• October 2, 2024

Mengapa ojek merupakan kegagalan pemerintah dalam mengelola angkutan umum

Transportasi umum harus bersifat universal bagi semua warga negara: Terjangkau bagi masyarakat miskin, nyaman bagi masyarakat kaya, dapat diakses oleh penyandang disabilitas, dan aman bagi semua orang.

Saya yakin apa yang dilakukan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dengan melarang kehadiran ojek berbasis aplikasi on line adalah real deal.

Jika ingin menerapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan mengatur bahwa angkutan umum dilakukan dengan menggunakan bus atau mobil penumpang.

Sebaliknya, jika argumen yang digunakannya adalah standar keselamatan, maka kita bisa membantahnya.

Ojek bisa lebih aman dibandingkan angkutan umum yang dijalankan oleh swasta atau pemerintah. Mungkin jika dibandingkan kecelakaan yang terjadi akibat mengendarai ojek akan lebih sedikit dibandingkan dengan kecelakaan yang terjadi akibat mengendarai bus.

Beda jauh kalau standar keselamatannya dibandingkan dengan TransJakarta, angkutan bus seperti MetroMini, Kopaja dan sejenisnya. Tentu saja melarang operasional ojek berbasis aplikasi on line untuk alasan keamanan bisa sangat lucu, atau jika Anda ingin sedikit kasar, bodoh.

Bagi sebagian besar dari kita, permasalahan ojek berbasis aplikasi seperti Go-Jek, Blu-JEK atau GrabBike muncul karena kegagalan pemerintah dalam mengelola angkutan umum dengan baik. Tentu ada manfaat yang bisa diambil dari ojek, namun jika dilihat dari kerangka yang lebih luas, pemerintah kita justru gagal. Masyarakat lebih memilih jasa ojek tanpa menyadari perannya sebagai warga negara.

Dengan menggunakan ojek berbasis aplikasi, masyarakat berperan layaknya konsumen. Ada hubungan transaksional. Penyedia jasa wajib memberikan kepuasan, pengguna wajib membayar. Sementara itu, masyarakat terkesan lalai dalam menuntut hak-haknya sebagai warga negara yang seharusnya dilayani negara melalui transportasi umum.

Masyarakat seolah sudah terlena dan lupa menuntut pemerintah menyediakan sistem transportasi umum yang nyaman, aman, dan murah. Pada akhirnya, layanan ojek berbasis aplikasi merupakan wujud kegagalan pemerintah dalam mengelola angkutan umum.

Beberapa waktu lalu, pemerintah juga mencoba menggandeng pemerintah asing untuk membangun infrastruktur transportasi umum berupa kereta api berkecepatan tinggi dari Jakarta hingga Bandung. Ini bisa menjadi hal yang baik. Hanya saja pembangunan didapat dari utang. Terlebih lagi, fokus pembangunan yang terobsesi pada proyek-proyek besar di Pulau Jawa dapat menimbulkan pertanyaan.

Pada akhirnya, layanan ojek berbasis aplikasi merupakan wujud kegagalan pemerintah dalam mengelola angkutan umum.

Apa urgensi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung? Kenapa tidak membangun di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, atau Papua? Tapi itu mungkin setengah benar. Pasalnya, pemerintah juga sedang membangun proyek serupa di berbagai tempat di Indonesia.

Sayangnya, ketika Jonan menindak tegas perusahaan ojek berbasis aplikasi kemarin, Presiden Joko “Jokowi” Widodo turun tangan untuk melarangnya. Ia mengatakan, masyarakat membutuhkan ojek. Namun Jokowi tak menyebut secara spesifik siapa saja orangnya? Jakarta? Kalau hanya soal Jakarta, betapa sempitnya tanggapan Jokowi yang hanya peduli pada kepentingan masyarakat Jakarta.

Namun jika dibaca lagi, Jokowi tidak secara spesifik menyebut perusahaan ojek on line. Meski begitu, bos Go-Jek itu tiba-tiba mengundurkan diri seolah-olah dibela oleh Jokowi.

Tapi lupakan itu. Jika Jakarta jadi patokan Indonesia, yuk kita lihat transportasi umum di Jakarta. Farid Gaban, pemimpin redaksi GeoTimes, mengatakan bahwa perkembangan transportasi Jakarta terutama didorong dan didikte oleh minat dan cara berpikir pribadi (pribadi).

Tak heran jika permasalahan transportasi sulit diselesaikan, meski banyak jalan tol, MRT, jalan bus, LRT, Kopaja, MetroMini, dan kini Go-Jek. Peran masyarakat (negara/pemerintah) sangat minim. Pola pikir masyarakat mulai memudar, bahkan di kalangan PNS sendiri. Inisiatif swasta/individu/swasta, betapapun mulianya, tidak dapat menyelesaikan permasalahan publik.

Banyak yang tidak menyadari bahwa angkutan umum di jalan tersebut bukan milik pemerintah, melainkan milik pribadi yang dikelola bersama oleh Organda. Di Jakarta, beberapa angkutan umum yang dijalankan pemerintah adalah TransJakarta dan Jalur komuter. Itu juga tidak terlalu bagus.

TransJakarta beberapa kali terbakar, terjebak kemacetan, dan kereta sering terlambat jadwal. Mereka yang mempunyai uang kemudian memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor. Jalanan macet karena kendaraan pribadi, sedangkan angkutan umum buruk, volume kendaraan meningkat karena masyarakat enggan menggunakan angkutan umum. Siklus ini kemudian menyebabkan kemacetan parah.

Faktanya, sistem transportasi umum harus bersifat universal bagi semua warga negara: terjangkau bagi masyarakat miskin, nyaman bagi masyarakat kaya, dapat diakses oleh penyandang disabilitas, dan aman bagi semua. Keberhasilan dalam mengelola angkutan umum dengan baik dapat memberikan banyak manfaat, jalan tidak terhalang, polusi berkurang, pemborosan bahan bakar dapat ditekan dan kota menjadi lebih layak huni. Namun tentu saja sulit, namun bukan tidak mungkin.

Tuduhan masyarakat kota yang cuek dan egois karena tidak mau menggunakan angkutan umum sebenarnya agak keterlaluan. Penataan kota yang berantakan membuat akses jalan dan angkutan umum menjadi membingungkan. Kondisi angkutan umum yang rusak, padat, tidak aman dan tidak nyaman membuat penggunanya merasa malu. Kejahatan seksual di angkutan umum tentu menimbulkan trauma, akibatnya pengguna perempuan merasa tidak aman menggunakan angkutan umum.

Memiliki mobil pribadi di Jakarta merupakan pilihan yang rasional, relatif aman, nyaman dan pada titik tertentu juga menunjukkan gengsi. Namun jika ada ratusan ribu orang yang berpikiran sama, maka kemacetan adalah konsekuensi logisnya. Dengan demikian, kesadaran kolektif dapat dibangkitkan untuk memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan paling besar untuk mengatur tata kelola kota yang buruk. Yaitu pemerintah. Daripada memprotes larangan ojek, kenapa kita tidak menekan pemerintah untuk menghasilkan produk transportasi yang aman dan nyaman?

Kesadaran kolektif penting untuk menekan pemerintah mengambil kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik. Selain itu, harus ada pemahaman bahwa kita hidup di kota yang sama dan harus berjuang bersama. Mengandalkan Organda atau ojek berarti mengamputasi kewenangan pemerintah. Kita selamanya akan diperlakukan sebagai konsumen, bukan sebagai warga negara. Padahal, kita tahu, kita membayar pajak dan seharusnya kita mendapat fasilitas umum yang baik. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya penuh sindiran. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

Sidney siang ini