• November 24, 2024

Menulis puisi, melawan rasa takut

YOGYAKARTA, Indonesia — Usianya 9 tahun ketika ayahnya tidak pulang. Bahkan kini, 20 tahun kemudian, pria yang ditunggunya tak kunjung kembali. Fitri Nganthi Wani berdiri di antara imajinasi dan kenyataan.

Apakah ayahmu benar-benar tersesat?

Atau bersembunyi dengan sengaja?

(Dari puisi Bicaralah dalam hati tentang misteri kepergianmu)

Rasa kehilangan meninggalkan bekas trauma yang mendalam. Rasa rindu bercampur amarah. “Saya telah menemukan masa dimana amarah itu bebas, menangis itu bebas,” kata Wani (kini 29 tahun) di sela-sela peluncuran kumpulan puisi. Anda telah berhasil menjadi peluru di Yogyakarta, Jumat 8 Juni 2018.

Ini adalah buku puisi keduanya. Kumpulan puisi pertamanya bertajuk Setelah ayahku menghilangyang diluncurkan pada tahun 2009 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Anda telah berhasil menjadi pelurulangsung teringat judul kumpulan puisi ayahnya, Saya ingin menjadi peluruditerbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun 2000.

(BACA JUGA: 5 Puisi Wiji Thukul yang Masih Relevan Saat Ini)

Ayahnya Wiji Thukul adalah seorang penulis dan tokoh perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru. Tidak jelas kapan dan di mana penyair tak dikenal itu menjadi terkenal karena puisinya Hanya ada satu kata, bertarung! itu menghilang. Ia disebut-sebut hilang usai kerusuhan 27 Juli 1996 di markas Partai Demokrat Indonesia di Jakarta, meski sejumlah temannya mengaku masih menemuinya pada April 1998. “Dia berhasil menjadi peluru,” kata Wani.

Anda berhasil menjadi peluru

Pergilah dengan cepat ke arah yang Anda inginkan

Tembak dengan keras ke setiap target Anda

Tapi ada sesuatu yang tidak kamu ketahui

Salah satu pelurumu

Merobek jiwaku

(Dari puisi Anda telah berhasil menjadi peluru)

Thukul meninggalkan seorang istri, Siti Dyah Sujirah atau biasa disapa Mbak Pon, serta dua orang anak: Wani dan adiknya, Fajar Merah. Meskipun Fajar tidak mencatat kenangan tentang ayahnya karena ia masih tua ketika ditinggal, Wani dan ibunya menyimpan kenangan yang mendalam. Dan ketika keberadaan Wiji Thukul tidak jelas, ingatan itu berubah menjadi gambaran yang menakutkan.

Wani mengatakan kehilangan ayahnya menjadi faktor utama trauma yang dialaminya. Selain keadaan sehari-hari yang membuat mereka putus asa, keluarga mereka pun semakin kesulitan menjalani kehidupan. Bahkan, lanjutnya, ia sempat terpuruk hingga titik terendah. Kondisi psikologisnya sangat terguncang dan ia harus pergi ke psikiater untuk memulihkan kondisi mentalnya. “Ada begitu banyak hal yang bahkan tidak bisa kamu ceritakan kepada teman terdekatmu,” katanya.

Fitri pernah iri pada Fajar dan merasa lebih bahagia.

Terkadang aku iri padamu, Kak

Anda bisa begitu tenang

Terlihat lebih pintar untuk menikmati hidup

Anda juga bisa cemburu

Ketika tiba waktunya ayahmu untukku

Tidak akan lagi

(Dari puisi Bersama-sama Kita Mengisi Waktu Kita)

Namun baginya, mengutuk nasib dan iri pada orang lain bukanlah sebuah solusi. Cinta terhadap kehidupan harus dipupuk berulang-ulang seperti makan dan minum. “Kebahagiaan itu harus datang dari dalam diri sendiri, asal tidak menerimanya maka rasa sakit itu akan terulang kembali,” ujarnya.

Terapi

Usai penerbitan puisi jilid pertamanya, Wani berkesempatan bertemu banyak orang. Dari situlah muncul kesadaran bahwa banyak orang yang senasib dengannya. Atau mungkin lebih buruk darinya. “Ternyata saya juga menjadi inspirasi bagi orang lain,” ujarnya.

Kepercayaan dirinya muncul. Semangat untuk melanjutkan hidup semakin tumbuh. Ketika pengalaman traumatis menimpanya, ia segera mengalihkan pikirannya dengan menulis puisi. Di selembar kertas atau di telepon pintar, sesegera mungkin tanpa penundaan. “Saya mengalihkan energi saya dengan menulis,” ungkapnya.

Outlet ini juga menjadikannya seorang penulis yang produktif. Dia telah menulis setidaknya 270 puisi dalam setahun terakhir.

Tiga tahun lalu, Wani menjadi narasumber untuk sebuah film Kata Istirahat disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Film yang dibintangi Gunawan Maryanto dan Marissa Anita ini bercerita tentang perjuangan Wiji Thukul menggulingkan rezim Orde Baru. Proses pembuatan film tersebut juga menjadi peluang untuk menerbitkan puisinya dalam bentuk buku.

(BACA JUGA: Lewat ‘Istirahatkan Kata-katamu’, Istri Wiji Thukul Penuhi Janji Jokowi)

“Buku ini merupakan kelanjutan dari kolaborasi artistik yang ia dan teman-temannya mulai pada tahun 2015 melalui produksi film. Kata Istirahatkata sutradara sekaligus pembuat film Partisipasi Indonesia Kata Istirahat Yulia Evina Bhara.

Anda telah berhasil menjadi peluru berisi 50 puisi Wani. Gunawan Maryanto bertugas menyusun puisi-puisi apa saja yang akan dimasukkan ke dalam buku tersebut. “Jadi masih ada dua ratus puisi yang belum terkirim, jadi ini kolaborasi yang panjang,” kata Yulia.

Gunawan menulis dalam kata pengantar buku ini bahwa ia harus berhati-hati dalam memilih dan memilah puisi Wani. Hubungan antara puisi dan pengarangnya tidak dapat dijelaskan dengan hubungan sebab-akibat yang sederhana. Sedangkan kesedihan dan kemarahan, serta perasaan dan pikiran lainnya muncul dengan cara yang berbeda-beda dalam puisi Wani.

Penyair, lanjutnya, terkadang menceritakan kisah hidupnya melalui puisi. Bisa jadi puisi tersebut merupakan semacam penggalan pengakuan dosa. Namun sebagai sebuah karya sastra, puisi tetap berdiri sendiri dan dapat menjadi topeng bagi pengarangnya. “Inilah sebabnya saya harus berhati-hati,” tulisnya.

Bagaimanapun jelas Dengan puisi, ia lebih mengenal dirinya sendiri dan berani menghadapi ketakutannya. Bukankah Wiji Thukul pernah berkata, “Jika Anda menyerah pada rasa takut, kami akan memperluas garis perbudakan“.

—Rappler.com

Data SGP Hari Ini