• September 25, 2024
Mengikuti jejak penguasa di Festival Film Purbalingga

Mengikuti jejak penguasa di Festival Film Purbalingga

JAKARTA, Indonesia—Festival Film Pelajar Purbalingga merupakan festival tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecinta Sinema Purbalingga yang telah berjalan selama satu dekade. Namun baru tahun ini festival film ini mendapat ancaman dari kelompok intoleran, padahal sudah mengantongi izin dari Polres Purbalingga.

Ancaman tersebut, menurut komunitas Gemademocracy yang memantau peristiwa ini, bermula dari beredarnya pesan berantai di WhatsApp pada 23 Mei.

Isinya seputar hasil musyawarah bersama yang dihadiri Gerakan Pemuda Ansor, Front Multiguna Ansor Nahdlatul Ulama (Banser), Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI). Musyawarah tersebut disaksikan oleh Kodim Purbalingga.

Hasil pertemuan tersebut antara lain penolakan penayangan film tersebut Pulau Perburuan Tanah Air Beta di festival tersebut dan menginstruksikan pengurus Ansor dan Banser untuk bertindak jika pemutaran film Rahung Nasution dan Wishnu Yonar tetap digelar.

Kemudian pada Selasa, 24 Mei, panitia membalas melalui akun Twitter @festfilmpbg terkait isu dipanggil Polres Purbalingga. Surat panggilan diserahkan oleh Kasat Intel Polres Purbalingga.

Panitia kemudian bernegosiasi dengan Kapolres Purbalingga terkait hal tersebut. Panitia menyampaikan hingga saat ini belum menerima laporan penolakan dari organisasi masyarakat tertentu terkait pemutaran film tersebut Pulau Perburuan Tanah Air Beta.

Tak lama kemudian, beredar surat penolakan pemutaran film yang dikeluarkan Aliansi Pemuda Cinta Pancasila Purbalingga dengan tembusan dari Kodam, Kodam, Panglima Lanud, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Kapolres Purbalingga.

Keesokan harinya, Rabu 25 Mei, Hotel Kencana tempat berlangsungnya Festival Film Purbalingga mengeluarkan surat imbauan kepada panitia untuk tidak memutar film tersebut. Pulau Perburuan Tanah Air Beta pada hari Kamis, 26 Mei.

Surat tersebut ditandatangani oleh Hadiyanto, Asisten Manajer Operasional Hotel Kencana Purbalingga. Menurut mereka, surat ini diberikan kepada manajemen hotel atas permintaan Kodim.

Penolakan kemudian beredar di akun Twitter @Korem_071 dan informasi Kodim Purbalingga secara bersamaan. Mereka mengedarkan foto-foto berisi pertemuan ormas FKPPI di Aula Kodim 0702/Pbg.

Pada Kamis 26 Mei, hari pemutaran film, ormas tidak menyetujui pemutaran film tersebut Pulau Perburuan Tanah Air Beta memasang spanduk di depan hotel Kencana bertuliskan Tolak dan bubarkan! Segala macam kegiatan yang dapat mendorong bahaya laten komunisme di Indonesia.

Kemudian pada hari Jumat, 27 Mei, panitia memutuskan untuk tetap melanjutkan pemutaran film tersebut dengan segala cara.

Hari itu, pukul 14.30, para anggota ormas mulai berkumpul di depan hotel Kencana Purbalingga dan melakukan orasi menentang pemutaran film tersebut. Pulau Perburuan Tanah Air Beta. Sementara itu, panitia sedang bernegosiasi dengan pihak hotel agar tidak terjadi pembubaran.

Pukul 14.51, anggota ormas akhirnya masuk ke festival dan menonton dua film Biarkan aku menikahinya Dan Saya hanya melaksanakan perintah jenderal. Namun belum selesai menonton kedua film tersebut, pada pukul 15.15 mereka memilih keluar.

Lima belas menit kemudian, tepatnya pukul 15.30, panitia yang diwakili oleh Dimas Jayasrana dan Bowo Lekson mengatakan pemutaran film Pulau Perburuan Tanah Air Beta tidak dilanjutkan dan digantikan oleh ormas yang akan menonton dua film dan dialog lainnya.

Namun alih-alih ikut berdiskusi, peserta ormas memilih pulang dengan alasan “Tidak boleh merokok di ruang pemutaran”.

Modus lama

Asep Komaruddin dari Gemademocracy mengatakan keterlibatan aparat dalam pelarangan pemutaran sejumlah film bukanlah hal baru.

Mereka selalu aktif dan reaktif jika menyangkut isu kebebasan beragama, Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT), serta kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Kami melihat sejak awal pihak berwenang berusaha menjembatani pihak-pihak yang menolak dengan panitia. “Tetapi kemudian mereka tampak lebih mendukung mereka yang menolak menayangkan film tersebut,” kata Asep kepada Rappler, Senin, 30 Mei.

Pihak berwenang akhirnya gagal melindungi acara pemutaran film Buru dan memaksa penyelenggara untuk membatalkannya.

Cara lama ini berulang dan membuat beberapa kelompok kesal. “Padahal kami ingin hal seperti ini tidak terjadi lagi,” ujarnya.

Sebab di kemudian hari tidak menutup kemungkinan kasus serupa akan muncul. “Caranya sama, hanya diakhiri dengan isu-isu yang berubah,” ujarnya.

Menang meski dibenci

Meski ditolak oleh beberapa ormas, Pada akhirnya, film bertema korban tahun 1965 tersebut berhasil meraih penghargaan di festival ini.

Film berjudul Biarkan aku menikahinya Misalnya saja karya sutradara Raeza Raenaldy Sutrimo berhasil menjadi film fiksi SMA terbaik, sekaligus film fiksi SMA favorit penonton. Film berdurasi 10 menit ini mampu mengalahkan lima film pesaingnya.

Diproduseri oleh Guerilla Pak Dirman, film ini bercerita tentang kisah cinta seorang prajurit bernama Suryono yang hendak menikah dengan bidan Suryati.

Namun karena kakek Suryati adalah mantan tahanan politik (tapol), atasan Suryono tidak mengizinkan mereka menikah.

Pada Kategori Kompetisi Film Dokumenter SMA Kami hanya mengikuti perintah, Jenderal! karya sutradara Ilman Nafai, siswi SMA Negeri Rembang Purbalingga berhasil meraih penghargaan Film Dokumenter SMA Terbaik. Film ini menampilkan kisah tiga mantan pasukan Cakrabirawa semasa hidup.

“Sebelum kami membuat fiksi, kami terlebih dahulu memproduksi film dokumenter. Dari awal pihak sekolah tidak mendukung karena takut dengan konten film yang kami produksi. Hak kami untuk memperoleh dana produksi tidak berkurang. “Bahkan setelah filmnya selesai, kami didatangi oleh Kodim Purbalingga,” jelas Ilman yang masih duduk di kelas X.

Juri fiksi menilai film ini mengisi film yang selama ini belum mengangkat isu sensitif terkait 65 korban, yakni dari pihak Cakrabirawa.

“Film ini menambah teori-teori baru tentang sejarah tahun 65, apalagi jika kita melihat referensi-referensi yang ada di sana,” kata dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Soadirman, Muhammad Taufiqurrohman.

Usai Festival Film Purbalingga, apakah pihak berwenang akan kembali melarang pemutaran film sekitar tahun 1965 di tahun-tahun mendatang? —Rappler.com

Data Hongkong