Mengintip UU Kesehatan Mental dalam keadaan darurat?
- keren989
- 0
Saya tetap diam karena saya ambigu. Di satu sisi, ada rasa terkejut bahwa UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tiba-tiba mulai dikenal dan pengertian istilah ODMK dan ODGJ menjadi perdebatan, sehingga stigmatisasi istilah “orang gila” seolah ditelan bumi. Di sisi lain, ada kesadaran bahwa UU 18/2014 seolah hanya dilihat ketika banyak pihak yang terikat dan sadar, “Oh iya, hampir lupa, kita punya UU Kesehatan Jiwa.”
Ya itu betul. Merek kami sedang dalam krisis.
Saya pribadi tidak melupakan sejarah. Republik Indonesia juga mengesahkan UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1966 oleh Presiden Soekarno, dan Menteri Sekretaris Negara Mohd. Ichsan. Namun dalam perjalanan bangsa kita, UU 3/1966 yang ditandatangani oleh Soekarno dibatalkan dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. UU 23/1992 bertahan sekitar 17 tahun hingga akhirnya digantikan oleh UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam UU 36/2009 terdapat bab tentang Kesehatan Jiwa dan amanat bagi pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah yang mengatur upaya kesehatan jiwa. Peraturan ini tidak pernah lahir. Berkaca dari kenyataan tersebut, saya memilih untuk sangat berhati-hati dengan nasib UU 18/2014.
Perbandingan antara UU 3/1966 dengan UU 18/2014 adalah UU 3/1966 hanya mengatur secara garis besar penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa, sedangkan UU 18/2014 mengatur berbagai upaya kesehatan jiwa secara rinci mulai dari promotif, pencegahan, kuratif. dan rehabilitatif. Aspek-aspek seperti modernisasi, bonus demografi, bencana alam, persaingan, globalisasi, dan sebagainya, menuntut UU 18/2014 untuk lebih komprehensif guna melindungi masyarakat Indonesia.
Asal Usul RUU Kesehatan Jiwa yang saya – as anak baru– diinisiasi pada tahun 2009 di Komisi IX DPR RI yang kemudian mendapat dukungan kuat dari rekan-rekan di Komisi IX DPR RI yaitu membangun sistem layanan kesehatan jiwa di Indonesia dengan satu misi penting yaitu mengakhiri pelanggaran HAM akibat borgol 57.000 orang dengan gangguan jiwa berat. Pada kebanyakan kasus, borgol merupakan keputusan akhir dan tersulit bagi keluarga yang nyatanya sangat menyayangi anggota keluarganya, namun terpaksa melakukannya karena tidak tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang terpadu, menyeluruh, berlapis, menyeluruh dan patuh. dengan prinsip kesetaraan – kesetaraan.
Tidak banyak psikiater yang terlibat dalam penyusunan UU Kesehatan Jiwa, namun setidaknya ada tiga nama yang setia mengawal perjuangan saya mulai dari proses nonformal hingga partisipasi dalam pawai. mengangkut terjun ke mata air DPR RI ketika RUU Kesehatan Jiwa disahkan oleh paripurna DPR RI pada 8 Juli 2014. Mereka adalah Dr. Eka Viora, SpKJ, dr. Pandu Setiawan, SpKJ, dan dr. Irmansyah, SpKJ. Ketiganya menjabat Direktur Direktorat Pembinaan Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan.
Mengenai ODMK saya jelaskan pada artikel Simak Makna LGBT dalam UU Kesehatan Jiwa yang menanggapi dr. Fidiansjah, SpKJ. Namun kemudian terjadilah dinamika yang luar biasa dengan “keberanian” Dr. Fidiansjah dalam acara televisi Indonesia Lawyers Club. Sesuai prediksi, terdapat perbedaan pendapat bahkan di kalangan psikiater sendiri.
Pernyataan Dr. Fidiansjah kemudian disusul dengan jabatan resmi PP PDSKJI. Meski sudah ada kepatuhan terhadap PP PDSKJI, namun bisikan-bisikan masih sangat nyaring. Ada juga yang mengirimiku pesan melecehkan pada UU Kesehatan Mental. Ada pula yang mengirimkan pesan ucapan terima kasih kepada UU Kesehatan Jiwa sehingga tidak lagi mengkhawatirkan masa depan anaknya.
Orang dengan gangguan jiwa (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak terdiagnosis. Apabila istilah ODGJ dimasukkan dalam ketentuan umum UU 18/2014, maka siapa pun yang termasuk dalam kategori ODGJ didasarkan pada entitas diagnostik yang ditentukan dalam buku pedoman diagnostik yang sesuai. Saat ini di Indonesia berlaku PPDGJ 3 (Pedoman dan Klasifikasi Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3), namun untuk klaim BPJS berlaku ICD 10 (International Statistical Classification of Diseases andrelated Health Problems).
