Menlu Retno bertemu dengan Aung San Suu Kyi dan menyampaikan amanah bangsa Indonesia
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia (UPDATED) – Menjadikan amanah bangsa Indonesia dan suara dunia internasional didengar oleh pemerintah Myanmar merupakan misi utama kedatangan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Penasihat Negara dan Menteri Luar Negeri Myanmar. urusan luar negeri untuk bertemu. Menteri Luar Negeri Myanmar, Aung San Suu Kyi di ibu kota Naypyidaw pada Senin pagi, 4 September. Usulan Indonesia kepada Myanmar untuk meredam ketegangan di Rakhine State dikemas dalam istilah “4+1”. Apa saja saran-saran tersebut?
Elemen pertama memulihkan stabilitas dan keamanan, Keduamelakukan pengendalian diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, ketigaperlindungan bagi semua orang di Negara Bagian Rakhine, tanpa memandang suku dan agama, dan keempatakses terhadap bantuan kemanusiaan harus segera dibuka.
“Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilaksanakan agar krisis kemanusiaan dan keamanan tidak semakin parah di Rakhine State,” kata Retno saat berbincang dengan Suu Kyi.
Sementara elemen lainnya adalah harapan agar rekomendasi laporan Komisi Penasihat Negara Bagian Rakhine yang dipimpin Kofi Annan segera dilaksanakan.
Di dalam situs web resmi, Kofi mengatakan, dialog antar berbagai kelompok harus diciptakan untuk membangun jembatan komunikasi berbagai kelompok di Rakhine State. Partisipasi dan keterwakilan warga Rakhine harus ditingkatkan untuk memastikan aksi kekerasan di wilayah tersebut tidak terulang kembali.
Mendekati diplomasi non-megafon yang dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri membuahkan hasil yang positif. Myanmar menawarkan akses bantuan kemanusiaan.
Mekanisme yang dipilih pemerintah Myanmar yakni Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN kemungkinan akan terlibat dalam proses penyaluran bantuan kemanusiaan kepada warga yang tinggal di Rakhine State. Namun semua proses tersebut dipimpin oleh pemerintah Myanmar dan melibatkan Palang Merah Internasional (ICRC).
“Dalam memberikan bantuan ini, Indonesia selalu menekankan bahwa bantuan harus menjangkau semua orang yang membutuhkan, tanpa terkecuali. “Apapun agama dan sukunya,” kata Menlu Retno melalui keterangan tertulis.
Indonesia bermaksud mendistribusikan kembali bantuan kemanusiaan kepada warga di Negara Bagian Rakhine. Agar lebih terorganisir, beberapa LSM bergabung dengan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) pada tanggal 31 Agustus. Aliansi ini terdiri dari 11 organisasi kemanusiaan.
Ada empat titik fokus bantuan yang menjadi prioritas aliansi ini, yaitu kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan bantuan kemanusiaan. Komitmen bantuan yang diberikan AKIM mencapai US$2 juta atau setara Rp 26 miliar.
Saya berharap pemerintah Myanmar dapat terus memberikan akses kepada AKIM, karena selama ini mereka telah bersama pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan berbagai program, kata Retno.
Retno sebelumnya juga bertemu dengan Panglima Angkatan Darat Myanmar Jenderal Senior U Min Aung Hlaing. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda ini bertemu selama lebih dari 1 jam.
Kepada Min Aung, Retno mengatakan Indonesia dan dunia sangat prihatin dengan perkembangan situasi di Rakhine State. Dampak kekerasan yang terjadi di Rakhine State telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang mengakibatkan banyak korban jiwa, luka-luka dan tunawisma.
“Otoritas keamanan Myanmar harus segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Rakhine State dan memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat, termasuk komunitas Muslim,” kata Retno.
Ia juga berharap situasi di Rakhine State dapat stabil, sehingga bantuan kemanusiaan dan proses rehabilitasi yang direncanakan dapat terwujud. Selain mengirimkan bantuan kemanusiaan, Indonesia juga membangun rumah sakit di Marauk U, Rakhine State.
Dalam proses penyaluran bantuan kemanusiaan, Retno berharap bantuan tersebut dapat disalurkan terlebih dahulu kepada warga Rakhine yang membutuhkan.
“Kami tunggu aksesnya dibuka,” ujarnya.
Retno juga meminta Myanmar menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Bangladesh. Sebab, ketika puluhan ribu warga yang semula tinggal di Myanmar terkena dampak kekerasan tersebut, mereka mengungsi ke kawasan perbatasan di Bangladesh.
Sulit untuk disadari
Meski dalam pandangan masyarakat Indonesia mereka menganggap etnis Rohingya adalah korban, namun tidak demikian di mata militer Myanmar. Jenderal Min Aung mengatakan dalam akun media sosialnya bahwa kekerasan yang terjadi di Rakhine disebabkan oleh serangan kelompok ekstremis teroris Bengali bernama ARSA.
Serangan teroris terjadi di Buthitaung dan Maungdaw sejak 25 Agustus. Adanya perbedaan persepsi antara kedua kelompok ini akan menjadi tantangan besar untuk mewujudkan keadilan di wilayah Rakhine.
Menunggu
Pertemuan dengan Suu Kyi menjadi salah satu hal yang dinantikan masyarakat Tanah Air. Sebab, Suu Kyi diharapkan mampu membawa perubahan terhadap nasib etnis Roingya di Rakhine State. Sayangnya, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu belum bisa menunjukkan langkah konkrit.
Dari luar Myanmar, Suu Kyi tampak bungkam dan membiarkan kekerasan di Rakhine State terus berlanjut. Dalam sebuah analisis yang diterbitkan di harian Inggris, Penjaga Pada tahun 2015, dia mengatakan salah satu alasan Suu Kyi memilih untuk tidak berbicara banyak tentang isu Rohingya adalah karena dia takut isu tersebut akan diselewengkan oleh lawan politiknya. Selain itu, ada keyakinan kuat bahwa pejabat tinggi yang dekat dengan biksu radikal sengaja meningkatkan ketegangan antar komunitas di Myanmar. Tujuannya untuk menghambat proses reformasi politik dan demokrasi di Tanah Air.
Menurut sumber di Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Suu Kyi pada tahun 2015 menyadari bahwa akan ada konsekuensi politik yang akan dihadapi Suu Kyi jika ia terlihat bersimpati dengan umat Islam.
“Saat itu, Aung San Suu Kyi dan para penasihatnya melihat bahwa berbicara secara matematis tentang Rohingya bukanlah kepentingan mereka,” kata Direktur Pusat Penelitian Myanmar di Universitas Nasional Australia, Nicholas Farrelly.
Pasalnya, di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha, hanya sedikit yang menaruh simpati terhadap apa yang menimpa etnis Rohingya.
Namun, Suu Kyi justru membentuk komisi penasehat situasi di Negara Bagian Rakhine. Suu Kyi memilih mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan sebagai ketuanya.
Setelah kesulitan mendapatkan akses, Kofi akhirnya berhasil menyelesaikan laporan awal yang diterbitkan pada Maret 2017. Laporan tersebut juga memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Myanmar, termasuk memberikan akses tidak terbatas bagi bantuan kemanusiaan dan jurnalis ke daerah-daerah yang terkena dampak kerusuhan di Rakhine. Selain itu, pemerintah Myanmar juga didorong untuk melakukan penyelidikan independen atas dugaan kejahatan yang terjadi sejak 9 Oktober 2016. – Rappler.com