• November 24, 2024

Mengapa Indonesia Membutuhkan Women’s March

JAKARTA, Indonesia – Ratusan orang menghadiri Women’s March Jakarta (WMJ) pada Sabtu, 4 Maret. Tak hanya perempuan, laki-laki juga turut hadir. Bersama-sama mereka menyatakan persamaan hak bagi perempuan dan kelompok minoritas.

Acara berjalan lancar dan damai. Peserta dari berbagai latar belakang dan profesi asyik menyampaikan aspirasinya. Namun, tidak demikian halnya dengan reaksi di media sosial. Ada pula yang mengkritik WMJ karena berbagai alasan.

Salah satu yang viral adalah tulisan konsultan muda Irfan Prawiradinata yang diunggah lewat Instagram. Ia mengomentari tindakan ini hanya sekedar “ikuti saja”.

Irfan juga mengatakan bahwa “pengemudi becak yang bersiul kepada perempuan di pinggir jalan membutuhkan pendidikan, bukan feminisme”, dan “perempuan yang ikut aksi tidak terlihat seperti perempuan yang panggilan atau bersiul di jalan.”

Meski awalnya mendapat banyak dukungan, komentar pemilik akun @ipdinata tak butuh waktu lama, kritik pun bermunculan, termasuk dari artis Hannah Al Rashid yang sebelumnya turut ambil bagian dalam aksi di WMJ.

Sempat mendapat kritik, Irfan akhirnya meminta maaf kepada publik atas unggahannya beberapa jam kemudian. Namun, hal ini bukan berarti permasalahan sudah selesai. Ia hanyalah salah satu titik di antara lautan laki-laki yang masih menganggap feminisme tidak perlu, apalagi kesetaraan.

Contoh singkatnya, lihatlah komentar yang bertuliskan “setuju” atau “Saya tidak sabar melihat foto-fotonya” pada unggahan tersebut. Bahkan ada yang datang dari sesama wanita.

Masalah wanita yang tidak kamu ketahui

Komentar seperti Irfan justru menegaskan bahwa Indonesia perlu lebih banyak lagi artis seperti WMJ. Mengapa? Sehingga masyarakat semakin memahami bahwa perempuan bukanlah obyek apalagi warga kelas dua dibandingkan laki-laki.

Pertama, mari kita bicara tentang objektifikasi yang merendahkan status perempuan hanya sekedar objek tanpa hak apa pun. Karena itu? Laki-laki memperlakukan mereka secara sewenang-wenang, sehingga menimbulkan masalah panggilan kucingkekerasan dan pelecehan seksual, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan.

Mengapa? Sebab di sini perempuan bukanlah individu yang dihormati hak dan keberadaannya; dia hanyalah alat bagi laki-laki untuk memuaskan hasratnya dan diperlakukan semena-mena.

“Komentar seperti Irfan menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan Women’s March. “Sehingga masyarakat semakin memahami bahwa perempuan bukanlah objek apalagi warga kelas dua.”

Bagi para pria, pernahkah Anda memikirkan apa yang terlintas di benak seorang wanita saat Anda bersiul atau meneleponnya di jalan? Sadarkah Anda saat dia menundukkan kepala dan berjalan lebih cepat, merasa marah dan malu dengan perlakuan Anda? Atau ketika seseorang marah dan menegur Anda, apakah Anda akhirnya tertawa dan berargumentasi bahwa itu adalah pujian?

Pujian adalah ketika seseorang merasa senang dan nyaman. Faktanya, mayoritas wanita justru merasa tidak nyaman. Data Lentera Sintas Indonesia tahun 2016 menyebutkan 58% dari 25.213 respondennya mengalami pelecehan verbal, termasuk panggilan kucing.

Selain itu, University of Kent asal Inggris mempublikasikan hasil penelitiannya pada akhir Januari lalu panggilan dapat meningkatkan kecenderungan agresi terhadap perempuan dan ‘mengurangi kepedulian moral terhadap mereka yang dijadikan objek’.

Jika kita membahas persoalan yang lebih rumit, seperti hak-hak perempuan di tempat kerja, pendidikan, dan sebagainya, artikel ini bisa menjadi tesis. Salah satu tuntutan WMJ adalah perlindungan, penghapusan kekerasan dan pemenuhan hak-hak kesehatan perempuan, termasuk di tempat kerja.

