• November 25, 2024

Mengungkap kebenaran tragedi 1965 tanpa negara

DEN HAAG, Belanda—Terdapat tujuh pergantian presiden sejak reformasi, namun ada satu hal yang belum mampu diwujudkan oleh pemerintah. Ini merupakan upaya untuk mengadili dan mengungkap kebenaran kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang masih berlangsung.

Namun, di Hari Pahlawan kemarin, Selasa 10 November, gabungan aktivis, korban, akademisi, pengacara, dan jurnalis memulai langkah tersebut di International People’s Tribunal (IPT).

Babak kelam peristiwa tahun 1965, salah satu dari tujuh pelanggaran HAM berat di masa lalu, dibuka di hadapan hakim di Den Haag, Belanda.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat juga merupakan janji kampanye Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang tertuang dalam Nawacita, serta tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

Pengadilan Rakyat Internasional yang diadakan di Den Haag bergerak lebih cepat dibandingkan Pemerintah.

Uji coba ini dimulai secara spontan setelah pemutaran film The Act of Killing di sebuah festival Film yang penting Den Haag, 22 Maret 2013.

Dalam pertemuan tersebut, sutradara film Joshua Oppenheimer bertanya kepada komunitas pengasingan dan aktivis yang hadir.

“Dia bilang saya melakukan yang terbaik yang saya bisa sebagai peneliti dan direktur. Sekarang apa yang ingin kamu lakukan?’ Semua orang terdiam. Apa yang bisa dilakukan? Saat itu kami lelah, hasil penyelidikan Komnas HAM ditolak, kata Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Umum Yayasan IPT 1965.

Hingga akhirnya muncul usulan untuk mengungkap kebenarannya sendiri di forum internasional. Caranya melalui IPT.

Pengadilan ini bukanlah pengadilan biasa yang mengikuti mekanisme formal pemerintah atau badan internasional. Pengadilan ini dibentuk oleh masyarakat sipil yang kewenangannya bersumber dari suara korban kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dia melakukan investigasi hukum terhadap kasus-kasus hak asasi manusia yang dibatalkan oleh negara. Meski bertugas membuktikan tanggung jawab negara atas pelanggaran HAM, IPT tidak berwenang menjatuhkan sanksi hukum.

Tanpa Kedutaan Besar Indonesia

IPT 1965 mengumpulkan bukti-bukti dan kesaksian para korban dan saksi ahli tentang apa yang terjadi setelah enam jenderal dan satu letnan dibunuh pada malam 30 September. Alhasil, jaksa yang dipimpin Todung Mulya Lubis mengajukan 9 dakwaan terhadap negara.

“Tragedi tahun 1965 menceritakan lebih dari sekedar pembunuhan massal. “1965 juga menceritakan tentang perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, penganiayaan melalui propaganda, serta keterlibatan negara lain yaitu Inggris, Amerika Serikat, dan Australia,” kata Todung.

Kesembilan dakwaan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di masa lalu oleh negara Indonesia, khususnya militer dan aparatur negara serta berbagai elemen ormas.

“Namun disadari atau tidak, ada sikap yang mendorong kita untuk melupakan masa lalu dan fokus ke masa depan. Jangan melihat, jangan buka luka lama. Namun lukanya tidak pernah sembuh. “Untuk menyembuhkannya, kebenaran harus diungkapkan,” katanya.

Nursyahbani mengatakan betapa pentingnya mengungkap kebenaran karena hingga saat ini pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan belum tersentuh. Para korban tidak direhabilitasi dari stigma yang melekat pada mereka.

“Tujuan kami adalah proses penyembuhan. “Selama sejarah Indonesia masih terdistorsi dalam sistem pendidikannya, maka negara tidak bisa belajar dari masa lalu. Tidak ada jaminan pelanggaran ini tidak akan terulang kembali.” dia menjelaskan.

Sayangnya, tidak ada perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Belanda yang bisa mendengarnya secara langsung. Padahal hakim bertanya, apakah ada pihak lain yang ingin mentransfer sesuatu, misalnya dari pemerintah Indonesia?

Tidak ada yang maju. Saat dikonfirmasi, KBRI membenarkan ketidakhadirannya.

Karena seperti yang dikatakan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri: ‘Kasus ini sudah selesai. Kita harus menatap ke depan, kita akan membangun Indonesia menjadi bangsa yang besar dan kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita. Jadi kita bisa dan harus maju kedepan,” kata Koordinator Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Den Haag Azis Nurwahyudi dalam rilisnya.

Dibutuhkan tiga Maaf

Jika kasus ini harus ditutup bagi pemerintah, hal sebaliknya terjadi pada sejarawan Asvi Warman Adam, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sebagai saksi ahli dakwaan perbudakan, Asvi menjelaskan panjang lebar bahwa pengasingan tapol ke Pulau Buru bukan hanya sekedar penahanan tapi juga perbudakan.

“Beda dengan di penjara. Mereka ditangkap tanpa diadili, tanpa mengetahui kemana tujuan mereka, tanpa mengetahui kapan akan dibebaskan. “Mereka diisolasi dan melakukan kerja paksa mulai pukul 04.00 hingga 22.00,” ujarnya.

Pengasingan tapol ke Pulau Buru dimulai tepat pada Hari Kemerdekaan tahun 1969. Para tahanan dibawa secara paksa dari berbagai penjara. Kemudian mereka diangkut dengan kereta api yang seluruh jendelanya ditutup papan kayu.

