• November 24, 2024

Menunggu kebangkitan film nasional sesungguhnya

Hingga bulan ketiga tahun 2016, sejumlah film Indonesia berkualitas telah dirilis di jaringan bioskop. Di samping itu Kisah Cinta Londonyang mencapai 1 juta penonton; Perceraian 3; Surat dari Praha; Dan Salinan pemikiran sayajuga menjadi film nasional sukses yang mendapat tanggapan kritis dan positif.

Berdasarkan data dari film Indonesia (mulai 3 Maret 2016, merah), Perceraian 3 berhasil memperoleh total 566.615 penonton. Sementara Surat dari Praha Dan Salinan Pikiranmenarik 62.343 dan 50.273 penonton masing-masing.

Secara kuantitatif, angka-angka tersebut cukup menjanjikan. Namun, benarkah tahun 2016 bisa menjadi momentum bagi film nasional untuk kembali tampil di negeri sendiri?

Mari kita periksa.

Menurut Joko Anwar, sutradara Salinan pemikiran sayaPeristiwa yang terjadi pada triwulan I tahun 2016 bukanlah momentum kebangkitan sinema nasional. “Bukan itu situasinya. Faktanya, Indonesia tidak pernah kekurangan film berkualitas memasak,” kata Joko kepada Rappler.

“Setiap tahun selalu ada film bagus, tapi kurang berhasil mendapatkan penonton. Salinan pemikiran saya Cukup menyita perhatian karena film ini ditayangkan di beberapa festival film internasional, seperti Venesia dan Toronto. “Media juga banyak memberitakan, jadi kami cukup terbantu,” ujarnya pembuat film 40 tahun.

Katanya belum ada modelnya studi pasar alias kajian pemasaran yang memadai menjadi penyebab utama kegagalan film nasional menarik penonton seperti film luar negeri. Selain itu, menurunnya jumlah pengunjung bioskop juga menjadi penyebab lainnya.

film Indonesia dan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia melaporkan setidaknya terdapat 16 juta penonton bioskop pada tahun 2012. Namun angka tersebut kemudian menurun menjadi 14,1 juta penonton pada tahun 2014.

Faktor cerewet?

Senada dengan argumen Joko, pengamat film senior Noorca Massardi mengatakan, apa yang terjadi pada awal tahun 2016 bukanlah momen yang perlu dibesar-besarkan. Menurut Noorca, hal tersebut hanya sebagian dari siklus yang terjadi di dunia perfilman nasional Indonesia. Sesaat di atas, sesaat di bawah.

Pria yang juga berprofesi sebagai novelis ini meyakini siklus tersebut akan terus berlanjut dalam jangka waktu yang lama.

“Saya mendesah melihatnya karena ada faktor ‘banyak bicara’. “Ketika sebuah film dengan tema tertentu sukses, yang terjadi selanjutnya adalah banyak film serupa yang menyusul,” kata Noorca.

“Sebagai contoh baru-baru ini, saat film biografi Habibie & Ainun (2012) dirilis. Tiba-tiba semua orang membuat film biografi. Dari Soekarno, Jenderal Sudirman, hingga Jokowi. Namun karena tidak diproduksi dengan baik, maka hasilnya pun kurang bagus. Alhasil, kepercayaan diri penonton kembali berkurang, ujarnya.

Sebagai pecinta film nasional, saya sangat setuju dengan pendapat Joko dan Noorca. Harus diakui, jarang sekali kita menemukan film nasional yang berkualitas. Dari segi kuantitas pun, Indonesia tak pernah kehabisan stok film.

Di mata pribadi, kebangkitan film nasional sebenarnya ditandai pada tahun 2000, ketika film keluarga produksi Miles Film, Petualangan Sherina, dilepaskan. Dua tahun kemudian, impian saya akan film nasional berkualitas kembali terwujud lewat film drama romantis remaja, Ada apa dengan cinta? (AADC?)yang juga merupakan produksi Miles Films.

Pada waktu itu, AADC? dapat mencapai 2.170.390 penonton.

Namun, mimpi ini tidak bertahan lama. Ibarat roda yang berputar, nasib film nasional pun mengalami pembalikan dari masa ke masa. Ada kalanya film nasional yang dirilis berkualitas bagus, ada kalanya justru sebaliknya.

Alhasil, saya dan mungkin jutaan pecinta film nasional lainnya terpaksa harus puas hanya menonton film-film buatan luar negeri dan kembali mendambakan lahirnya film nasional yang berkualitas.

Peran penonton

Meski terus berganti, Sekar Sari, aktris pemeran Siti di Film Terbaik FFI 2015, SITImengaku optimistis penonton Indonesia semakin bisa cerdas memilih film dan tidak sekadar mengikuti arus.

“Saya kira hal ini juga didukung dengan banyaknya alternatif tempat pemutaran film dan diskusi film,” kata Sekar.

Mahasiswa Candidate Master Choreomundus — International Master on Dance Knowledge, Practice, and Heritage, London, Inggris ini mengakui, penonton juga berperan besar dalam menentukan nasib film nasional. Baik dari sudut pandang komersial dan bisnis, maupun dari sudut pandang apresiasi dan kritik.

“Karena sinema bukan sekedar komunikasi satu arah yaitu dari pembuat film kepada penonton. Tapi juga kedua belah pihak. Jadi, saran saya, tontonlah filmnya. Kalau bagus diapresiasi, kalau jelek dikritik. Dengan begitu akan ada diskusi,” ujarnya.

Sayangnya, agenda diskusi film nasional yang digelar di Indonesia belum terlalu banyak. Meskipun baru-baru ini ada pembuat film yang mengadakan forum tersebut. Salah satunya adalah Joko Anwar yang sedang aktif berdiskusi mengenai film terbarunya, Salinan pemikiran sayadi sejumlah tempat di negara ini.

Diakui, sutradara juga pernah menghasilkan karya seperti itu Joni berjanji, Klub lotere!Dan Modus anomali Oleh karena itu, diskusi setelah menonton sebuah film bertujuan untuk memberikan literasi yang lebih luas kepada penonton mengenai film.

“Tetapi percakapan tidak ada hubungannya dengan sukses atau tidaknya sebuah film. Mendapatkan penonton masih merupakan tugas pemasaran,” dia berkata.

BJika kita kaitkan dengan model kajian pemasaran yang belum memadai, nampaknya kebangkitan sinema nasional justru menjadi hal yang patut kita nantikan. Dimana sebuah produksi film nasional yang berkualitas dapat berjalan seiring dengan banyaknya penonton yang diperoleh dari sang model studi pasar berlaku. —Rappler.com

Faya Suwardi adalah jurnalis lepas di Jakarta yang menyukai perkembangan berita olahraga, hiburan, dan perjalanan.

BACA JUGA:

Hk Pools