Mengapa akses terhadap kesehatan gigi dan mulut menjadi masalah bagi perempuan?
keren989
- 0
Saat ini kita sering melupakan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut. Tampaknya ada kecenderungan di masyarakat bahwa pemeriksaan kesehatan gigi hanya penting dilakukan saat Anda sedang sakit gigi. Bahkan ada yang tidak diperiksa hingga giginya mati karena tidak dirawat. Edukasi mengenai cara menjaga kesehatan gigi dan mulut juga sangat kurang.
Gigi dan mulut yang sehat juga merupakan cerminan dari tubuh yang sehat. Jika kesehatan gigi dan mulut kurang Dengan baikkehidupan sosial, ekonomi, lingkungan dan pendidikan kita juga akan terpengaruh.
Secara sosial, kondisi gigi memprihatinkan Dengan baik akan membuat kita kurang percaya diri saat bersosialisasi, sedangkan secara ekonomi kita harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk merawat gigi.
Dari segi lingkungan, perawatan gigi di klinik gigi menghasilkan limbah medis, sedangkan dari segi pendidikan seseorang tidak bisa berkonsentrasi selagi kamu berada sakit gigi. Sayangnya, hal seperti ini masih belum menjadi perhatian masyarakat luas.
Karies gigi di Indonesia
Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Kesehatan, penyakit gigi dan mulut terbesar di Indonesia adalah karies gigi atau gigi berlubang dan penyakit gusi. Dari tahun 2007 hingga 2013, kejadian karies di kalangan penduduk meningkat dari 43,4% menjadi 53,2%.
Sebagai Data Kementerian Kesehatan benar, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 176.689.336 jiwa pada tahun 2013, sehingga jumlah penderita karies bisa mencapai hampir 94 juta jiwa.
Penyakit gusi
Kasus gusi bengkak hingga berdarah juga banyak terjadi di Indonesia, terutama di kalangan remaja putri dan ibu hamil.
Pada masa pubertas, peningkatan hormon progesteron dan estrogen menyebabkan peningkatan sirkulasi darah ke gusi. Hal ini dapat membuat gusi menjadi lebih sensitif sehingga bereaksi berlebihan terhadap iritasi.
Setelah Setelah masa pubertas usai, kecenderungan gusi bengkak akibat reaksi terhadap zat iritan akan berkurang. Meski demikian, kesehatan gigi dan mulut tetap harus diperiksa secara rutin.
Wanita hamil juga rentan tertangkap gusi bengkak atau berdarah. Sekitar 40% ibu hamil akan mengalami penyakit gusi yang disebut gingivitis kehamilan. Hal ini seringkali tidak menjadi perhatian selama kehamilan. Perlu adanya kerjasama antara dokter spesialis kebidanan dan dokter gigi untuk memberikan edukasi mengenai perubahan yang terjadi pada kondisi gigi dan mulut selama kehamilan.
Studi diterbitkan oleh Jurnal Asosiasi Gigi Amerika menyatakan bahwa ada hubungan antara penyakit gusi dan kelahiran prematur. Ibu hamil yang menderita penyakit gusi kronis lebih rentan melahirkan sebelum usia kehamilan 37 minggu dan bayi lahir dengan berat badan di bawah ideal.
Ibu hamil sangat dianjurkan oleh dokter gigi untuk pemeriksaan dan pelayanan kesehatan mulut. Perawatan pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terkena penyakit gusi.
Jika diperlukan perawatan penambalan (untuk mengurangi penyebaran karies) dan pembuatan mahkota gigi, waktu paling ideal dapat dilakukan pada trimester kedua.
Namun bila diperlukan penanganan darurat seperti perawatan saluran akar dan pencabutan gigi, hal ini dapat dilakukan dengan berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter spesialis kandungan. Perawatan kosmetik juga harus ditunda hingga melahirkan.
