Menteri luar negeri tiga negara akan bertemu di Jakarta untuk membahas rencana mengatasi pembajakan
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan mengatakan, setelah beberapa kali aksi pembajakan, Indonesia mengusulkan patroli bersama di perairan Filipina selatan. Patroli gabungan ini nantinya akan dilakukan oleh angkatan laut Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Untuk membahas rencana tersebut, menteri luar negeri ketiga negara akan mengadakan pertemuan di Jakarta pada 3 Mei.
Pertemuan tersebut juga akan dihadiri oleh para panglima angkatan bersenjata Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Maksud pertemuan itu karena kami tidak ingin wilayah perairan ini menjadi Somalia baru, kata Luhut di kantornya, Kamis, 21 April.
Artikel tersebut mendapat tanggapan positif dari Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein. Ia melihat tidak ada alasan bagi ketiga negara untuk tidak merealisasikan kerja sama tersebut.
Hishammuddin mengatakan, pola patroli gabungan bisa ditiru dari operasi serupa di Selat Malaka yang dilakukan Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Thailand.
Ancaman yang kita hadapi di perairan ini atau di Laut Sulu tidak bisa dihadapi oleh satu negara saja, kata Hishammuddin seperti dikutip Saluran Berita Asia.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjelaskan kemungkinan pola patroli, yakni angkatan laut masing-masing negara berpatroli di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
“Setelah itu di wilayah Filipina adalah Filipina (yang menjaganya) dan di wilayah Malaysia menjadi kewenangan Malaysia,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia juga mengirimkan dua kapal perang yakni KRI Badau-841 dan KRI Slamet Riyadi-352 ke perbatasan Filipina.
Tidak efisien
Lalu apakah rencana patroli tersebut efektif mencegah pembajakan? Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan cara patroli ini tidak akan efektif. Menurut Hikmahanto, ada dua alasan yang melatarbelakangi pendapatnya.
“Pertama, pembajakan tidak terjadi di laut lepas melainkan di wilayah perairan Filipina. Kedua, pemerintah Filipina tidak mempunyai kendali de yure atas wilayah tersebut karena wilayah tersebut dikuasai kelompok pemberontak, kata Hikmahanto saat dihubungi Rappler melalui telepon, Kamis, 21 April.
Apalagi, mantan dekan Fakultas Hukum ini mengatakan, kapal yang digunakan kelompok bersenjata Filipina bukan termasuk jenis kapal modern. Oleh karena itu, tidak mungkin menjangkau wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
“Jadi yang disasar rata-rata kapal-kapal yang berlayar dari atau ke Filipina,” ujarnya.
Memaksa Indonesia memasuki perairan Filipina akan dianggap sebagai sinyal negatif oleh kelompok pemberontak dan juga dianggap berbahaya.
“Apalagi itu bertentangan dengan konstitusi Filipina. Jika dilanggar, presiden bisa dimakzulkan penuntutankatanya lagi.
Apa yang harus dilakukan pemilik kapal untuk meminimalkan pembajakan? Hikmahanto menyarankan kapal-kapal tersebut menghindari perairan Sulu. Memang biaya yang dikeluarkan mungkin lebih besar dengan memilih rute berbeda dan mengambil jalan memutar.
Namun ini alternatif terbaik, daripada setiap kapal yang berlayar ke sana dibajak dan dimintai uang tebusan, kata Hikmahanto.
Pemerintah tidak mencampuri uang tebusan
Dalam kesempatan itu, Luhut mengaku tidak sepakat apakah penyanderaan berakhir dengan kelompok militan Abu Sayyaf membayar uang tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp 14,2 miliar. Namun jika perusahaan pemilik kapal tersebut ngotot membayar, pemerintah Indonesia tidak akan ikut campur.
“Itu urusan perusahaan, karena (yang diculik) adalah karyawannya. Nantinya, jika pihak perusahaan tidak mengurusnya, mereka akan digugat oleh keluarga korban karena dianggap menelantarkan awak kapal. Biarkan urusan perundingan ditangani perusahaan, kata Luhut.
Meski demikian, kata Luhut lagi, pemerintah terus memantau secara ketat proses tersebut dari waktu ke waktu.
Pemerintah Indonesia juga belum mengambil keputusan untuk mengirim pasukan ke Filipina selatan dan melakukan operasi pembebasan. Karena selain operasinya rumit, konstitusi Filipina tidak mengizinkannya.
Juru Bicara Angkatan Bersenjata Filipina tanya Brigjen Restituto Padila Indonesia tidak boleh memberikan uang tebusan kepada para penculik karena justru akan mendorong praktik penculikan yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Penculikan dan menuntut uang tebusan merupakan salah satu cara yang digunakan kelompok tersebut untuk mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan logistik.
Akibat situasi tidak aman di wilayah utara Pulau Kalimantan, Otoritas Pelayaran pada Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Trisakti Banjarmasin kemudian mengeluarkan surat edaran yang melarang kapal berlayar dari Banjarmasin menuju perairan Filipina.
Sehubungan dengan itu, kapal-kapal yang akan berlayar ke Filipina khususnya perairan barat Tawi-Tawi dan perairan Laut Sulu untuk sementara dilarang sampai kondisi aman, kata Kepala KSOP Banjarmasin M Takwin. Masuku.
Surat edaran itu dikeluarkan mengingat adanya dua aksi pembajakan yang terjadi dalam sebulan terakhir. Peristiwa pertama pada tanggal 26 Maret menyasar kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12 dan kejadian kedua terjadi pada tanggal 15 April yang menimpa kapal tunda Henry dan tongkang Cristi.
Sepuluh awak kapal Brahma 12 masih ditahan. Sementara itu, 6 dari 10 awak kapal Henry berhasil menyelamatkan diri. Sedangkan 4 awak kapal diculik oleh kelompok bersenjata Filipina. Belum diketahui siapa pelaku penculikan tersebut.
Herman Prayitno, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, mengatakan kapal tunda Henry dan kapal Cristi kini telah meninggalkan Lahat Datu menuju Tarakan.
“Kedua kapal tersebut dikawal petugas keamanan Sabah Timur. Perkiraan waktu tempuh memakan waktu 14 jam. “KJRI Tawau sudah berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut untuk menerima kapal di kawasan perbatasan,” kata Herman kepada Rappler melalui pesan singkat. – Rappler.com
BACA JUGA: