Memoar Anak: Pulang Ke Mana Saat Idul Fitri?
keren989
- 0
Idul Fitri. Ke mana harus pulang? Sebagai kolong (tentara anak) yang semi nomaden, saya berpindah-pindah dari satu asrama tentara ke asrama tentara lainnya di Purbalingga, Purwokerto, Pekalongan dan Gombong.
Setelah meninggalkan asrama untuk bersekolah dan kemudian berkeluarga dan bekerja, saya tinggal di beberapa kota: Bogor, Corvallis-Oregon, Makassar, Jakarta, Washington DC dan Manila. Masing-masing tempat memberikan keterikatan emosional, namun tidak cukup kuat sebagai tempat untuk dituju.
Konrad Lorenz, ahli burung (ahli burung) dan pemenang Hadiah Nobel Fisiologi dan Kedokteran tahun 1973, menemukan prinsip tersebut mencetak. Lorenz dikenal sebagai Tuan etologi atau studi tentang perilaku hewan.
Dia menelitinya tidak tahu malu burung-burung (yaitu burung yang cepat meninggalkan sarangnya) menempel pada suatu tempat atau benda pada saat menetas atau lahir. Prinsip ini berlaku untuk beberapa spesies lain, misalnya ikan bermigrasi dan beberapa suku nomaden, seperti di Mongolia.
Menggunakan prinsip Lorenz, rumah tua di Kratonan Solo adalah tempat terdekat saya pulang.
Rumah tua di Desa Kratonan (sekarang Jl. Gatot Soebroto) Solo ini berukuran cukup besar. Masuk ke regol (gapura) kecil, di sebelah kiri terlihat bangunan joglo dengan empat tiang utama. Dua di paviliun dan dua lagi di lembah.
Rumah joglo Jawa biasanya terdiri dari pendopo (ruangan depan), pringgitan (ruang santai), berhenti (ruang dalam), dan gandok (kamar di kiri-kanan rumah induk) yang menjadi kamar tidur. Ini adalah rumah keluargaku yang dibangun oleh kakek buyutku, RM Panji Mangkuharsodo, untuk ibunya, Nyai Bei Amongsari.
Eyang Panji dulunya tinggal di kompleks para bangsawan di daerah itu”di dalam bentengatau Baluwarti. Sekitar tahun 1860 atau era Pakubuwono IX, ia berpindah dan membangun usaha rumahan dan batik di Kratonan.
Saat itu komunitas perajin batik mulai berkembang di wilayah Kecamatan Kratonan dan Kauman karena wilayah tersebut termasuk “lingkaran kedua” kompleks Kraton Kasunanan. Kauman merupakan tempat tinggal para ulama kerajaan dan keluarganya.
Beberapa nama desa masih menunjukkan toponimi (asal usul nama tempat), misalnya Desa Pengulon (penghulu) dan Desa Modinan (modin).
Saat itu Kauman dan sekitarnya dalam keadaan sejahtera. Industri batik dan fesyen menarik perajin lain untuk tinggal di sini. Mereka menjadi kawula dalem (rakyat raja) yang menyuplai kebutuhan sandang keraton, sebagai para Yunani (penjahit) yang tinggal di Desa Gerjen dan penyulam di Desa Blodiran.
Industri batik pun menarik berbagai suku dan bangsa untuk menetap di sekitar tempat tinggal Eyang: dari Kauman, Kratonan, hingga Gading di selatan. Artinya tetangga sekitar rumah nenek saya terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan profesi.
Keluar dari regol sebelah kiri, terdapat deretan rumah keluarga suku Banjar, Kalimantan, yang berprofesi sebagai penjahit dan penyulam. Lalu ada deretan toko milik warga keturunan Tionghoa: Nyonyahe Kidul Regol (wanita di selatan gerbang), ibunya Engkoh Kie dan Engkoh Sien.
Wanita gemuk yang selalu mengenakan kebaya encim itu secara tidak resmi menjadi ibu angkat saya. Dia memanggilku Yan dengan logat Hok Kian yang artinya burung layang-layang. Nama tersebut cocok karena saya bertubuh kecil, berkulit hitam, sangat lincah, dan tidak bisa diam.
Koh Kie dan Koh Sien juga menyukai saya, tetapi sering kesal karena saya sering mengobrak-abrik koleksi rekaman Elvis Presley saya. Koh Hun, keponakan Mamah Kidul Regol yang merupakan guru kuntau, sangat menyukaiku. Sekali dengan upacara menoya atau”bayar kui”—dengan rasa hormat terhadap langit dan bumi—dia menyuruhku mengangkatnya menjadi guru. Aku menurut karena Koh Hun selalu memberiku kue atau permen setelah aku selesai latihan.