Alangkah baiknya, sebelum merencanakan kehamilan, konsultasikan hal ini pada para ibu agar bayi dalam kandungan bisa mendapatkan nutrisi yang baik untuk proses pembentukan gigi selagi masih dalam konten. Biasanya ibu hamil diberikan tablet fluoride oleh puskesmas yang aman dikonsumsi.
Akses terhadap kesehatan gigi dan mulut di Indonesia
Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 27.500 dokter gigi. Tentu saja, ini tidak cukup untuk melayani populasi sekitar 250 juta jiwa.
Pelayanan kesehatan gigi dan mulut juga belum merata. Hampir 85% dokter gigi di Indonesia adalah perempuan dan mereka cenderung mengikuti pasangannya ketika menikah sehingga persebarannya menjadi tidak merata.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat 9.599 puskesmas di Indonesia dengan jumlah dokter gigi sebanyak 6.794 orang. Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah dokter gigi terbanyak yaitu 804 dokter gigi, dan Papua Barat memiliki jumlah dokter gigi terendah yaitu 14 dokter gigi.
Seringkali penyebab tidak tersedianya peralatan gigi menjadi alasan bahwa dokter gigi tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Puskesmas juga telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan gigi, namun kendala seperti penyediaan peralatan dan bahan yang dianggap sangat mahal menjadi tantangan bagi pemerintah daerah. Bayangkan jika seorang dokter gigi harus melayani 9.000 pasien di wilayahnya. Hal ini jelas sangat menyulitkan dokter gigi dalam memberikan pelayanan yang komprehensif.
Kesehatan gigi dan mulut serta wanita
Kesehatan gigi dan mulut serta hubungannya dengan perempuan sangatlah erat. Wanita lebih rentan terhadap perubahan hormonal yang sangat mempengaruhi sistem tubuh. Jika penyakit gigi dan mulut dibiarkan, pengobatan dan penyembuhan akan menjadi lebih rumit dan memakan waktu, sehingga dapat menghambat aktivitas perempuan di masyarakat, menghidupi keluarga dan mengejar pendidikan.
Selain itu, pelayanan kesehatan gigi dan mulut sangat minim karena kurangnya tenaga medis akibat ketidakseimbangan gender dalam profesi dokter gigi dimana masyarakat yang cenderung patriarki membuat perempuan yang bekerja sebagai dokter gigi terpaksa menundukkan pasangannya dan mengikuti, sehingga kuota dokter gigi menjadi tidak terpenuhi.
Jadi apa solusinya?
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Pertama, pemberdayaan kelompok kerja masyarakat seperti ibu-ibu PKK dan dokter gigi kecil di sekolah. Kedua, pemerintah harus menjamin perolehan alat dan bahan kesehatan gigi dan mulut di setiap puskesmas.
Dan untuk meningkatkan jumlah dokter gigi di Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan kemungkinan untuk membukanya lebih banyak fakultas kedokteran gigi di universitas negeri. Selain itu, Kurikulum modul kesehatan gigi masyarakat harus mencakup kajian gender sehingga mahasiswa kedokteran gigi terbuka tentang kesetaraan gender dan mahasiswa termotivasi untuk terlibat aktif dalam mengabdi pada negara.
Sudah saatnya pejabat pemerintah dan masyarakat umum melibatkan program kesehatan gigi dan mulut untuk memberdayakan perempuan guna meningkatkan taraf hidup mereka. – Rappler.com
Dea Safira Basori adalah wanita kelahiran Jawa yang senang mengeksplorasi jiwa dan mengatasi segala rintangan untuk menemukan gairah, kehidupan, dan cinta. Kini ia sedang menyelesaikan studi kedokteran gigi dan mempelajari tari tradisional Jawa.
Ia juga tertarik pada isu-isu perempuan, hubungan internasional, dan kebijakan luar negeri. Dea dapat dihubungi di akun Twitternya @DeaSB dan masuk www.deasafirabasori.com