Hingga tahun 2016, masih terdapat pengaduan ke Komnas Perempuan mengenai tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. Seperti cuti haid yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 81 hingga cuti melahirkan yang tertuang dalam Pasal 82 dan 83. Masih banyak perusahaan yang lebih memilih untuk segera memecat atau memutus kontrak pekerja perempuan dibandingkan memberikan cuti melahirkan.

Lalu ada juga pekerja migran Indonesia yang belum terlindungi sepenuhnya. Selain rentan dibunuh, disiksa dan diperkosa oleh majikan di negara tempat mereka bekerja, banyak juga yang terancam hukuman mati. Data Komnas Perempuan menunjukkan, saat ini terdapat 265 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terpidana mati di Malaysia, Arab Saudi, China, dan Iran.

Upaya pemerintah tersebut tidak terdengar keras meski merupakan penyumbang devisa negara terbesar.

WMJ juga mendorong pendidikan dan keterwakilan perempuan dalam politik. Hingga saat ini, jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam politik masih cukup rendah. Pada periode 2014-2019, perempuan yang menjadi anggota DPR berjumlah 101 orang dari 650 orang (18,03%). Ini merupakan angka tertinggi sejak tahun 1999 yang hanya sebesar 8,6%. Sementara itu, sejak tahun 2003 diusulkan minimal 30% kursi DPR dan DPRD diberikan kepada perempuan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari menjelaskan rantai yang menyebabkan sedikitnya perempuan yang berpartisipasi dalam politik. Salah satunya adalah permasalahan pendidikan yang terputus.

Setidaknya, pada tahun 2016 saja terdapat 750 ribu anak yang dinikahkan. “Ada yang sudah menikah 12 tahun, apa yang bisa mereka lakukan? Bagaimana pendidikannya?” kata Dian.

Rata-rata usia anak menikah tergolong pendek, hanya sekitar 2 tahun. Namun dampaknya sulit untuk dipulihkan. Rata-rata gadis-gadis ini sudah mempunyai anak, dan seringkali ketika mereka bercerai, suaminya tidak mau menafkahi mereka. Mereka terpaksa bekerja dan hanya sedikit yang ingin kembali bersekolah. Akibatnya pendidikan mereka rendah dan lapangan pekerjaan yang didapat pun terbatas.

Pendidikan saja tidak cukup

Permasalahan perempuan yang kompleks dan tersebar di berbagai bidang tidak akan terselesaikan tanpa adanya feminisme. Satu hal yang menggelitik saya adalah ketika Irfan mengatakan masyarakat hanya perlu pendidikan untuk menghentikan hal ini panggilan dan pelecehan jalanan.

Wow, betapa polosnya. Tahukah dia kalau pelaku pelecehan seksual juga adalah mereka yang berpendidikan dan menduduki jabatan? Jika saya bisa mengambil contoh lebih jauh, saya bisa melihat presiden Amerika Serikat, Donald Trump atau Ini adalah kisah seorang karyawan perempuan di Uber.

Pada bulan Agustus 2016, TUC Inggris merilisnya 52% dari 1.500 responden mengalami pelecehan di tempat kerja. 54% pelakunya adalah rekan kerja mereka; 17% manajer atau atasan langsung; sedangkan 5% adalah manajer dari divisi lain.

Harus diasumsikan bahwa jika Anda berada di level manajer, maka setidaknya orang tersebut telah mengenyam pendidikan minimal sekolah menengah atas atau perguruan tinggi. Apalagi jika Anda bekerja di perusahaan teknologi secanggih Uber.

Namun di Indonesia, ceritanya tidak kecil. Kita tentu ingat kisah seorang jurnalis perempuan yang dilecehkan oleh atasannya. Selain itu, Pokja Pekerja Perempuan hari ini merilis temuannya bahwa terdapat 25 pekerja perempuan yang menjadi korban pelecehan di 15 perusahaan di Jakarta; belum lagi yang tidak tercatat di daerah lain.

Dengan adanya acara seperti ini, aksi WMJ yang mengekspresikan kesetaraan dan meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan menjadi sesuatu yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Terakhir, bagi laki-laki dan perempuan, daripada berkomentar di media sosial, apa yang bisa Anda lakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia? —Rappler.com


lagutogel