• October 2, 2024

Mengapa Yulian Paonganan harus kita bela dalam kasus UU ITE?

(DIPERBARUI) Ada yang tidak beres saat Yulian Paonganan ditangkap karena diduga menyebarkan konten pornografi. Beberapa pihak menilai hal tersebut merupakan sebuah kebaikan dan memuji kerja keras polisi dalam proses penangkapan Yulian.

Hal tersebut wajar, sebab selama ini Yulian dianggap musuh dan parasit yang meresahkan banyak orang. Tindakannya di media sosial dinilai membuat marah para pendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Puncaknya saat Yulian mengunggah foto Jokowi bersama artis Nikita Mirzani. Tak berhenti sampai disitu, ia menambahkan hashtag #PapaDoyanLonte. Tentu saja hal ini membuat geram para pendukung Jokowi. Dalam banyak hal saya setuju bahwa itu salah. Tapi melanggar hukum? Tunggu sebentar. Mari kita lihat bias dan sikap kita, apakah adil?

Yulian dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Pornografi. Dia diduga bertanggung jawab sebanyak 200 kali Pos foto selama 12-14 Desember 2015.

(BACA: Bareskrim Diduga Langgar UU ITE dan UU Pornografi, Bareskrim Tangkap Pemilik Akun Twitter @ypaonganan)

Menurut Damar Juniarto, aktivis Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (Safenet), pasal 28 ayat 2 UU ITE yang didakwakan Yulian merupakan pelanggaran yang dapat didakwakan sehingga harus mengacu pada pasal 156 KUHP.

Artinya ada yang harus mengeluh dan tidak bisa berdiri sendiri. Harus jelas siapa yang mengadukan Yulian dan apa alasannya menebar kebencian.

Saya sependapat dengan Damar, Pasal 156 KUHP yang menjadi rujukan UU ITE menyatakan: “Barangsiapa yang di muka umum mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian/hinaan terhadap satu atau lebih kelompok masyarakat Indonesia, wajib diperiksa bersama-sama.”

Tentang apa kebencian ini? Adapun #PapaDoyanLonte, kelompok mana yang dirugikan dengan cuitan Yulian?

Di media sosial disebut-sebut bukan Jokowi yang memberitakan. Lalu siapa? Lalu apa yang membuat sang reporter merasa dirugikan dengan foto tersebut? Kemudian Polri kemudian menyebut Yulian juga disebut-sebut melakukan ujaran kebencian (Kebencian).

(BACA: Kapolri Keluarkan Surat Edaran ‘Ujaran Kebencian’)

Kebencian macam apa? Ejekan, hinaan, dan kata-kata kasar tidak boleh dan tidak termasuk ujaran kebencian. Memang menjengkelkan dan menjijikkan, tapi ini bukan ujaran kebencian.

Misalnya, ujaran kebencian yang terjadi ketika Yulian mengajak atau menyerukan tindakan kriminal/kekerasan terhadap seseorang atau kelompok. Atau jika dia menyerukan pengkhianatan dan penggulingan pemerintah terpilih dengan kekerasan. Jadi itu termasuk ujaran kebencian.

Namun menyebut “perempuan jalang”, “Tionghoa”, “komunis”, dan apa pun itu bukanlah ujaran kebencian. Dia mengolok-olok dan mengutuk. Menjijikkan, tapi perlu dipisahkan Kebencian Dan ejekan.

Membela Yulian bukan berarti membenarkan perkataan dan perbuatannya. Yang ditentang adalah penggunaan pasal karet dalam UU ITE. Bagian karet UU ITE tidak lagi dimaksudkan untuk menghukum netizen yang melakukan perbuatan melawan hukum, namun menjadi ajang balas dendam dan barter hukum, bahkan yang lebih parah lagi menjadi bagian yang anti demokrasi. Selama tahun 2015, pasal karet dalam UU ITE diterapkan pada 70 orang. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

Ada cara yang lebih elegan untuk menghukum Yulian. Jika etika dilanggar, norma sosiallah yang harus diterapkan, bukan hukum. Apa yang dilakukan Yulian selama ini, misalnya marah-marah, mengumpat, dan hal-hal yang membuat kita kesal, tidak menjadikannya pantas dihukum tanpa mendapatkan keadilan. Dalam hal ini, ia harusnya dibela sebagai korban pasal karet UU ITE, bukan membela perkataan atau tindakannya di media sosial.

Yang dipertahankan adalah semangat ruang kebebasan berekspresi. Betapapun menyakitkannya, betapapun menyakitkannya, betapapun kasarnya, betapapun kerasnya. Sepanjang tidak mengandung muatan kriminal, kekerasan, ajakan melanggar hukum, dan tindakan yang merusak fasilitas umum. Sekali lagi, saya setuju bahwa Yulian bertindak terlalu jauh, tetapi memenjarakannya karena marah dan benci tidak akan membuat kita lebih baik darinya.

(BACA: Kontroversi ‘ujaran kebencian’ di balik siapa yang bisa ditangkap)

Surat Edaran Polisi harus disahkan Kebencian dapat menangani isu-isu lain yang lebih penting secara lebih efektif, seperti seruan kebencian terhadap kelompok minoritas, agama dan ras. Tindakan kekerasan, pelanggaran hukum dan kebencian, seperti seruan untuk membunuh kelompok Ahmadiyah dan Syiah.