Dengan melintasi jalan kecil Kartopuran, dengan rumah Pak. Penatu (laundry) dan pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI), Nyah Sien Giem berjualan es krim, kemudian rumah Nyah Perot (mulutnya agak sipit), marga Liem berjualan sembako dan pembuat permen. Nyonyah ini mempunyai dua orang gadis cantik: Yayan, Titin, dan dua orang laki-laki ganteng, Lilik dan Hokie.
Di sebelah kanan, tepat di samping rumah Eyang, tampak keluarga Bah Cokek bernama Kiok, seorang pemilik becak bersama anak-anaknya: Eng, Tie, Lan, Bie, Ing, Siang, Wie, dan lain-lain. Akibat percampuran dengan suku Jawa, generasi kedua atau ketiga keluarga keturunan Tionghoa di Kratonan tidak lagi bermata sipit dan berwajah menarik seperti Yayan dan Enci Kiok Tie yang berpenampilan seperti bintang film Hong Kong: Betty Ting Pei.
Di seberang jalan hiduplah sebuah keluarga dari suku Banjar, Kalimantan. Abah Anang berjualan batu akik, batu mulia dan permata yang selalu memakai kaos oblong dan suka memamerkan perut buncitnya. Perutnya yang begitu besar dan seolah terpisah dari badannya, sehingga harus diberi nama sendiri.
Saat Abah Anang memperkenalkan dirinya, setelah memperkenalkan namanya sendiri, Abah memperkenalkan perutnya. Saya lupa nama perutnya.
Kakak Abah Anang bernama Abah Ismail, keduanya gemuk dan perutnya gendut. Saat kedua kakak beradik ini berbincang, perut mereka pun tampak saling menyapa dengan akrab. Jadi sepertinya ada empat orang. Saya juga tidak ingat nama perut Abah Ismail.
Sebagai seorang anak yang hiperaktif dan tidak bisa diam, sekitar desa Kratonan, Serengan, Kartopuran, Jayengan bahkan Kali Larangan menjadi tempat saya mengembara dan blusukan.
Di desa-desa belakang Kratonan terdapat perajin-perajin kecil (pengrajin) dan berbagai macam masyarakat: bidan, tukang cacar, pembatik, pemahat kayu, pembuat gitar, pembuat mebel, perhiasan, untuk pergi (pembuatan keris warangka), penenun lurik, peminum ciu (arak buatan Bekonang), pelacur, pemadat, bahkan pemahat kijing (batu nisan).
Saya sering menemani nenek berkunjung ke sana untuk bertemu dengan Mbah Iman, salah satu perajin batik klasik. Pada dasarnya semua kebutuhan “dari awal hingga akhir” ada di Kratonan.
Salah satu favorit saya adalah menyaksikan Pak Mranggi membuat keris warangka gaya Solo yang besar dan kuat: ladrang, branggah dan gayaman; tidak seperti gaya Yogya yang lebih kecil. Warangka terbuat dari kayu-kayu langka dan pilihan: cendana, nagasari dan timoho. Di Kauman tersebar langgar (sura), rumah para kyai, jauh (chatib), dan santri.
Jadi, saya dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas campuran dari banyak dunia eksotik profan dan sakral, berbagai jenis orang dan profesi. Saya menemukan suasana tersebut lagi ketika saya kemudian melakukan perjalanan ke komunitas dan pasar di Nigeria Utara, Mesir, Iran, Uganda, Tunisia, Turki, Uzbekistan, Kyrgyzstan dan Afghanistan.
Keberagaman di Kratonan tidak hanya terbatas pada ras dan suku, namun juga agama dan kepercayaan. Di rumah Kratonan, Eyang menganut agama Islam Jawa dan memiliki nuansa Jawa yang kental seperti ajaran Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Sebagai penganut sufi Islam Jawa, Eyang juga kerap dikaitkan dengan Kyai Siraj Umar, seorang sufi, dan ulama besar Jamsaren. Banyak Kyai besar yang bersekolah di Pondok Pesantren Jamsaren: Kyai Dimyati (pendiri Pondok Pesantren Termas, Pacitan), Syech Ahmad al-Hadi (tokoh Islam terkenal di Bali), Kyai Arwani Amin (Kudus) dan Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh). dari Pondok Pesantren Langitan Tuban).
Kyai Siraj sering datang ke rumah Kratonan untuk berdiskusi dengan Eyang. Kyai ini sangat humanis dan pluralistik, tidak membeda-bedakan agama atau suku dalam pergaulannya, mirip dengan Gus Dur. Makam Kyai Siraj terletak bersebelahan dengan makam Kakek di kompleks pemakaman Haji; tak jauh dari makam Nenek di Pracimalaya, Pajang.
