Mengapa partisipasi penyandang disabilitas di pasar kerja sangat minim?
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia — Berdasarkan penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia pada akhir tahun 2016, perkiraan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 12,15% dari jumlah penduduk. atau hampir 30 juta orang. Dari jumlah tersebut, 10,29% di antaranya merupakan penyandang disabilitas kategori sedang, sedangkan 1,87% lainnya masuk kategori berat.
Tingkat pendidikan yang dicapai oleh penyandang disabilitas juga lebih rendah dibandingkan dengan non-disabilitas. Jika 87,31% penduduk non-disabilitas mempunyai pendidikan setingkat SD ke atas, maka hanya 54,26% penyandang disabilitas yang bernasib sama. Sebanyak 45,74% lainnya tidak tamat dan bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya penyerapan tenaga kerja kelompok disabilitas. Berdasarkan data LPEM FEB UI, hanya 51,12% penyandang disabilitas yang berpartisipasi di pasar kerja. Jumlah ini sangat rendah dibandingkan pekerja non-disabilitas yang mencapai 70,40%. Faktanya, hanya 20,27% penyandang disabilitas berat yang bekerja.
Apa alasannya?
Rendahnya persentase penyandang disabilitas yang berpartisipasi dalam pekerjaan disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Irawan Mulyanto, pendiri komunitas tersebut kartunet.comsalah satu faktornya adalah mentalitas masyarakat Indonesia pada umumnya yang membuat penyandang disabilitas merasa didiskriminasi sejak dini.
Kartunet.com merupakan media yang digagas oleh generasi muda penyandang disabilitas untuk menginspirasi masyarakat Indonesia yang inklusif.
“Apalagi teman-teman penyandang disabilitas sejak lahir, diskriminasi sudah mereka rasakan sejak kecil,” kata Irawan, Jumat, 16 Desember, saat peluncuran Jaringan Bisnis dan Disabilitas Indonesia (JBDI) di Jakarta.
JBDI merupakan komitmen lima perusahaan untuk mendorong keberagaman dan inklusi di tempat kerja sebagaimana didukung oleh ILO dan Kementerian Tenaga Kerja. Lima perusahaan yang menandatangani komitmen pada Jumat sore itu adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT L’Oreal Indonesia, Standard Chartered Bank Indonesia, PT Tetra Pak Stainless Equipment, dan PT Trans Retail Indonesia.
“Kalau soal sekolah, saya selalu berpikir: ‘Sekolah SLB (Sekolah Luar Biasa) saja, jangan ke sekolah ini, TIDAK inklusi’, maka kamu juga ingin melanjutkan ke universitas sepulang sekolah. Mau berangkat kerja malah tambah parah. Kebanyakan dari mereka akhirnya merasa diperhatikan amal,” dia berkata.
Oleh karena itu, menurut Irawan, banyak penyandang disabilitas yang akhirnya hanya bekerja namun tidak berkarir. “Jadi ya, itu dimulai dari sana dan berakhir di sana.”
Faktor spiritual juga disebutkan Angkie Yudistia, CEO Thisable Enterprise dan penulis buku Mendobrak batasan Dan Setinggi langit. Menurutnya, keluarga dan pendidikan penting untuk membangun rasa percaya diri penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi lebih aktif di pasar kerja.
“Kalau keluarga tidak bisa menerima anaknya cacat, maka kelak mereka tidak bisa mempekerjakan anaknya, membanggakan anak-anaknya,” kata Angkie di acara yang sama.
Misalnya, Angkie juga menceritakan pengalamannya bahwa meski ia tunarungu, orang tuanya tidak pernah memperlakukannya berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Orang tuaku berani melakukannya. Aku berangkat sekolah sendirian dengan angkutan umum, padahal aku tidak tahu angkutan umum kita itu seperti apa. “Tapi di saat seperti ini kami bisa melakukannya karena sudah terbiasa,” kata ibu satu anak ini.
Menurut Angkie, ‘hati’ itu diperlukan agar anak-anak, baik difabel maupun non-disabilitas, bisa mandiri.
Apa yang harus dilakukan?
Saat ini, menurut pemerintah yang diwakili oleh Sapto Purnomo, Kepala Subdit Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan RI, pihaknya telah mencanangkan program untuk meningkatkan partisipasi pekerja penyandang disabilitas.
“Pertama, terkait jaminan standar kerja, kami sedang mengembangkan penerapan UU No. 71 tentang kewajiban melaporkan ada atau tidaknya suatu perusahaan mempunyai pegawai penyandang disabilitas. “Karena kalau kita tidak tahu di mana penyandang disabilitas bekerja, kita tidak tahu harus berbuat apa,” kata Sapto yang juga hadir pada peluncuran JBDI.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga akan menggulirkan program lain di tahun 2017, salah satunya dengan mendorong SMK yang mendidik penyandang disabilitas menjadi bursa kerja khusus untuk menyalurkan lulusannya.
“Kalau ada beberapa perusahaan yang mau merekrut penyandang disabilitas dan belum ada fasilitasnya, maka kami akan hadir Bursa Kerja “mini, 5 atau 10 perusahaan juga bagus,” kata Sapto.
Sebaliknya, sejak tahun 1999, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Diskriminasi (dalam Ketenagakerjaan dan Jabatan) tahun 1958 (No. 111). Indonesia juga meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) pada Oktober 2011. Ratifikasi ini memberikan pengakuan bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan terhadap diskriminasi, khususnya dalam hal akses terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan dan pekerjaan.
Dalam menjalankan pengesahan tersebut, pemerintah juga memasukkan beberapa poin terkait ketenagakerjaan dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kini perusahaan swasta wajib mempekerjakan penyandang disabilitas dengan kuota minimal 1% dari total karyawan. Sementara instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta memenuhi kuota disabilitas sebesar 2%.
Ini tidak mudah. Menurut Angkie yang berada di Thisabel Enterprise, dirinya kerap mendapat pertanyaan dari perusahaan mengenai kebutuhan penyandang disabilitas.Saat ini perusahaan kesulitan mencari pekerja disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
“Yang diajarkan di sekolah biasanya hanya keahlian yang bagus dan bagus, namun saya masih kesulitan menemukan orang yang memiliki keterampilan formal seperti mengatur keuangan, bagaimana caranya. pemasaranbagaimana cara mengemudi pengelolaan. “Hal inilah yang terkadang membuat perusahaan bingung kenapa tidak bisa memenuhi kuotanya,” kata Angkie.
Oleh karena itu, pemberian kelas dan pelatihan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak secara merata. Lebih dari itu, masing-masing pihak juga harus mengetahui perannya dan berhenti saling menuntut terlalu banyak. Penyandang disabilitas juga harus membantu perusahaan dan pemerintah untuk menemukan solusi terbaik.
“Saya selalu mengatakan untuk tidak terlalu menuntut. Karena kenapa? Pemerintah, pribadimereka TIDAK mengerti sayang lakukan mereka mengerti itu kita. Kita juga harus belajar secara perlahan. Yang lakukan masalah kita TIDAK “Sudah selesai karena kita saling menggugat,” kata Angkie rinci.
Irawan pun menyadari permasalahannya bukan hanya terjadi pada dunia industri saja, melainkan pada semua orang. Masing-masing pihak harus beradaptasi. “Kami berdua harus menyerah satu sama lain. “Akan lebih tepat jika dibicarakan, tapi jangan sampai hanya sekedar diskusi tanpa ada tindakan,” ujarnya. —Rappler.com