata-kata untuk Wanita.

“Saya awalnya mengadakannya pada bulan Oktober 2015 bengkel di Australia,” kata Ika saat ditemui Rappler di Plaza Indonesia, Sabtu, 28 Mei lalu. Program kolaborasi artis kedua negara jika disingkat menjadi “Wanita”, atau bengkel Indonesia-Australia.

Ika tak kaget dengan nama tersebut, namun beberapa temannya punya persepsi berbeda. Dia mendapat banyak pertanyaan, mengapa Anda menggunakan kata “Istri” dan bukan “Istri”?

Arti kata-kata

Padahal, kedua kata ini memiliki arti yang sama, yakni merujuk pada perempuan. Namun setelah Orde Baru, ada makna yang berbeda.

Wanita dianggap sebagai kata yang merendahkan, bahkan diasosiasikan dengan “wanita bergaya” atau bisa ditata. Sedangkan perempuan yang berasal dari kata “empu” dianggap terlalu galak.

“Disadari atau tidak, aku mengerti. Saya juga kalau ditanya perempuan atau perempuan, jawab yang kedua. “Padahal maknanya sama,” kata Ika.

Dia yakin ada banyak orang yang memiliki pandangan yang sama, dan memutuskan untuk memulai proyek Words for Women.

Mengapa kolase?

Rappler berpartisipasi dalam satu sesi bengkel kolase, sampai sesi terakhir kemarin kuota selalu penuh. Pada pukul 13.00 hingga 15.00 WIB, sepuluh orang duduk bersama untuk merekatkan potongan-potongan gambar menjadi satu karya yang mereka inginkan.

Di depan masing-masing peserta terdapat selembar karton dan HVS putih, gunting dan lem. Selain itu, ada juga majalah dengan berbagai topik. Sebagian besar halaman dipotong dari sesi tersebut bengkel sebelum.

Ika menjelaskan, karton putih ukuran A5 akan menjadi dasar area kolase, sedangkan kertas putih akan menjelaskan alasan di balik gambar dan kata yang dipilih.

“Saya juga ingin memperkenalkan teknik kolase ini, karena masih banyak orang yang belum mengetahuinya,” kata Ika yang telah menjadikan kolase sebagai salah satu bentuk seni sejak tahun 2008. Berbeda dengan lukisan atau patung yang membutuhkan teknik tinggi, kolase bisa dengan mudah dilakukan oleh siapa saja.

Peralatannya juga sederhana, cukup kertas apa saja, gunting, lem, dan potongan gambar. Semuanya bisa diakses dari mana saja, tanpa harus pergi secara spesifik toko seni dan perlengkapan.

“Ini kegiatan sederhana dan sehari-hari, tapi bisa membuahkan hasil seperti itu,” ujarnya.

Karena tekniknya yang mudah dan sederhana, banyak pesertanya bengkel siapa yang ketagihan, ikuti terus. Mereka tidak merasa terintimidasi dengan persoalan teknik dan keterampilan karena dasar-dasarnya sederhana saja, yaitu menggunting dan menempel.

Diskusi makna

Katanya gpp, yang sering diucapkan oleh wanita karena terlalu malas mengutarakan pikirannya.

Setiap peserta yang telah selesai akan diminta menceritakan arti kata yang dipilihnya. Sesi ini sangat menarik karena peserta dapat berbicara tentang bagaimana mereka mengartikan kata-kata, dari berbagai bahasa.

Hari itu Shera Rindra salah satu peserta memilih kata “baik”.

“Betapa baiknya kata-kata membentuk wanita seperti sekarang ini. “Kalaupun maknanya baik, namun menjadi rantai yang mengikat perempuan untuk melakukan segala hal,” kata Ika sambil menunjukkan karyanya.

Dia menggunting gambar seorang wanita, yang kemudian dirantai. Kata “baik” diambil dari halaman majalah lain yang dipotong di tubuh wanita tersebut.

Ada pula Erodio, mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang memilih kata “pertiwi”. Ia tidak memasukkan kata tersebut dalam karyanya, namun digambarkan dalam kolase yang membentuk tanah dan tumbuhan.

Dia adalah satu-satunya pria yang hadir pada sesi tersebut. “Saya suka kata ‘Pertiwi’ karena menunjukkan sisi lembut namun agung,” kata Erodio.

Oleh karena itu, ketika berbicara tentang bumi, banyak orang yang menyebut dengan istilah “Ibu Pertiwi”.

“Banyak juga yang tidak menggunakan kata sehari-hari, tapi kata lokal yang saya baru tahu maksudnya,” kata Ika.

Sesi-sesi ini sering kali menambah pengetahuannya, serta peserta lainnya, tentang bagaimana kata-kata dan bahasa secara tidak langsung merendahkan perempuan.

Salah satu peserta menuliskan arti kata Jro dari Bali.

Sebuah kata yang sering digunakan untuk merendahkan perempuan keturunan Tionghoa.

Terkadang ada juga yang berbagi pengalaman pribadinya. Tentang bagaimana satu pernyataan sederhana, namun dengan intonasi dan konteks tertentu, bisa menjadi pisau yang melukai hati.

“Setelah dibuat kolase-kolase ini, mereka bercerita dan menjadi pelepas emosi. Banyak yang seperti itu,” kata Ika.

Konsep ini rupanya berhasil menyita perhatian publik. Berdasarkan pantauan Rappler, banyak pengunjung mal yang sengaja mampir untuk membaca dan melihat karya-karya yang dipamerkan. Tak jarang orang memotret kata-kata yang mungkin ada hubungannya dengan kata tersebut.

“Plaza Indonesia pun akhirnya memperpanjang pameran ini hingga Juli,” kata Ika sambil tersenyum bahagia.

Buatlah buku

Seorang pengunjung usai berfoto dengan salah satu karya kolase workshop sebelumnya.

Karya-karya sejak tahun 2015 ini akan disusun dan dikumpulkan dalam satu buku pada bulan Desember 2016. Ika mengaku masih belum bisa membeberkan banyak karena belum ada buku khusus yang berisi kumpulan kolase. —Rappler.com

Hongkong Pools