• November 28, 2024
Mengapa Penangkapan Karena Makar di Indonesia Mengkhawatirkan

Mengapa Penangkapan Karena Makar di Indonesia Mengkhawatirkan

BANGKOK, Thailand – Sri Bintang Pamungkas ditangkap Jumat dini hari, 2 Desember, di rumahnya di Cibubur, pinggiran ibu kota Indonesia, Jakarta.

Pemimpin masyarakat sipil People Power Indonesia 2016 – sebuah kelompok yang bertujuan untuk mencabut konstitusi sebelum mengamandemennya – seharusnya bergabung dalam demonstrasi menentang Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pada hari itu juga. Ahok, seorang politisi Kristen etnis Tionghoa, yang merupakan minoritas ganda di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dituduh oleh kelompok Muslim konservatif melakukan penistaan ​​agama.

Pamungkas dan 9 orang lainnya didakwa mencoba memakzulkan pemerintahan saat ini yang dipimpin Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh terkenal termasuk musisi rock Ahmad Dhani; aktivis hak asasi manusia Ratna Sarumpaet; pensiunan Jenderal Angkatan Darat bintang dua Kivlan Zein; dan Rachmawati Soekarnoputri, saudara perempuan mantan presiden Megawati. Mereka ditangkap dengan tuduhan makar berdasarkan Pasal 107 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam video singkat yang beredar di media sosial, Pamungkas sedang menikmati secangkir kopi pagi di teras rumahnya saat petugas polisi menyerahkan surat perintah tersebut.

“Sayang, aku ditahan,” kata Pamungkas kepada istrinya yang merekam video itu di ponselnya.

“Mengapa?” istrinya, Ernalia, terdengar berkata di belakang kamera.

“Mereka punya kekuatan untuk itu Tentu bisa,” jawab Pamungkas.

Pamungkas dan People Power sedianya berencana menduduki gedung DPR dan meminta dewan mencabut jabatan presiden Jokowi karena, kata dia, ketidakmampuan mantan gubernur Jakarta itu dalam menjalankan “amanat rakyat”.

7 orang kemudian dibebaskan pada hari itu juga karena polisi tidak memiliki cukup bukti. Pamungkas masih ditahan bersama dua orang lainnya yang masih mendekam di balik jeruji besi karena diduga menghina presiden di media sosial dan melanggar UU Transaksi Internet.

Nada rasial

Pertemuan tanggal 2 Desember tersebut adalah yang ketiga dari serangkaian protes yang menyerukan Ahok mundur dari jabatan gubernur karena pernyataannya yang diduga menghina Islam. Kontroversi ini dimulai pada bulan September 2016 ketika ia menuduh lawan-lawannya menyesatkan pemilih dengan menyalahgunakan ayat Alquran untuk mempengaruhi pemilih agar tidak memilihnya pada pemilihan gubernur mendatang. Dia meminta maaf atas ucapannya, namun masih dituntut karena penodaan agama.

Ahok kini berstatus tersangka dan harus segera diadili. Jika terbukti bersalah, dia bisa dipenjara hingga 5 tahun.

Namun isu tersebut mulai mencakup aspek lain. Para kritikus sejak itu menuduh presiden – yang dilantik dua tahun lalu – tidak mampu menjalankan negara. Ahok menjadi gubernur setelah Jokowi memenangkan Pilpres 2014. Sebagai Wakil Gubernur saat itu, Ahok menerima jabatan tersebut.

Ahok sendiri adalah sosok yang asing dalam kancah politik Indonesia. Ia adalah mantan Bupati Belitung Timur, sebuah daerah kecil di Pulau Sumatera, dan juga pernah menjadi anggota DPR sebelum menjadi wakil Jokowi – namun ia selalu dipandang sebagai “orang luar” yang datang ke ibu kota.

Selama unjuk rasa yang dihadiri 200.000 orang pada tanggal 2 Desember, beberapa plakat bertuliskan: “Penjara Ahok” dan “Hancurkan Orang Tionghoa”.

Race card yang digunakan untuk melawan Ahok bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Hal ini berakar kuat pada rezim Orde Baru di bawah rezim otoriter mantan Jenderal Suharto. Presiden Soeharto – yang memerintah Indonesia selama lebih dari 3 dekade – melarang ekspresi budaya Tionghoa dan memisahkan orang Tionghoa secara politik, karena dicurigai memiliki hubungan dengan komunisme.

Penyelenggara demonstrasi dan pengunjuk rasa menggunakan kartu Islam, yang merupakan daya tarik yang menarik bagi pemilih Muslim di Indonesia.

