Mempertanyakan kebebasan pers di Papua Barat
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Wartawan Papua umumnya menghadapi ancaman, intimidasi dan kekerasan.”
JAKARTA, Indonesia – Saat dunia merayakan Hari Kebebasan Pers, seorang jurnalis media lokal dipukuli di Papua Barat. Setelah Yance Wenda meliput penangkapan anggota KNPB, ia didekati anggota Polres Jayapura dan dipukuli tanpa penjelasan apa pun.
Meskipun kisah pemukulan atau kekerasan terhadap awak media merupakan hal yang biasa terjadi di Indonesia, Papua Barat adalah kasus yang istimewa. Tak hanya jurnalis lokal, jurnalis asing pun kesulitan mengaksesnya, padahal Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjanjikan keterbukaan akses bagi media negara lain untuk memberitakan West Papua.
Laporan Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa bidang ini masih dianggap sulit. “Wartawan Papua umumnya menghadapi ancaman, intimidasi, dan kekerasan dari aparat keamanan dan aparat pro-kemerdekaan ketika memberitakan korupsi, pelanggaran HAM, perampasan tanah, dan topik sensitif lainnya,” kata mereka dalam laporan kebebasan pers yang ditulis akhir April lalu. di Indonesia. .
Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, terdapat 15 kasus intimidasi terhadap jurnalis lokal di Papua sejak tahun 2015. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari pelarangan liputan, intimidasi, hingga pelarangan siaran di suatu stasiun radio. Penyebabnya bisa juga karena pihak berwenang atau pemerintah daerah tidak menyukai pemberitaan media atau jurnalis atau karena dianggap mempunyai motif tertentu.
Sementara untuk kantor berita asing, dua jurnalis dideportasi dari Prancis pada bulan lalu. Sebelumnya, bahkan setelah Jokowi mengumumkan akses gratis bagi kantor berita asing yang terakreditasi pada bulan Mei 2015, sejumlah jurnalis terus menghadapi masalah.
Tak hanya itu, 8 situs berita lokal juga ditutup tanpa alasan yang jelas. “Selama ini diduga ada unsur separatis,” kata Ketua LBH Press Asep Komaruddin, Selasa, 2 Mei.
Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia, Ketua Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan upaya pemblokiran sudah dilakukan sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhyono. Saat itu, sejumlah blog tentang Papua juga belum bisa diakses.
Menurutnya, blog atau berita lokal tentang Papua sangat penting sebagai alat kampanye. Beberapa di antaranya memaparkan langsung kondisi sosial di daratan Cendrawasih yang luput dari perhatian kantor berita besar.
“Sekarang kita bisa melihat situasi di Papua di media sosial. Mereka mengirimkannya langsung tanpa mengedit. “Ini bagian dari hak Internet,” ujarnya pada acara Free Press in West Papua di Hotel Atlet Century, Jakarta. Pemblokiran, lanjutnya, merupakan pelanggaran terhadap hak berinternet seseorang.
Momen Hari Kebebasan Pers Sedunia ini penting karena Jokowi sendiri sudah menjanjikannya sebelumnya.
Sedangkan untuk pemblokiran sendiri, LBH Press meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika segera membuka atau menormalisasi situs yang diblokir tersebut. Juga memulihkan hak dan kerugian yang dialami selama situs tidak dapat diakses.
Juga untuk menciptakan mekanisme yang transparan mengenai pemblokiran situs-situs yang menghormati prinsip hak asasi manusia, kata Asep. Kedepannya, mereka juga harus berhenti memblokir situs-situs yang mengandung konten kritis, karena pemblokiran merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
—Rappler.com