• September 25, 2024

Mengapa saya sangat membenci perokok

Mungkin Anda (perokok) belum sadar bahwa merokok bisa berbahaya bagi orang yang Anda cintai

JAKARTA, Indonesia – Di Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh setiap tanggal 31 Mei, saya teringat akan hal-hal yang membuat saya sangat tidak menyukai perokok. Ya, orang yang suka merokok 10 cm tembakau adalah sumber penyakitnya.

Saya sangat bersyukur, tidak ada seorang pun yang merokok di rumah saya. Ada seorang manajer yang selalu duduk di luar. Namun satu-satunya anggota keluarga dekat saya yang masih merokok adalah nenek saya (Oke, dia hampir berusia 80 tahun dan sehat, tapi itu tidak membuat saya menoleransi perokok mana pun – termasuk dia – karena kebencian saya terhadap perokok).

Pada artikel kali ini saya memutuskan untuk tidak membahas bahaya merokok bagi kesehatan perokok. Mereka cukup pintar membaca sendiri bahaya merokok dari berbagai literatur. Ditambah lagi, saya mempunyai seorang nenek yang sehat berusia 80-an dan dia sudah merokok sejak usia 50-an. Lagipula tulisan ini akan terlalu mudah untuk dipatahkan.

Saya akan membahas kebencian saya terhadap perokok dari sisi saya sebagai perokok pasif. Dan yang bisa saya pastikan, kita sebagai perokok pasif merasa bahwa perokok aktif adalah orang-orang yang egois. Apakah Anda ingin bukti? Saya akan menyebutkan beberapa, ya.

Pertama-tama, ada berita sekitar tiga minggu lalu yang semakin meyakinkan saya tentang pendapat saya bahwa terkadang perokok tidak memiliki empati.

Salah satu teman sekelas saya di sekolah menengah meninggal karena sakit bronkopneumonia apa yang dia derita.

Hampir setahun yang lalu, tepatnya tanggal 31 Juli 2015, ia menulis pesan di akun LINE miliknya yang ditujukan kepada para perokok aktif di luar sana, menjelaskan tentang kondisi kesehatannya. Kurang lebih seperti inilah yang dikatakannya:

“Kemarin saya didiagnosis menderita penyakit bronkopneumonia. Ada flek di paru-paru saya, salah satu penyebabnya adalah rokok yang saya hirup sebagai perokok pasif. Saya sangat sedih. “Melalui artikel ini saya mohon bantuannya agar anda semua yang merokok dimanapun sadar bahwa udara adalah milik kita semua, bahwa mungkin saja ada perokok pasif yang sakit karena anda.”

Aku tidak terlalu mengenal teman sekelasku secara pribadi, aku hanya sempat menyapa dan ngobrol beberapa kali saja. Namun rasanya sangat menyedihkan, usianya baru 21 tahun, dan harus meninggal dunia karena adanya kotoran di paru-parunya.

Apa kesalahannya? Oh, dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia salah hanya karena terpaksa hidup di antara orang-orang egois yang disebut perokok.

Mungkin dia salah, karena bisa saja dia meninggalkan lingkungan itu, atau marah pada orang-orang egois disekitarnya agar asap rokok yang terlalu banyak tidak masuk ke dalam paru-parunya.

Namun yang lebih parahnya lagi, asap rokok tersebut terhirup oleh anak kecil yang kebetulan berada di tempat yang sama.

Teman saya yang lain bercerita kepada saya beberapa waktu lalu bahwa dia bisa saja secara kebetulan dikategorikan sebagai orang yang membenci rokok, seperti saya.

“Kemarin saya marah pada bapak-bapak yang merokok. Lagi pula, saya tidak terlalu memikirkannya, ada seorang anak kecil di sebelah saya, dia sedang merokok dan asapnya menyebar ke mana-mana.”

Oh ya, benar. Perokok entah tidak punya otak, malas berpikir, atau… secara sederhana Saya tidak peduli.

Ada juga cerita lain yang menjadi viral di media sosial. Saya lupa sumbernya dari mana, tapi cerita ini tentang seorang ayah yang menyesal karena merokok dan membiarkan bayi laki-lakinya meninggal.

Sang ayah tidak pernah sekalipun merokok di dalam rumah, tidak pernah sekalipun merokok di depan anaknya. Ia selalu mencuci tangan saat pulang kerja, sebelum menggendong anaknya sebagai pelepas rindu.

Rupanya sisa-sisa asap beracun yang dikonsumsi sang ayah tak hanya menempel di tangan yang sudah dicuci. Asap juga menempel di pakaian sang ayah yang tak sempat ia ganti saat sedang menggendong anaknya.

Pada akhirnya, sang ayah menyayangkan menjadi seorang perokok yang mengutamakan kesenangan pribadi dibandingkan kesehatan anaknya.

Baiklah, jika contoh ekstrim di atas tidak membuat Anda (perokok aktif) berpikir ulang, saya akan memberikan contoh sederhananya. Sekitar sepekan lalu, produser media sosial Rappler Indonesia Nadia Hamid menyebut mantannya adalah seorang perokok.

Tiap keluar bareng, dia jadi nggak suka keramas, alhasil mengunjungi dengan pria yang selalu memilih area merokok sehingga Anda bisa merokok dengan bebas. Betapa egoisnya itu?! (Senang Sudah keluarlah, Nad! Ha ha 😛)

Para perokok biasanya berpendapat bahwa rokok adalah salah satu cara untuk bersosialisasi. “Minta korek api” atau “merokok dengan“adalah salah satu dari pemecah es termudah. Sebenarnya sebelum saya memutuskan menjadi jurnalis, saya sempat sedikit takut tidak bisa bergaul dengan jurnalis lain karena saya tidak merokok.

Namun ternyata tidak demikian. Beberapa jurnalis di Rappler yang sudah lama bekerja sebagai jurnalis bisa menulis dengan baik dan memiliki banyak kontak tanpa harus menjadi perokok.

Menurut saya, ini semua hanyalah alasan. Intinya, Anda (perokok aktif) suka merokok dan tidak ingin berhenti merokok. Otak dan hati Anda mungkin tercemar oleh racun dari rokok, sehingga membuat Anda sulit menerima bahwa merokok berbahaya bagi orang yang Anda cintai.

Maaf, tidak menyesal atas postingan penuh kebencian ini. —Rappler.com

Sakinah Umu Haniy adalah reporter multimedia untuk Rappler Indonesia. Selain hobinya menulis, Haniy juga suka membaca buku, jalan-jalan, ngobrol, dan menikmati makanan enak. Simak kegiatannya melalui Twitter @hhanniiyy.

BACA JUGA:

Hk Pools