Oleh karena itu, ODGJ sangat erat kaitannya dengan upaya kuratif dan rehabilitatif, sedangkan ODMK sangat erat kaitannya dengan upaya promotif dan preventif. Saya kesulitan membayangkan penggunaan istilah ODMK tanpa adanya peraturan turunan dari UU 18/2014 yang mampu memperjelas kriteria dan menghubungkannya dengan upaya kesehatan mental yang relevan. Sebab asal usul pemikiran tentang ODMK dalam RUU Kesehatan Jiwa hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh Didier Fassin dalam bukunya. Alasan Kemanusiaan: Sejarah Moral Masa Kini:
Tsunami yang melanda Asia Selatan pada tanggal 26 Desember 2004, yang menewaskan lebih dari 285.000 orang dan memicu kampanye yang menghasilkan sumbangan diperkirakan lebih dari 5 miliar euro, merupakan fakta sejarah yang secara dramatis menekankan bencana alam, sejauh bencana tersebut mewakili bencana tersebut. baik yang paling masif (dalam hal jumlah korban) maupun yang paling murni (yang mungkin berada di luar kendali manusia atas kemalangan kolektif adalah bagian dari semesta moral modern.”
Saya membayangkan ketika masyarakat dihadapkan pada bencana alam sebesar dan diceritakan dengan baik oleh Didier Fassin, maka mereka harus dilindungi hukum atas kelangsungan hidupnya yang tetap dalam kualitas ketidakberdayaan. Kelompok pertama yang dapat disarankan untuk dilindungi dalam kategori ODMK adalah para penyintas bencana alam.
Selanjutnya, saat menggarap UU 18/2014, Kemenkes menyatakan ada 8 daerah di Indonesia yang rawan bencana alam, sehingga saya antusias dengan model proyek Psychological First Aid (PFA) bagi penyintas erupsi Merapi. dengan bantuan dr. Eka Viora, dr. Irmansyah, dan Crisis Center UI.
Tidak ada urgensi untuk memperdebatkan apakah UU 18/2014 itu benarmelecehkan sebagai pembenaran argumentasi hanya ketika masyarakat berpolemik, karena pokok persoalannya adalah suksesi konkrit yang tidak melenceng jauh dari semangat awal perjuangan di Komisi IX DPR RI.
Sejak disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 8 Juli 2014, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 7 Agustus 2014 sebagai UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin saat itu.
Pasal 90 dengan jelas menyatakan bahwa Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini WAJIB mulai berlaku paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Satu tahun berarti Agustus 2015. Dan sekarang sudah tahun 2016.
Berikut pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kementerian Kesehatan sebagai sektor unggulan bekerja sama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan kementerian terkait lainnya:
- Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi untuk menjamin upaya kesehatan jiwa yang terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan sepanjang siklus hidup manusia diatur dalam peraturan presiden.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya promosi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan upaya preventif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan upaya kuratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan upaya rehabilitasi diatur dalam peraturan pemerintah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan ODGJ selain ilmu kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pengadaan, peningkatan mutu, penempatan dan pemanfaatan, serta pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan jiwa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan persyaratan fasilitas pelayanan di luar bidang kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap fasilitas pelayanan di luar bidang kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat diatur dalam peraturan pemerintah
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan kesehatan jiwa untuk tujuan hukum diatur dengan Peraturan Menteri.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan Kesehatan Jiwa pada jabatan atau jabatan tertentu diatur dengan Peraturan Menteri.
Memang, menjabat di birokrasi berbeda dengan jabatan politik. Masa jabatan seorang birokrat hanya sebatas pada tahap pensiun sehingga durasinya cukup lama. Berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya, karena menyadari keterbatasan waktu, UU Kesehatan Jiwa harus disahkan di DPR RI dalam waktu 5 tahun.
Tapi mari kita optimis, kita tunggu regulasi turunan dari UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Semoga Dr. Fidiansyah selanjutnya harus meminta perhatian Menteri Kesehatan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah pembangunan Kesehatan Jiwa di Indonesia. —Rappler.com
Nova Riyanti Yusuf atau lebih dikenal dengan Noriyu merupakan anggota DPR RI periode 2009-2014, dan menjabat Wakil Ketua Komisi IX Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Salah satu tugas penting yang diembannya adalah menginisiasi rancangan undang-undang (RUU) kesehatan. Lihat apa UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014).
Tulisannya di Rappler Indonesia merupakan bagian dari advokasi kesehatan mental semangat untuk menjamin terlaksananya sekaligus lahirnya peraturan turunan UU 18/2014 di Indonesia.
BACA JUGA: