Menunggu rehabilitasi sebelum kematian
- keren989
- 0
Hari masih belum siang di ujung timur Boyolali, Jawa Tengah. Di sebuah rumah, puluhan lelaki tua berkumpul dan membicarakan nasib mereka yang telah dilupakan negara setengah abad lalu.
Tidak seperti biasanya, tidak ada intelijen polisi dan militer yang datang memantau pertemuan tersebut. Juga tidak ada ormas dan klubnya yang suka mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi di negeri yang disebut-sebut menganut demokrasi ini.
Pak Supomo (71 tahun) kemudian berbicara membuka pertemuan. Ia mengumumkan hasilnya pada Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda, November tahun lalu.
“Pengadilan rakyat tidak akan berdampak langsung kepada kita, tapi setidaknya akan membuka mata dunia terhadap pelanggaran HAM berat tahun 1965-66 yang dilakukan negara tersebut, juga melibatkan Amerika Serikat dan Australia,” kata Supomo. temannya
Pagi itu adalah hari pertemuan para korban peristiwa ’65 dari seluruh kecamatan di Boyolali yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Korban (JSC) ’65. Perkumpulan ini didirikan atas inisiatif LPH Yaphi, sebuah organisasi advokasi hukum di Solo yang membela masyarakat lemah dan marginal.
Boyolali menjadi salah satu daerah yang menjadi perhatian Yaphi, antara lain di Jawa Tengah. Selain Klaten, kabupaten ini pernah menjadi “garis merah” pada pemilu pertama tahun 1955 dengan jumlah pendukung partai berlogo palu arit terbanyak.
Perkumpulan yang menampung para korban dan penyintas pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan dan penahanan pada periode 65-66 ini juga didukung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Lebih dari 200 penyintas yang masih hidup di Boyolali mengikuti SBK ’65. Mereka ingin mengekspresikan haknya sebagai warga negara.
Kebanyakan dari mereka adalah guru dan petani yang ditangkap, disiksa dan ditahan. Ada yang mendekam di kamp kota, ada yang hampir mati di Nusakambangan, dan ada pula yang dibuang ke Pulau Buru untuk dijadikan budak kerja paksa.
Mereka tidak tahu apa-apa mengenai pergolakan politik 30 September ’65, namun terpaksa menjadi korban kebrutalan massa dan tentara dalam operasi pembersihan PKI dan simpatisannya di Jawa serta mendapat stigma eks tapol (tapol). ) Untuk kehidupan.
Tidak memahami doktrin komunisme
Pertemuan antar kakek bukanlah sebuah pertemuan kelam dimana mereka merencanakan pemberontakan untuk menyelesaikan dendam mereka akibat luka masa lalu.
Alih-alih menyebarkan ajaran Partai Komunis Indonesia (PKI) gaya baru seperti yang diklaim para sejarawan sayap kiri yang paranoid, para penyintas tragedi ’65 justru tidak mengetahui secara pasti apa ajaran komunisme.
Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang ditangkap saat itu karena mendukung Presiden Soekarno, serta korban salah tangkap dan pencemaran nama baik.
Banyak cerita yang menegaskan bahwa peristiwa ’65 merupakan kesempatan bagi orang-orang yang tamak dan penipu untuk menyingkirkan orang lain karena menginginkan kedudukannya, hartanya atau istrinya. Bahkan, hal tersebut juga dilakukan oleh personel militer.
Karena tidak adanya pengadilan yang membedakan benar dan salah, semua laporan dan tuduhan menjadi benar. Kata-kata “komunis” atau “PKI” menjadi sangat efektif dalam mengirim orang-orang yang dibenci ke penjara atau kuburan massal.
“Bakar rumahnya, bunuh istrinya, bunuh istrinya” (bakar rumahnya, pukul kepalanya, ambil istrinya) adalah istilah populer bagi massa dan tentara yang memburu “kelompok merah” di Jawa Tengah pada periode ’65-66.
Di sebuah dusun di Kecamatan Teras, Boyolali, misalnya, seluruh rumahnya dibakar massa anti-PKI.
Kesaksian para penyintas
Mereka mengatakan bahwa tidak pernah terjadi kerusuhan bersenjata di desa-desa selama bulan September-Oktober ’65. Menurut kesaksian mereka, yang terjadi adalah perburuan, penangkapan dan penyiksaan terhadap orang-orang tak bersenjata yang dilakukan oleh gabungan tentara dan massa yang berafiliasi dengan partai rival utama PKI.
Supomo menceritakan betapa beruntungnya dia masih hidup setelah mengalami penyiksaan dan penahanan brutal. Guru sebuah SD di Kabupaten Ampel, Boyolali, nyaris meninggal dunia.
Dalam perjalanan dari Ampel ia ditangkap oleh gerombolan massa yang dikawal tentara, kemudian kepalanya dipenggal beberapa kali dengan katana – pedang panjang yang digunakan oleh para Samurai yang juga digunakan oleh tentara Jepang pada masa pendudukan di Indonesia.
“Kedua telingaku semuanya kumbang-kumbang (hampir lepas, simpan), bagian belakang leher saya terluka cukup dalam. “Bibir atas dan betis juga robek terkena pedang,” kata Supomo sambil menunjukkan bekas penyiksaan 50 tahun lalu.
“Saat itu telinga saya disambung kembali oleh petugas PMI keliling.”
Meski bermandikan darah, Supomo kembali mendapat hukuman yang tak kalah sadisnya. Tubuhnya diikat dan terguling dari atas tebing, lalu sebuah batu sungai besar menimpanya. Ia terjatuh ke dasar jurang, namun beruntung tidak tertimpa batu.
Dengan kedua tangannya diikat tali sapi, ia digiring ke lapangan dan dijemur seharian, sebelum akhirnya dibawa ke Polsek Mojosongo, Boyolali.
“Di kantor polisi saya disuruh buka mulut lalu disumpal dengan sepatu polisi,” kata Supomo.
Dia kemudian dipindahkan ke kamp dan mendekam di ruangan seluas 48 meter persegi yang berisi 140 tahanan. Dengan lukanya yang terus mengeluarkan darah, dia tidak bisa berbaring.
“Karena penuh sesak, tidak ada satu pun tahanan yang bisa berbaring. “Yang di pinggir tidur sambil bersandar ke tembok, yang di tengah tidur sambil duduk,” kata Supomo.
Ia kembali dipindahkan ke bekas kamp bioskop Candra yang menampung lebih dari 2.200 narapidana yang dibagi menjadi 18 kelompok yang masing-masing beranggotakan 123 orang.
Setiap pagi menjelang subuh, teror “night bond” – pengambilan narapidana untuk dihilangkan secara paksa – selalu menghantui para narapidana, termasuk dirinya. Beruntung Supomo lolos dari maut.
Polisi penjaga kamp yang kebetulan mengenal Supomo mencoret namanya dari daftar dan mengatakan kepada tentara yang menahan tawanan tersebut bahwa namanya tidak ada di kamp tersebut.
Ia tidak dibuang ke Nusakambangan bersama ratusan narapidana lainnya, melainkan dijadikan kerja paksa oleh pemerintah Orde Baru untuk mengerjakan proyek saluran air bersih dari Musuk hingga Boyolali. Sebelum dibebaskan pada tahun 1969, ia menjalani kerja paksa untuk pembangunan enam jembatan, pasar, jalan beraspal, dan pembangunan Waduk Bade di Boyolali.
Supomo tidak benar-benar gratis. Pada pemilu 1971, ia dan mantan tapol lain di kecamatan itu dipertemukan kembali untuk mendukung Golongan Karya (Golkar). Mereka tidak mempunyai hak pilih, namun suara mereka, termasuk suara keluarganya, diperhitungkan bagi partai yang menjadi mesin politik mantan Presiden Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.
Obong omahe, taboki ndase, pek bojone” (bakar rumahnya, pukul kepalanya, ambil istrinya) adalah istilah populer bagi massa dan tentara yang memburu “kelompok merah” di Jawa Tengah pada periode ’65-66.
Begitu pula yang terjadi pada pemilu 1977, mereka dimobilisasi untuk kemenangan partai berlambang beringin itu melalui pembentukan peleton khusus. Supomo hanya mendapat hak pilih pada pemilu 1982, namun selalu ditugaskan memilih partai kuning.
Mardi Wiyono (85) pun punya pengalaman menyedihkan, menghabiskan 14 tahun menjadi narapidana. Ia merupakan mantan Wakil Panglima Pertahanan Rakyat (Hanra) yang menjaga wilayahnya dari kerusuhan. Namun, ia dianggap menghentikan massa dan tentara yang ingin membasmi simpatisan komunis.
Mardi ditangkap dan dipukuli. Kepalanya dipukul berkali-kali dengan linggis hingga darah mengucur. Namun, ia tetap bertahan dan bertahan meski harus menjalani penyiksaan fisik dan mental di dalam tahanan.
“Saya mengeluarkan banyak darah dan menahan rasa sakit hingga saya pingsan sebelum dibawa ke kamp,” kenang Mardi.
Ia lolos dari kewajiban malam di kamp Candra, namun harus menjalani enam bulan kerja paksa sebelum dikirim ke penjara Nusakambangan pada awal Maret ’66. Di sana ia menjalani kerja paksa di perkebunan setiap hari.
“Saya hanya dijatah makan biji jagung dalam wadah timah kecil bekas semir sepatu, dua kali sehari pada sore dan malam hari. “Bekerja dari pagi hingga pukul 20.00,” ujarnya.
Pada tahun 1971, ia diasingkan ke Pulau Buru dan menjadi pekerja paksa yang membuka hutan untuk dijadikan sawah dan ladang. Selama empat bulan dia diberi jatah empat ons beras sehari, setelah itu dia disuruh mencari makan sendiri.
Suyono (79), mantan anggota Pemuda Rakyat yang ditangkap dan ditahan di Nusakambangan, juga mengalami kengerian. Hampir semua penjara yang ada di pulau itu pernah ia alami, mulai dari Lapas Batu, Permisan, hingga Limusbuntu – kini ditutup.
Hal ini menyebabkan banyak tahanan mati kelaparan. Sementara mereka yang mampu bertahan hidup, termasuk dirinya, hanya tinggal tulang dan kulit saja. Benar-benar mati, katanya.
Kelaparan paling parah di Nusakambangan, banyak yang meninggal, kata Suyono.
Ia mampu bertahan hidup setelah dipindahkan untuk memelihara ternak dan sapi perah untuk memasok susu kepada sipir penjara dan polisi. Suyono bisa mencuri dan minum susu setiap hari untuk memulihkan tubuhnya yang kering dan kurus.
Di antara korban tahun ’65, ada yang paling beruntung dan tidak mengalami penahanan atau penyiksaan. Itu Pak Supoyo, yang paling senior di antara yang lain.
Mantan guru di salah satu SD tertua di Solo itu baru saja dipecat dari sekolahnya. Pasalnya, ia dianggap terlibat organisasi terlarang.
Apa yang mereka inginkan?
Dari data yang dihimpun SBK ’65 di Boyolali tercatat sekitar 1.850 orang meninggal dan dihilangkan secara paksa, 4.750 orang ditahan dan 11.500 orang harus melaporkan peristiwa ’65.
Semuanya tidak pernah menjalani proses peradilan untuk membuktikan bersalah dan terlibat dalam Gerakan 30 September.
Para korban yang masih hidup hanya ingin berjuang menghilangkan stigma “eks PKI”, menjalani sisa hidupnya sebagai warga negara biasa dan mengakhiri masa tuanya dengan damai. Oleh karena itu, mereka ingin kebenaran terungkap dan sejarah dikoreksi.
“Kami ingin nama kami dan keluarga kami direhabilitasi, dibersihkan sebelum kami meninggal,” kata Supomo.
“Jika tidak ada kompensasi, setidaknya hak-hak korban akan dipulihkan. Misalnya guru mendapat hak pensiun, lansia mendapat jaminan kesehatan, dan anak tidak lagi mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan.”
Hingga saat ini, mereka belum sepenuhnya mendapatkan hak untuk hidup sehat. Sebagian besar korban ’65 yang sebagian besar berasal dari kelompok ekonomi miskin, tidak masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Beruntung LPSK saat ini membantu mereka dengan memberikan kartu layanan JKN, meski hanya untuk sebagian kecil – 40 dari 200 korban di Boyolali yang mendaftar.
Belenggu “dosa asal” juga membuat keturunannya masih mengalami diskriminasi. Supomo mencontohkan, seorang pemuda yang berprestasi dan lolos seleksi sebagai calon polisi, dibatalkan kelulusannya hanya karena ia merupakan cicit dari mantan tahanan politik.
Supomo dan kawan-kawan memahami rekonsiliasi tidak mudah dan masih sebatas mimpi. Apalagi, permintaan maaf Presiden selaku kepala negara kepada para korban tragedi ’65 yang seharusnya menjadi titik awal rekonsiliasi, tak kunjung terjadi.
Tanpa rekonsiliasi, tidak akan ada rehabilitasi apalagi kompensasi. Entah sampai kapan mereka akan terus menunggu.—Rappler.com
BACA JUGA: