• November 28, 2024

Menggambarkan ketidakadilan terhadap perempuan korban kekerasan dan penindasan

SOLO, Indonesia – Dalam dunia seni Dewi Candraningrum, tragedi dan penderitaan tidak selalu kelam. Duka tidak selalu monokromatik, tapi bisa juga serakah terhadap warna. Begitulah feminis dan aktivis Jejer Wadon mengekspresikan wajah perempuan korban kekerasan di atas kanvas.

Dewi adalah pemimpin redaksi Jurnal Perempuan – jurnal feminis pertama di Indonesia sejak tahun 1995 – dan telah banyak menulis tentang Islam, gender, dan lingkungan. Ia mulai menggemari seni lukis sekitar dua tahun lalu, terinspirasi dari putranya yang autis namun sangat berbakat dalam bidang kuas dan cat.

Namun, perempuan yang sehari-hari mengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta ini telah menghasilkan ratusan karya berupa sketsa arang dan akrilik.

Tema-tema yang diangkat tidak jauh dari isu perempuan, dan sebagian besar berkisah tentang korban kekerasan fisik dan seksual. Ia memilih seni rupa sebagai media visual untuk mengekspresikan perlawanan damai terhadap penindasan hak-hak perempuan, serta melalui tulisannya.

“Seperti halnya menulis, lukisan juga bisa menjadi media untuk mengungkapkan gagasan tentang ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan,” kata Dewi.

Dewi adalah seorang feminis Muslim yang menolak diskriminasi seksual. Dalam salah satu karyanya, Ekologi TubuhIa menguraikan tubuh perempuan sebagai wilayah yang otonom dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun.

Baginya, setiap orang mempunyai hak otoritatif untuk menentukan hasrat dan orientasi seksualnya, termasuk lesbian, gay, biseksual, atau transgender.

Dari ‘ianfu’ hingga Mei ’98

Terdapat lebih dari 150 lukisan yang bercerita tentang perempuan yang tidak mampu berbicara, terpinggirkan dan hampir tersesat.

Dewi merekam sederet potret korban pelanggaran HAM dan eksploitasi perempuan, dari par. ianfu Era Jepang hingga perempuan di pegunungan karst Kendeng yang masa depannya terancam oleh pabrik semen.

Para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks untuk militer Jepang pada masa pendudukan di awal tahun 1940-an adalah korban yang hampir terlupakan. Diakui atau tidak, kejadian itu memang benar terjadi pada sosok yang dilukis Dewi.

Berbeda dengan wanita ianfu yang menjadi korban kekerasan akibat perang dunia, para perempuan eks anggota Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) menjadi korban propaganda bangsanya sendiri. Orde Baru mencap mereka sebagai perempuan pengkhianat negara dan penyiksa jenderal. Banyak dari mereka diperkosa, dipenjarakan dan disiksa tanpa mengetahui kesalahan mereka.

Momok komunisme membuat Soeharto dan militer menghapus pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa pemerintahannya. Demi Tuhan, penganut doktrin komunis dilarang tinggal di Indonesia dan perempuan yang tergabung dalam Gerwani – sebuah organisasi perempuan berlogo palu arit yang berafiliasi dengan partai – hak-haknya ditindas dan diperlakukan sebagai manusia.

Dalam sketsa arang di atas kertas, Dewi mengabadikan ciri-ciri perempuan yang dituduh terlibat Gerwani, yakni Lestari, Putmainah, Sulami, dan SK Trimurti. Mereka adalah perempuan korban pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-1966.

Kisah kanvas Dewi berlanjut dengan peristiwa tragis kerusuhan Mei 1998 yang disertai kasus pemerkosaan dan pembunuhan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di Jakarta dan Solo. 17 tahun lalu, Dewi sangat kuat mendukung penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang menandai jatuhnya rezim Orde Baru, padahal hingga saat ini belum ada proses peradilan.

“Saya menggambarkan wajah korban pemerkosaan dengan warna-warna cerah. Kesedihan dan penderitaan selalu memiliki harapan. “Mereka tidak kehilangan sedikit pun kehormatan dan kesuciannya sebagai perempuan,” kata Dewi.

Berdasarkan data Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF), setidaknya ditemukan 85 kasus kekerasan seksual yang sebagian besar dialami oleh perempuan etnis Tionghoa. Sebanyak 52 kasus di antaranya merupakan pemerkosaan massal, 14 kasus pemerkosaan dengan kekerasan, 10 kasus penyiksaan, dan 9 kasus pelecehan seksual. Sementara data tim independen menyebutkan jumlah kasus sebenarnya mencapai ratusan.

(BACA: Lubang Buaya dan Pola Pemerkosaan Massal yang Berulang di Indonesia)

“Prasasti Pondok Rangon penting sebagai pengingat. Namun yang lebih penting bagi para korban dan keluarganya adalah jaminan negara agar tragedi serupa tidak terulang kembali, kata Dewi.

Wanita Kendeng

Dewi merupakan pengagum wanita Kendeng. Ia datang, bertemu dan berbincang dengan perempuan-perempuan yang melakukan protes terhadap pendirian pabrik semen dan tambang batu kapur di kawasan karst yang berpotensi merusak lingkungan pertanian mereka, termasuk mengeringkan mata air.

Perempuan-perempuan ini kuat dan tidak takut terhadap ancaman aparat keamanan yang pernah membubarkan aksi mereka. Perempuan-perempuan tersebut tetap bertahan di pabrik semen di Rembang, meski gugatannya ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dan saat ini sedang dalam proses banding.

(BACA: TIMELINE: Warga Kendeng berjalan kaki 122 kilometer untuk mendapatkan keadilan)

“Perempuan di Kendeng memperjuangkan kelestarian alam, mereka bertahan berbulan-bulan di tenda. “Mereka penjaga bumi dan air, ibu kami,” kata Dewi yang melukis wajah perempuan Kendeng sebagai dukungan perjuangan masyarakat Sikep (Samin).

Bagi Dewi, perempuan Kendeng merupakan potret perempuan dari komunitas agraris tradisional yang ingin meneruskan kehidupannya secara terus menerus dari generasi ke generasi tanpa merusak alam. Mereka menentang setiap industri yang berpotensi merusak alam secara damai, termasuk melalui jalur hukum.

Pada 17 November 2015, Dewi menyambut gembira keputusan PTUN Semarang yang mengabulkan gugatan petani Tambakromo, Kayen, dan Sukolilo. Ia menilai keputusan majelis hakim yang memerintahkan pencabutan Surat Keputusan Bupati Pati tentang izin lingkungan anak perusahaan Indocement cukup adil.

(BACA: Warga Kendeng Menangkan Gugatan Pabrik Semen)

Sunat perempuan dan perkawinan anak

Kekhawatiran Dewi tidak hanya berhenti di Indonesia. Saat meneliti kepemimpinan anak perempuan di sekolah-sekolah di Afrika tahun lalu, ia menemukan fakta tentang praktik yang tersebar luas. Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), atau proses pemotongan bagian organ intim wanita, seperti di beberapa negara Asia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

“Saya menggambarkan wajah korban pemerkosaan dengan warna-warna cerah. Kesedihan dan penderitaan selalu memiliki harapan. Mereka sama sekali tidak kehilangan kehormatan dan kesuciannya sebagai perempuan.”

Di Zambia, di mana ia melukis wajah anak-anak yang kehilangan kegembiraannya karena banyaknya kasus eksploitasi dan perdagangan anak, FGM juga menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan anak perempuan. Tak sedikit yang meninggal saat menjalani praktik tradisional tersebut.

“FGM di Zambia memiliki risiko kematian yang tinggi. Anehnya, praktik ini masih dipertahankan di 27 negara Asia dan Afrika. “Sekitar 125 juta kesehatan dan kehidupan anak perempuan terancam oleh FGM,” katanya.

Kemiskinan dan praktik FGM juga diperburuk oleh tingginya risiko infeksi HIV karena negara ini berada di urutan ke-11 negara kurang berkembang. Banyak anak perempuan tidak memiliki akses terhadap pendidikan, kesehatan dan fasilitas sosial.

Tingkat melek huruf anak perempuan di Zambia 15 persen lebih rendah dibandingkan anak laki-laki (usia 15-24 tahun) berdasarkan data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Di masa remajanya, anak perempuan biasanya “dijanjikan” untuk menjadi pengantin muda.

Angka pernikahan anak di Indonesia juga masih tinggi, nomor dua setelah Kamboja. Satu dari lima anak menikah sebelum usia 18 tahun. Setidaknya sekitar 142 juta anak perempuan di dunia menikah sebelum dewasa dalam satu dekade terakhir. —Rappler.com

BACA JUGA:

Pengeluaran SDY