Seiring berjalannya waktu, kebencian terhadap etnis Tionghoa dan ancaman kekerasan pun semakin meningkat. Ada yang telah diadili, namun masih banyak lagi yang terus melakukan hal yang sama.

Dalam catatan Safenet sejak 2008, sudah ada delapan kasus penodaan agama lewat media sosial yang dijerat pasal 28 ayat 2 UU ITE. Namun tidak satu pun dari kasus-kasus tersebut yang merupakan kejahatan ujaran kebencian. Oleh karena itu, polisi harus memberikan perhatian serius terhadap surat edaran Kapolri agar benar-benar menangkap pelakunya dan tidak sekadar menakut-nakuti. Jangan sampai penindakan terhadap pelaku penebar kebencian dilakukan secara selektif dan tanpa didasari argumentasi yang jelas.

Membela Yulian bukan berarti membenarkan perkataan dan perbuatannya. Yang ditentang adalah penggunaan pasal karet dalam UU ITE.

Selain itu, ada hal yang lebih menjijikan dari sekedar soal membela atau mendukung keyakinan Yulian, yakni sikapnya yang cuek, tidak mau tahu, dan malas memikirkan inti permasalahan. Banyak netizen – tidak semua – yang melakukan standar ganda sikap demokratis selama penangkapan Yulian.

Jika pelakunya adalah orang yang Anda benci, kemungkinan besar Anda akan menerima penerapan UU ITE. Namun, jika sebaliknya, akan ada pihak yang menilai hal tersebut tidak demokratis. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan digeneralisasikantapi kemungkinan ini ada.

Bila pelakunya adalah orang yang anti-Jokowi, maka mereka yang sebelumnya lantang bersuara menentang UU ITE cenderung bungkam karena alasan tertentu. Namun jika ada kelompok pro-Jokowi yang melakukan hal serupa, hal tersebut akan dibela dengan gigih sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Masih ingat meme Prabowo yang dibuat mirip Hitler? Jika posisinya dibalik, apakah pendukung Jokowi akan mengkriminalisasi pelakunya?

Para netizen yang terhormat mengkritik saya karena terkotak-kotak. Saya mengerti, sungguh. Tidak semua orang pandai membaca teks dan wacana. Misalnya saja ada meme Nurdin Halid yang digambar mirip Hitler. Akankah Anda membela Nurdin Halid jika dia melaporkan pelakunya? Atau hanya diam karena sama-sama benci Nurdin Halid dan menganggapnya lucu?

Atau misalnya seperti ini. Sebelumnya, ada kasus yang melibatkan Muhammad Arsyad, aktivis Garda Antikorupsi Makasar. Arsyad didakwa menggunakan ITE karena menulis status di BlackBerry Messenger, “Jangan Takut Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan Pilih Saudara Koruptor!”

Apakah Anda akan membela adik Nurdin Halid karena difitnah, atau membela Arsyad karena membenci Nurdin Halid? Terkadang ada orang yang merasa dirinya paling cantik, namun sebenarnya ya, oportunis.

Ini bukan tentang siapa yang mendukung siapa. Apakah pro-Jokowi atau pro-Prabowo atau belum pindah dari pemilihan presiden. Perjuangan untuk memperoleh ruang demokrasi yang sehat dan bebas telah berlangsung sejak lama. Hal ini belum dilakukan akhir-akhir ini.

Safenet dan orang-orang seperti Damar Juniarto sudah lama melakukan advokasi terhadap korban pasal karet UU ITE dan isu revisi UU ITE. Jika direduksi menjadi sekedar soal pengkotak-kotakan antara Jokowi dan Prabowo, jelas merupakan tindakan yang konyol dan berlebihan.

Sejauh ini mari kita lihat. Apakah Anda mendukung penahanan Yulian karena menghina presiden atau justru karena tidak setuju dengan pandangan politik Anda? Apakah kamu akan adil jika hal serupa terjadi pada temanmu sendiri?

Misalnya saja apakah dia menghina Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Prabowo misalnya? Ataukah menghina dan mempermalukan Jokowi, namun menghina dan menghina Fadli Zon atau Fahri Hamzah dibenarkan?

Penafian penulis:

Pisau salah, argumen salah

Muammar Fikrie, nama keluarga beritagar.id, baru saja menghubungi saya dan menjelaskan bahwa Yulian dijerat hukum karena pasal 27 ayat 1 (kesusilaan) UU ITE. Bukan pasal 28 ayat 1 tentang berita bohong dan ayat 2 tentang kebencian. Selebihnya terkait pornografi (UU No. 44 Tahun 2008). Jadi, semua argumen saya sebelumnya untuk membela Yulian mungkin salah dan tidak akurat.

Adalah kecerobohan saya untuk tidak melakukan verifikasi ulang berulang kali, dan hanya mempercayai satu sumber. Awalnya saya mengira Yulian dijerat pasal 28 ayat 1 UU ITE tentang berita bohong dan ayat 2 tentang kebencian. Sebab menurut saya Yulian memang berpotensi bersalah jika dijerat pasal 27 ayat 1 UU ITE tentang kesusilaan.

Jika Anda salah memahami masalahnya, seluruh argumen yang dibuat untuk menjelaskan masalah tersebut akan berantakan. Ini adalah pelajaran bagi saya. Karena penjelasan yang saya berikan sudah selesai Kebencian, atau seruan kebencian. Namun, jika dugaannya soal pornografi dan kesusilaan, ia punya cara berpikir berbeda. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Penulisannya bergaya satir penuh sarkasme. Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

Keluaran Sydney