Kerukunan umat Islam-Kristen di Kratonan ditunjukkan dengan adanya langgar (masjid) Al Hikmah yang menyatukan halaman dengan Gereja Kristen Jawi (GKJ) tepat di depan rumah Eyang. Masjid Al Hikmah dibangun pada tahun 1947 di atas tanah milik Haji Zaini, sedangkan gedung GKJ dibangun lebih awal pada tahun 1939.
Kedua gedung tersebut memiliki alamat pos yang sama: Jl. Gatot Soebroto 222. Sebelumnya, yang memisahkan kedua bangunan ini hanyalah tempat wudhu laki-laki yang berada di dekat pagar gereja. Kini, sebagai tanda kerukunan umat beragama, telah dibangun monumen berbentuk lilin tepat di garis batas masjid dan gereja.
Masjid ini dulunya sangat sederhana, menandai waktu salat hanya dengan genta kayu dan gendang. Azan tanpa pengeras suara. Suara muazin Pak Tukiyo terdengar mengiringi suara Dandanggula Tlutur yang sangat sedih.
Dalam tradisi lagu Jawa, cengkok digunakan untuk menggambarkan kematian. Di pendopo, Kakek sering mendengarkan adzan. Eyang mengatakan: “Azan bukan sekedar azan, tapi juga ajakan kepada manusia untuk kembali ke ‘ini dan itu‘ (asal mula penciptaan)”.
Hidup adalah perjalanan dari satu batu loncatan ke batu loncatan lainnya, hingga akhirnya kembali ke asal mula.
Kedua tempat ibadah ini, khususnya gereja yang mempunyai halaman luas, menjadi tempat bermain saya. Di tempat itu tumbuh pohon jambu yang banyak buahnya dan pohon delima di pagar gereja. Tanpa minta izin kepada Pendeta, saya bergelantungan di pohon, seperti monyet memetik jambu biji. Ia hanya tersenyum dan kadang malah meminta jambu biji.
Masjid dan gereja semakin asyik bila ada festival dan hari raya keagamaan. Selama bulan puasa saya selalu makan runtuh (bubur, kurma, dan jajanan) di masjid, padahal puasanya hanya setengah hari (puasa drum). Jika ini hari Natal, saya ikut pesta Natal di gereja dan menyanyikan lagu-lagu Natal malam suci dalam bahasa Jawa.
Selain menemani Kakek menemui para pembatik, mengejar layang-layang rusak, dan sesekali berkelahi dan membuat onar di desa Kratonan, saya suka membaca komik di rumah Yayan, gadis Tionghoa cantik itu. Dia berumur sembilan tahun dan saya tujuh tahun. Kami berdua sering membaca buku di antara tumpukan kantong teh jawa beraroma melati di gudang belakang.
Yayan mempunyai kulit seperti marmer, rambut lurus hitam legam. Ia terlihat manis saat mengeja kalimat dengan menggerakkan bibirnya yang sedikit mengerucut seperti ibunya-Nyah Perot. Dari kulitnya yang putih tercium harumnya bunga melati dan dari bibir merah jambunya tercium aroma manisan buah angco atau ceremai. MMMM.
Dilahirkan dan dibesarkan dalam komunitas yang beragam dan eklektik ini adalah sebuah berkah. Pengalaman ini membuka diri saya dan mudah beradaptasi dengan berbagai budaya dan hubungan, baik lokal, nasional, dan internasional. Akan menjadi modal besar untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai suku dan bangsa di berbagai negara di masa depan dalam hidup saya.
Menjelang akhir tahun 1962, setelah tamat kelas 3 di SR Kawatan, akhirnya saya pindah mengikuti ayah saya ke Yonif 431 di Bojong, Purbalingga. Kami meninggalkan rumah tua itu, menjadi saksi sejarah keluarga dan Nenek yang sangat kami cintai.
Selama sepuluh tahun berikutnya saya hidup sebagai adik kelas yang berpindah-pindah di asrama, barak, barak atau garnisun tentara. Namun hampir setiap lebaran, kami sekeluarga mudik ke rumah Eyang di Kratonan.
Pada tahun 1980-an, rumah di Jalan Kratonan dijual karena alasan warisan. Namun setiap saya berkunjung ke Solo, saya selalu menyempatkan diri untuk pergi ke sana. Rumah tua itu dirobohkan dan meninggalkan kenangan pahit dan sedih.
Gedung regol dan pendapa diubah menjadi bengkel sepeda motor dan rumah makan mie Surabaya milik A Gien. Kami sekeluarga pindah rumah ke Kartasura, namun setelah ayah dan ibu meninggal, tradisi mudik ke Solo pun berakhir. —Rappler.com
Artikel di atas merupakan cuplikan memoar Rusdian Lubis yang berjudul “Anak-anak di Kaki Gunung Slamet”. Rusdian sekarang menjadi seseorang pemerhati lingkungan. Beliau pernah bekerja di pemerintahan, lembaga internasional (Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia) dan merupakan Eisenhower Fellow.