• November 27, 2024

Mengikuti aturan rotan, seorang perempuan di Pidie berkali-kali pingsan

SIGLI, Indonesia —HW, warga Kabupaten Pidie, Aceh, merintih kesakitan. Perempuan berusia 19 tahun itu menundukkan wajahnya saat pukulan tongkat yang ketiga kali mengenai punggungnya.

Dia terus mengerang. Namun, algojo yang mengeksekusinya tampaknya tidak mempermasalahkan erangannya. Cambuk demi cambuk terus menampar punggung HW.

HW menerima cambuk dalam posisi duduk tanpa penutup muka. Air mata mengalir di pipinya. Mulutnya bergumam. “La ilaha illallah,” desis bibirnya di sela-sela tangisnya pada Jumat, 14 Juli 2017.

Dia harus menerima 100 pukulan. Namun pada pukulan ke 21, HW pingsan. Tubuhnya ambruk di lantai platform berukuran 3 x 3 meter. Petugas polisi syariah Wilayatul Hisbah (WH) yang berada di atas panggung langsung menangkapnya.

Tak lama kemudian, tenaga medis pun ikut naik ke atas panggung. Setelah diperiksa tim medis, HW diturunkan karena sudah tidak sadarkan diri. Setelah sadar, HW dibawa kembali ke atas panggung.

Sisa 79 pukulannya masih harus ia jalani. Namun pada pukulan ke 50, HW kembali jatuh pingsan. Pemukulan untuk sementara dihentikan lagi.

Setelah sadar kembali, HW menyelesaikan sisa 50 pukulan padanya. Dia masih terus menangis. Kali ini ia mampu mendapatkan pukulan hingga 100 kali, namun setelah itu HW kembali pingsan untuk ketiga kalinya.

Sementara AP (21), warga Langkat, Sumatera Utara, yang pasangannya yang berzina dicambuk, dijatuhi hukuman 100 kali lipat dari HW.

Pria itu direbus dalam posisi berdiri. Saat dia dieksekusi, tangannya digenggam. Sesekali ibu jari kirinya tampak bergetar.

AP terlihat tegar saat mendapat pukulan rotan di punggungnya. Hingga pukulan ke-25, petugas menghentikan sementara eksekusi, menggantikan algojo. Oleh algojo kedua, AP hanya dipukul sebanyak 25 kali.

Setelah dipukul sebanyak 50 kali, petugas membawanya untuk beristirahat di ruangan khusus di masjid. Sisanya berlanjut setelah pelanggar syariah lainnya dihukum. AP benar-benar menahan pukulan tongkat di punggungnya sebanyak 100 kali. Empat algojo bergantian menyerangnya.

HW dan AP divonis hukuman cambuk masing-masing 100 kali setelah kedapatan melanggar qanun syariah; zina Keduanya ditangkap bulan Ramadhan lalu di sebuah toko kaca di Sigli, tempat AP bekerja. Saat ditangkap, keduanya diketahui menjalin hubungan layaknya suami istri.

Keduanya melanggar pasal 33 ayat 1 Qanun nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang ancaman hukumannya 100 cambukan. Selain HW dan AP, ada sembilan pelanggar syariah lainnya yang ditikam di halaman Masjid Alfalah, Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh pada Jumat 14 Juli 2017.

Beberapa diantaranya diketahui pernah melakukan ikhtilath dan maisir. Seluruh pelanggar syariah merupakan warga Kabupaten Pidie. Kecuali AP, warga Langkat, Sumatera Utara.

Ribuan warga memadati halaman masjid untuk menyaksikan eksekusi cambuk yang dilakukan usai salat Jumat. Meski diguyur hujan, tak menyurutkan semangat warga sama sekali. Di antara pengunjung yang terlihat, terdapat anak-anak dan perempuan.

Sementara MA (31) dan MU (34) masing-masing mendapat hukuman cambuk sebanyak 30 kali setelah keduanya terbukti melakukan tindak pidana kejahatan terhadap salah satu perabot di Geulumpang Baro, Pidie, selama bulan Ramadhan. Keduanya melanggar pasal 25 ayat 1 qanun nomor 6 tahun 2014 tentang hukum Jinayat.

Ikhtilath adalah suatu perbuatan cinta kasih berupa rayuan, sentuhan, pelukan dan ciuman antara seorang pria dan seorang wanita yang bukan suami istri atas persetujuan kedua belah pihak, baik di tempat tertutup maupun terbuka.

Setelah itu giliran pelaku yang dipukul. Mereka adalah DA (34), ED (34), AB (32), MU (25), KA (21), SA (27) dan MR (22). Ditemukan pasal 5 dan 18 Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang UU Jinayat, dengan jumlah 12 – 30 pukulan.

Maisir (judi) adalah permainan yang menggunakan uang atau barang berharga sebagai taruhannya.

Muhammad Abd, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sigli, mengatakan kepada Rappler, eksekusi cambuk terhadap kasus pasangan yang berzina ini merupakan yang pertama kali dilakukan dalam dua kali pencambukan umum di Kabupaten Pidie pada tahun 2017.

“Baru kali ini terjadi perzinahan, digerebek warga pada bulan Ramadhan terakhir,” kata Muhammad usai acara pencambukan.

Supriadi Daysin, warga Kabupaten Pidie mengomentari penerapan hukuman cambuk di Pidie yang menurutnya masih perlu ditingkatkan. Ia mencontohkan seperti tidak adanya pagar pengaman antara penonton dan panggung.

“Sesuai aturan, harus ada safety rail antara penonton dan panggung, seingat saya jaraknya tujuh meter. Tapi kenyataannya tidak ada sama sekali,” kata Supriadi kepada Rappler, Jumat, 14 Juli 2017.

Selain pagar, kehadiran anak-anak yang mengawasi seolah tak terhiraukan. Padahal, kata Supriadi, anak-anak dilarang melihat tongkat.

“Apalagi ada pengunjung perempuan yang berpakaian tidak sopan turut menyaksikan pencambukan, sangat tidak sinkron. “Di satu sisi pelanggarnya dipukuli, tapi yang berpakaian tidak sopan dibiarkan begitu saja,” lanjut Supriadi.

Pukul 15.30 WIB pukulan ke-100 menghantam punggung AP. Sorak-sorai penonton menemaninya turun dari panggung. “Bukankah itu bagus?” sempat terdengar di tengah kerumunan warga. Tak lama kemudian, halaman Masjid Alfalah menjadi sunyi. Hanya beberapa petugas yang sedang membersihkan tenda. Pemukulan telah selesai.—Rappler.com