Mengapa saya tidak setuju dengan pernyataan Direktur PLN
- keren989
- 0
Dengan tingkat perekonomian saat ini, apakah masyarakat Indonesia benar-benar membutuhkan listrik yang terkoneksi sebanyak itu?
Karena saya baru saja membaca pernyataan Direktur Utama PT. PLN (Persero) kemarin, jadi saya baru bisa menanggapinya “agak serius” hari ini.
Sungguh mengagetkan masyarakat, walaupun tidak terlalu mengagetkan saya, di level Dirut PLN beliau mengeluarkan pernyataan bahwa masyarakat harus mengkonsumsi listrik lebih banyak karena PLN mempunyai kelebihan listrik. Ia bahkan menjelaskan perlunya pemasangan AC dan peralatan listrik lainnya agar listrik PLN bisa terserap.
Pernyataan kedua, adanya rencana penyederhanaan tarif listrik dalam negeri, dimana daya tersambung akan ditingkatkan dari 900 VA atau 900 watt menjadi 1300 watt. Sedangkan pelanggan dalam negeri dengan tarif lebih tinggi yakni 1300 VA dan 2200 VA ke atas akan dinaikkan menjadi 5500 VA, golongan 5500 VA sd 12600 VA dinaikkan menjadi 13200 VA, sedangkan golongan listrik dalam negeri tertinggi tarifnya dinaikkan menjadi arus lepas atau kekuatan yang tidak terbatas.
Reaksi pertama saya setelah membaca berita ini adalah berharap media yang menulisnya salah menulis, salah mengutip, atau Dirut PLN sedang bercanda. Dan sampai saat ini, saya masih sangat berharap salah satu dari ketiga hal tersebut terjadi.
Namun jika pernyataan tersebut benar, dibuat dengan sadar, dan media tidak salah mengutip, maka saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Mengapa? Inilah beberapa alasan saya.
1. Hingga saat ini, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan seluruh masyarakat dunia adalah mengurangi emisi dan melakukan upaya penghematan energi. Artinya, masyarakat, perusahaan, pemerintah sendiri, bahkan swasta diharapkan turut serta dalam gerakan ini. Penggunaan lebih banyak energi fosil akan menyebabkan perubahan iklim berdampak lebih besar secara nasional dan global.
2. Menyuruh masyarakat untuk lebih banyak mengkonsumsi listrik dengan penggunaan yang tidak produktif sama saja dengan menyuruh orang tua memberikan uang jajan kepada anak untuk makan di pinggir jalan yang berdebu. Yang terjadi bukan menjadi semakin sehat dan kuat, namun penyakit akan datang. Mengapa? Sebab, sebagian besar listrik, khususnya pada jaringan Jawa-Madura-Bali yang saat ini surplus 40%, berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Menggunakan lebih banyak listrik berarti membakar lebih banyak bahan bakar fosil.
3. Kalau kita sedikit lebih cerdas, mari kita lihat, berdasarkan data Dirjen Ketenagalistrikan, faktor emisi pembangkit listrik di Jawa-Madura-Bali dihitung berturut-turut dari tahun 2011 hingga 2015, pada tahun 2011 adalah 0,770 kg CO2/kwh , pada tahun 2012 sebesar 0,814 kg CO2/kwh, tahun 2013 sebesar 0,853 kg CO2/kwh, tahun 2014 sebesar 0,840 kg CO2/kwh, dan terakhir pada tahun 2015 sebesar 0,893 kg CO2/kwh.
Arti dari faktor emisi ini adalah ketika kita menghasilkan 1 kwh listrik, maka dalam waktu yang bersamaan akan dilepaskan sejumlah 0,894 kg CO2. Dari tren tersebut terlihat faktor emisi terus meningkat, yang berarti pembangkit listrik berbahan bakar fosil semakin mendominasi pembangkitan. Hal ini membuktikan teori saya sebelumnya bahwa menyuruh masyarakat mengkonsumsi listrik secara tidak produktif berarti mendorong peningkatan emisi yang lebih besar di Indonesia.
4. Dan soal penyederhanaan tarif listrik, akan lebih konyol lagi jika penyederhanaan tersebut dilakukan. Orang yang menggunakan listrik 1300 VA seperti saya misalnya tiba-tiba harus tersambung daya 6600 VA atau hampir 6 kali lipat dari daya yang saya perlukan. Lalu apa gunanya kekuatan sebesar itu?
Seolah menyuruh kita untuk menyewa bus antar kota setelah sebelumnya kita nyaman hanya menggunakan city car. Hal ini secara alami akan merangsang pemborosan lebih lanjut. Masyarakat yang terbiasa merotasi penggunaan peralatan listrik sesuai daya sambungannya untuk menghemat secara tiba-tiba mempunyai ruang 6 kali lipat untuk menggunakan peralatan listrik. Belum lagi kontrak listrik yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan saat ini.
5. Terlebih lagi, jika penggunaan minimal ini kemudian diberlakukan, maka seolah-olah itu adalah amal masyarakat untuk PLN saja. Kalau konsumsi minimumnya kemudian lebih rendah dari rata-rata konsumsi saat ini, masih lebih baik, tapi kalau ternyata lebih tinggi atau jauh lebih tinggi, itu benar-benar menjadi sumbangan nasional bagi PLN. Bayangkan saja sebuah rumah kosong, atau rumah jompo yang dihuni oleh 2 orang, atau pelanggan lain yang kemudian harus membayar minimal kwh listrik lebih tinggi. Hanya membayangkan.
6. Dan yang terakhir, dengan tingkat perekonomian saat ini, apakah masyarakat Indonesia benar-benar membutuhkan listrik terkoneksi sebesar itu? Bukankah menjadi sumber sampah nasional yang akhirnya menjadi kebodohan nasional?
Semua hal di atas tentunya hanya akan terjadi jika Dirut PLN melakukan apa yang dikatakannya kepada media, dan mudah-mudahan tidak, semoga saja dia bercanda atau paling-paling menguji jika tidak ada pengangguran seperti saya yang kemudian bereaksi.
Namun jika PLN mempunyai surplus listrik sebesar 40% dan terus meningkat di tahun-tahun mendatang karena pembangunan pembangkit listrik masih berlangsung, bukankah lebih bijak dan strategis jika mendistribusikannya ke pulau lain, misalnya Sumatera atau Nusa. Tenggara, melalui kabel bawah laut. Sistem ketenagalistrikan di pulau lain masih membutuhkan listrik, sedangkan sistem Jawa-Madura-Bali mempunyai kelebihan listrik lebih dari 2 kali lipat dari cadangan yang berlaku.
Dan jika PLN kembali melanjutkan langkah penyederhanaan tarif, semoga para dewa listrik juga beranggapan bahwa tidak semua orang membutuhkan bus kota untuk berkendara dan pergi ke pasar untuk berbelanja selagi memiliki city car, sepeda motor, sepeda, atau bahkan sekedar kaleng. jangan gunakan lari.
Hidup adalah soal pilihan, dan semoga pilihan yang diambil PLN kali ini tepat. Semoga. –Rappler.com
*Penulis adalah praktisi konservasi energi dan perubahan iklim