• November 23, 2024
Menjadi jurnalis itu menyenangkan, tapi…

Menjadi jurnalis itu menyenangkan, tapi…

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Menjadi seorang jurnalis tidaklah sebebas yang Anda bayangkan

Tahun ini, Jakarta menjadi tuan rumah Hari Kebebasan Pers Sedunia. Tentu saja menyombongkan diri. Namun juga ironis. Sebab, kasus pembunuhan jurnalis belum terselesaikan sepenuhnya. Selain itu, pembatasan terhadap jurnalis masih terjadi khususnya di Papua.

Pers tampaknya tidak sebebas yang dibayangkan. Meskipun orang sering berkata, “Wah asyiknya jadi jurnalis, aksesnya mudah segala halJawabannya: iya. Menjadi jurnalis itu asyik, tapi bukan karena aksesnya yang mudah. ​​Karena di era digital seperti sekarang ini, apa saja bisa didapat tanpa bersusah payah.

Di sisi lain, asyiknya menjadi seorang jurnalis, apalagi saat ini, adalah memilah dan memastikan bahwa semua informasi dari sumber adalah asli atau setidaknya diperiksa sebelum dipublikasikan ke publik.

Karena tidak semua informasi merupakan berita. Tugas jurnalis antara lain memisahkan informasi dan berita. Seorang jurnalis harus bisa membedakan keduanya sebelum menulis. Karena apa yang mereka tulis akan memberikan pengaruh kepada masyarakat, betapapun kecilnya.

Seorang jurnalis ibarat seorang gelandang dalam dunia sepak bola, baik itu Gennaro Gattuso, Claude Makelele, Xabi Alonso atau N’Golo Kante. Tugas mereka sama: mengawali aliran bola ke depan atau mengembalikan bola ke lini belakang untuk meredam serangan lawan sekaligus mempersiapkan serangan baru.

Jika mengikuti Liga Inggris atau Liga Inggris, Anda pasti tahu bahwa Josep Guardiola belum meraih satu pun trofi bersama Manchester City musim ini. Namun, sebelum pindah ke Etihad Stadium, sosok yang dijuluki ‘Pep’ mendalangi tahun-tahun terbaik FC Barcelona setelah Johan Cruyff dengan taktik tiki-taka.

Dalam tiki-taka, seluruh pemain terlibat dalam penguasaan dan mengoper bola sebelum membobol gawang lawan, membangun serangan dari belakang, bertahan dari depan. Itu sebabnya kiper seperti Joe Hart yang kurang mahir menggunakan kakinya dibuang ke Torino oleh Pep.

Tapi, kembali ke jurnalisme, anggaplah sepak bola adalah informasi. Penjaga gawang dan pemain bertahan mungkin saja yang membangun serangan dengan penguasaan bola, namun gelandanglah yang menjadi mesin penyerangan, dan menentukan apakah serangan tersebut mempunyai peluang sukses yang tinggi atau tidak. Jika tidak, bukan hal yang aneh jika mereka mengolah bola, atau mengembalikannya untuk membangun serangan baru. Posisi gelandang mungkin terlihat elegan, namun posisi ini juga membawa beban paling besar di setiap pertandingan.

Begitulah keadaan jurnalis saat ini. Mereka adalah sosok-sosok yang diperlukan untuk mengolah informasi sebelum mengirimkan umpan kepada pelaku penyerangan, dalam hal ini masyarakat. Apalagi dengan arus informasi yang begitu cepat – dan belum tentu benar. Jurnalis adalah sepeda motor yang perlu melakukan verifikasi, bukan sekadar menyebarkan konten ke publik.

Jurnalis dan gelandang di lapangan sepak bola sama-sama dinilai dari visi dan akurasinya, jika buruk dalam hal-hal tersebut tentu dampaknya tidak hanya pada individu tetapi juga pada media atau tim di mana ia dibayar.

Tentu saja, jurnalis bukanlah dewa kesalahan. Bukan tidak mungkin mereka mendapat kartu kuning, bahkan sengaja menjadikan dirinya sebagai ‘pengorbanan’ untuk mencegah kericuhan atau mengungkap fakta di lapangan, seperti pelaku jurnalisme investigatif.

Menjadi seorang jurnalis memang menyenangkan dengan berbagai tantangan dan cerita, namun dalam merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada dasarnya kita tidak akan pernah bisa bebas. Karena tugas besar telah dilaksanakan dalam diri setiap orang. Kebebasan terjadi ketika kita melakukan sesuatu yang kita inginkan tanpa merampas kebebasan orang lain. Bisakah itu terjadi?

—Rappler.com

SGP hari Ini