Mempertanyakan tekanan massa dalam kasus penodaan agama
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Apakah agama menjadi lebih sakral karena dilindungi?”
JAKARTA, Indonesia – Hasil kajian SETARA Institute menemukan besarnya faktor tekanan massa sangat menentukan dalam penyelesaian kasus penodaan agama. Kebanyakan kasus yang tidak melibatkan banyak orang berakhir dengan damai di luar pengadilan.
Dari 97 kasus penodaan agama yang terjadi sepanjang 1965-2017, hanya 35 kasus yang tidak melibatkan tekanan massa. “Biasanya dimediasi oleh polisi. “Seperti yang dikatakan, kalau biaya perkaranya mahal, akhirnya ada pihak yang mencabut laporannya,” kata Peneliti SETARA Institute Halili, Kamis, 11 April 2017 di Jakarta.
Dari kasus-kasus tersebut, 14 kasus dimediasi di luar pengadilan dan berakhir tanpa adanya tindak pidana. Sementara bagi yang menjalani proses persidangan, terlapor telah dinyatakan bebas sebanyak empat kali.
Sorotan tekanan massa semakin terlihat dalam kasus yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Aksi yang melibatkan ribuan orang ini dilakukan hampir setiap bulan hingga menjadikannya tersangka hingga dinyatakan bersalah.
Misalnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberi tenggat waktu dua minggu kepada polisi untuk menyelesaikan penyidikan kasus ini. Batas waktu ini merupakan jawaban atas tuntutan aksi 411 yang terjadi pada November tahun lalu.
“Ini jelas merupakan intervensi politik. Tekanan yang besar menyebabkan penerapan undang-undang penodaan agama terhadap Ahok tergesa-gesa, kata Halili. Situasi ini menyoroti kecenderungan penerapan rezim penodaan agama, di mana tekanan massa dalam penyidikan dan penetapan tersangka merupakan fenomena yang lumrah.
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi saat persidangan Tajul Muluk, korban perselisihan Syiah Sampang. Kelompoknya diserang, harta benda dirusak, kelompoknya diusir dari kampung halaman, Tajul juga dinyatakan bersalah melakukan penodaan agama.
Di tingkat banding, hukuman Tajul pun diperberat dari 2 tahun menjadi 4 tahun. Tentu saja proses peradilan ini tidak bisa lepas dari tekanan dan tuntutan massa. Pengadilan rupanya juga semakin memperkeruh suasana antara Syiah dan Sunni yang sebelumnya adem ayem.
Dari pengalaman tersebut, SETARA Institute menilai pasal penodaan agama justru berpotensi menghancurkan supremasi hukum yang demokratis. Politisasi agama menjadi lebih mudah dengan keberadaannya.
“Gerakan massa ini tidak lepas dari upaya politisasi agama,” kata Ismail Hasani, direktur riset SETARA Institute. Negara juga harus bertanggung jawab karena mengabaikannya sejak awal.
Sidang mobokrasi tidak ditangani secara tegas oleh Kejaksaan Agung dan lembaga hukum lainnya. Ada proses hukum yang dilewati, seperti pemberian teguran, juga tidak dihiraukan.
“Dari awal bisa dikatakan ada proses hukum yang diabaikan dan diadili oleh massa. “Masalahnya ada di lembaga peradilan,” ujarnya.
Bona Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA, juga menyebut keputusan majelis hakim hanya khayalan. Proses pengambilan keputusan oleh pejabat publik seperti hakim kemungkinan besar bersifat bias karena semakin kuatnya preferensi agama.
“Apalagi fatwa MUI yang mengambil keputusan meski bukan hierarki hukum. “Sulit untuk melihat dengan jelas karena adanya bias yang kuat di kalangan pejabat publik,” katanya.
Karena itu, dan melihat banyaknya kritik dari organisasi kemanusiaan lokal dan internasional, mereka merekomendasikan tindakan tegas untuk mencegah terulangnya kasus Ahok. Presiden Joko “Jokowi” Widodo dapat mengambil posisi politik seperti moratorium penggunaan pasal.
Pasal yang standarnya tidak masuk akal ini justru menjadi senjata politik yang mematikan. “Apakah agama menjadi lebih sakral karena dilindungi? “Sepertinya tidak,” kata Ismail.
Sebab, Rancangan KUHP tampaknya tidak merevisi pasal tersebut, artinya akan tetap ada dalam KUHP baru. Ketegasan tersebut sejauh ini belum terlihat sama sekali dari Jokowi. KPU RI juga berupaya memastikan proses pemilu pasca Jakarta pada tahun 2018 tidak lagi bertumpu pada primordialisme dan politisasi agama.
—Rappler.com