Sesampainya di Tanjung Priok mereka naik kapal menuju Nusa Kambangan, lalu ke Buru. Sesampainya di sana, mereka harus bekerja membangun barak dan membuka lahan sendiri tanpa peralatan yang disediakan. Mereka juga tidak diperbolehkan melakukan kontak dengan warga sekitar, bahkan dengan orang Bugis yang ada di pelabuhan.

Asvi menganalisis, pengasingan ini ada kaitannya dengan Pemilu yang akan berlangsung pada tahun 1971. Sebab, pemerintahan Soeharto menganggap mereka berbahaya. “PKI dilarang agar tidak menjadi peserta pemilu. “Tapi pemerintah khawatir mereka bisa mempengaruhi masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, pemerintah harus meminta maaf kepada para narapidana yang mengalami perbudakan di Pulau Buru. Pasalnya, jelas pembuangan puluhan ribu tapol di Buru merupakan perintah negara.

Ada dua alasan lagi yang menurut Asvi relevan untuk dilontarkan pemerintah. Permintaan maaf kedua ditujukan kepada orang buangan, pelajar, dan pekerja Indonesia yang tidak bisa pulang karena dicabut kewarganegaraannya. “Pemerintah bersalah karena mencabut kewarganegaraan mereka,” katanya.

Alasan ketiga adalah untuk korban stigma PKI. Dia mencontohkan pada tahun 1981, Menteri Dalam Negeri saat itu menyatakan siapa pun yang terlibat di PKI dan anak-anaknya dilarang menjadi PNS dan ABRI.

Negara harus meminta maaf karena kebijakan ini jelas bertentangan dengan konstitusi.

“Isu permintaan maaf pemerintahan Jokowi pernah dimainkan sebagai permintaan maaf kepada PKI. “Saya kira Presiden sendiri yang harus meminta maaf secara konkrit dan jelas,” tegasnya.

Namun salah satu saksi yang mengalami penyiksaan, penulis Martin Aleyda mengaku tak perlu meminta maaf. “Yang saya inginkan adalah kebenaran diakui dan sejarah ditulis ulang.”

Kejahatan yang terorganisir dan meluas

Pada sidang hari pertama kemarin, jaksa memeriksa saksi atas dua dakwaan, yakni pembunuhan dan perbudakan. Saksi menceritakan pembunuhan massal yang terjadi di Solo, Wonosobo, Nusa Tenggara Timur, dan Bali.

  • Martono dari Solo. Martono mengaku terpaksa membuang jenazah markas CPM ke Sungai Bengawan Solo. Hal ini dilakukannya setiap hari, selama dua tahun antara tahun 1967-1969. “Kalau hari biasa ada dua atau tiga jenazah, kalau akhir pekan bisa 20 orang,” ujarnya.
  • Saksi ahli Ferry Putra asal Wonosobo. Ia memaparkan hasil penggalian kuburan massal di sana pada tahun 2000. “Total ada 21 tulang di hari ketiga. “Tapi tidak menutup kemungkinan masih ada lagi, karena setelahnya ditemukan beberapa tulang lagi,” ujarnya. Dari susunan tulangnya, dokter forensik menyimpulkan eksekusi terjadi dalam waktu singkat. Para tahanan berbaris berhadap-hadapan. Kemudian mereka terkena peluru dari senjata laras panjang dan pendek. Mereka jatuh ke dalam lubang dan dikuburkan di sana.
  • Ibu Ngesti dari Nusa Tenggara Timur. Nyonya. Ngesti memaparkan penelitiannya mengenai peristiwa penembakan di enam lokasi sepanjang 1965-1966. Polisi dan TNI juga bertindak sebagai regu tembak. Sementara itu, masyarakat, termasuk pejabat setempat dan tokoh gereja, bertugas menangkap korban dan membawa mereka ke lokasi pembantaian.
  • Saksi ahli Lesley Dwyer dari Bali. Ia membeberkan hasil penelitiannya bahwa terdapat 100 kuburan massal di Bali. “Korbannya saat itu berjumlah 80.000-120.000 orang atau 5-8 persen dari jumlah penduduk Bali,” ujarnya. Meskipun operasi untuk menghancurkan PKI dimulai beberapa saat setelah penembakan para jenderal, operasi tersebut baru dimulai pada bulan Desember 1965 di Bali. “Setelah tentara datang. Mereka dibantu oleh ormas dan masyarakat setempat. Di Bali Selatan, pihak militer bekerja sama dengan PNI. DI Bali Barat, dengan Ansor yang didatangkan dari Jawa Timur,” ujarnya.

Selain empat lokasi tersebut, jaksa menemukan pembunuhan meluas di beberapa daerah lain seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Aceh.

Di Aceh dan Kalimantan Barat, korbannya adalah warga keturunan Tionghoa. Banyak orang Tionghoa di Kalimantan Barat yang bergabung dengan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).

PGRS yang berideologi komunis dibentuk oleh Presiden Sukarno di tengah konfrontasi dengan Malaysia. Sementara itu, pembunuhan orang Tionghoa di Aceh terjadi antara akhir Oktober hingga November 1965.

Mereka yang terbunuh termasuk anggota Baperki, sebuah organisasi non-politik masyarakat Tionghoa yang didukung oleh PKI dan Presiden Sukarno.

Apakah semua bukti ini cukup?

Salah satu jaksa, Uli Parulian Sihombing menilai keterangan dan fakta para saksi sudah memuaskan. “Saya optimis, banyak fakta yang mengungkap tabir tersebut,” ujarnya.

Meski perwakilan pemerintah tidak hadir. Meskipun negara tersebut tidak melihatnya. —Rappler.com

BACA JUGA

Result Sydney