Mengapa buku karya penulis Tere Liye berhenti dicetak?
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Tere mengaku keberatan dengan nominal pajak yang dipungut pemerintah terhadap penulis terlalu tinggi
JAKARTA, Indonesia – Pernyataan mengejutkan diungkapkan penulis Tere Liye melalui akun media sosialnya pada Selasa, 5 September. Ia mengumumkan akan berhenti menerbitkan bukunya di penerbit besar seperti Gramedia Pustaka Utama dan Republika mulai 31 Juli.
Ia mengatakan, 28 judul bukunya tidak akan dicetak ulang dan dibiarkan habis masa berlakunya secara alami hingga Desember mendatang.
“Minggu ini kalau ke toko, toko buku Gramedia sedang gencar-gencarnya menjualnya, membuat pajangan khusus dan sebagainya agar lebih cepat habis. “Mulai Januari 2018 buku-buku tersebut tidak lagi Anda temukan di toko buku,” tulis Tere di akun media sosialnya.
Lalu apa penyebabnya? Ia mengaku kecewa dengan aturan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang mengenakan nominal pajak yang tinggi kepada penulis.
Tere mencontohkan, jika penghasilan seorang pencipta yang disebut royalti mencapai Rp 1 miliar, maka setidaknya harus dibayar sekitar Rp 245 juta atau 24,5 persen sebagai beban pajak.
Angka tersebut didapat dari perhitungan Rp 50 juta pertama dikenakan tarif pajak lima persen. Kemudian sekitar Rp. 50 – Rp. 250 juta dikenakan pajak 15 persen. Kemudian Rp 250 juta – Rp 500 juta dikenakan tarif pajak 25 persen dan berikutnya Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar dikenakan tarif pajak 30 persen. Dengan demikian, total pajaknya mencapai Rp 245 juta.
Ia menjelaskan, besaran pajak yang dibayarkan oleh penulis buku 24 kali lebih besar dibandingkan pengusaha UMKM dan dua kali lipat dari profesi freelance.
“Jangan lupa, pajak penulis dipotong langsung oleh penerbit. Artinya dia tidak bisa menyembunyikan pajaknya. Artis, pengusaha, pengacara, wah, mudah sekali menyembunyikan penghasilan sebenarnya. Sedangkan penulis tidak bisa. “Setelah dipotong oleh penerbit, maka penerimaan pajaknya akan masuk ke sistem,” ujarnya.
Selain itu penulis juga bukan pegawai tetap sehingga penghasilannya tidak stabil. Oleh karena itu, pungutan pajak yang dikenakan terhadap mereka tidak dapat disamakan dengan pungutan pajak yang dikenakan terhadap pegawai swasta atau pejabat pemerintah.
Tere mengaku menyampaikan pengaduannya melalui surat kepada Direktur Jenderal Pajak dan Bekraf. Bahkan, ia meminta waktu untuk audiensi. Sayangnya, pemerintah tidak pernah menanggapi suratnya.
“Sepertinya (surat-surat saya) dibiarkan begitu saja. Padahal, ini menyangkut nasib seluruh penulis di Indonesia. “Literasi merupakan hal yang penting dalam peradaban,” tuturnya.
Meski memutuskan untuk tidak lagi mencetak buku melalui penerbit besar, Tere meyakinkan pembacanya tetap bisa menikmati karya penulis berusia 38 tahun itu. Ia akan mempublikasikan karyanya secara gratis melalui media sosial.
“Selalu ada jalan keluar bagi saya untuk menulis dan pembaca dapat terus menikmatinya. Selain itu, jika lusa menulis di halaman Facebook, juga akan dikenakan pajak, ujarnya.
Dijawab oleh Menteri Keuangan
Setelah isu ini mengemuka di media, Menteri Keuangan Sri Mulyani akhirnya angkat bicara. Ia mengaku akan menemui Tere untuk mendengar langsung permasalahan tersebut.
“Kami akan bertemu dengan yang bersangkutan,” kata Sri di gedung DPR seperti dikutip media.
Sedangkan permasalahan pajak penulis, jelas Sri, akan ditangani oleh Direktur Jenderal Pajak. – Rappler.com