Salah satu lawan Ahok pada pemilu tahun depan, Agus Harimurti Yudhoyono, adalah putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memimpin negara ini pada 2004-2014.

Kelompok Islam konservatif seperti Front Pembela Islam (FPI)—salah satu penyelenggara aksi utama—secara terbuka mendukung pencalonan Yudhoyono sebagai gubernur di media sosial.

Menyusutnya ruang-ruang sipil

Pengguna media sosial di Indonesia terbagi atas penangkapan tersebut. Beberapa orang memuji kepolisian atas upaya mereka mencegah upaya penuntutan, sementara yang lain melihatnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

“Sepertinya tidak ada dasar yang jelas untuk menangkap orang-orang ini,” kata Benny Agus Prima, Human Rights Defender Program Associate di Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA).

Prima menegaskan, pemerintah harus melindungi hak masyarakatnya untuk berekspresi.

“Hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai merupakan hak konstitusional dan dijamin oleh hukum hak asasi manusia internasional,” ujarnya. “Pelaksanaan hak-hak tersebut merupakan fondasi masyarakat demokratis.”

Kebebasan berserikat, berkumpul, mengemukakan pendapat baik tertulis maupun lisan di Indonesia diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.

Jika terbukti bersalah, mereka yang ditangkap bisa dipenjara 15 tahun hingga penjara seumur hidup.

Prima menyayangkan penahanan individu tersebut, yang menurutnya merupakan tanda menyusutnya ruang sipil tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di kawasan.

Ruang sipil adalah tempat masyarakat dapat dengan bebas menggunakan hak-hak dasar sipilnya, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul dan berserikat. Permasalahan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia.

Selama konferensi 3 hari bertajuk “Pemuda di Inti Agenda 2030: The Case4Space” yang diadakan di Bangkok, Thailand, para panelis berbagi bagaimana ada 3,2 miliar orang yang tinggal di negara-negara di mana ruang sipil terancam.

“Kami melihat tren menyusutnya ruang sipil di Asia Pasifik dengan adanya contoh kriminalisasi aktivis baru-baru ini,” kata Prima, mengutip contoh Maria Chin Abdullah dari Malaysia.

Abdullah adalah pemimpin aliansi pro-demokrasi Malaysia Bersih, yang ditahan pada November 2016 karena mengorganisir unjuk rasa massal yang menyerukan Perdana Menteri Najib Razak untuk mengundurkan diri karena skandal korupsi.

Namun pada akhirnya, menurut Prima, apa yang dilakukan Pamungkas dan kroninya tetap sesuai hukum. “Mereka menuntut parlemen meninjau kembali kepresidenan Widodo, tanpa mengangkat senjata dan memintanya mundur,” kata Prima.

Penangkapan tersebut, katanya, seharusnya tidak dilakukan, karena akan membawa Indonesia – negara yang menganut demokrasi 16 tahun lalu – kembali ke negara otokratis.

Rozinul Aqli, seorang mahasiswa Indonesia di Universitas Amerika di Kairo, Mesir, juga menyatakan ketidaksetujuannya di Twitter, dengan mengatakan: “(Widodo) semakin nyaman meminjam satu halaman dari pedoman Suharto”.

“Idealnya, harus ada tindakan kekerasan yang jelas agar sesuatu dapat diberi label makar,” kata Rozinul kepada Rappler melalui email.

Namun dalam praktiknya, pasal ini (Pasal 107 KUHP) digunakan untuk mengkriminalisasi banyak aktivis yang sebetulnya tidak mengancam keamanan nasional, katanya.

Kebebasan berekspresi terancam

Prima melanjutkan, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi pembela HAM.

“Yang paling saya khawatirkan adalah kriminalisasi ini akan membatasi kebebasan berekspresi para pembela hak asasi manusia,” katanya.

Meski begitu, ia juga menekankan agar orang-orang yang ditangkap juga harus menghormati kebebasan berekspresi Ahok.

“Kalau bicara kebebasan berekspresi, kita harus menghormati kebebasan orang lain untuk mengutarakan pikirannya juga,” kata Prima. “Kita tidak bisa memaksa mereka yang, katakanlah, melakukan pelanggaran hak asasi manusia, juga melanggar hak asasi orang lain.”

Rozinul menambahkan, pasal-pasal karet seperti Pasal 107 KUHP bermasalah karena menghilangkan hak kepastian hukum warga negara.

“Kalau sebagian dari kita merasa prihatin dengan perkembangan ini, karena kita tahu bahwa penggunaan pasal karet untuk membungkam perbedaan pendapat adalah salah satu pilar rezim Orde Baru,” ujarnya. —Rappler.com

lagutogel