• November 22, 2024

Menyoal kuburan massal pada tragedi 1965

Setelah Simposium Nasional tahun 1965 diadakan di Jakarta, seluruh media cetak dan on line berlomba-lomba mengangkat kisah tragedi pelanggaran HAM setengah abad lalu. Beberapa media arus utama yang semula tenang – dan menutup mata terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas peristiwa kekerasan yang merenggut 500.000 hingga jutaan nyawa – tiba-tiba sibuk memenuhi halaman websitenya dengan cerita tentang sejarah kelam tahun ’65.

Salah satunya terkait reaksi media terhadap pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan yang meminta siapa pun membenarkan keberadaan kuburan massal korban pembantaian tahun 1965 yang diduga melibatkan kelompok militer dan sipil. , untuk membuktikan. Media pergi ke sumber seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Komnas HAM untuk mendapatkan data kuburan massal.

Saya bukan aktivis hak asasi manusia yang mengetahui statistik berapa banyak orang yang meninggal dan di mana mereka dikuburkan. Saya kebetulan bertemu dan mendengar cerita para penyintas dan keluarga korban di berbagai “garis merah” di Jawa Tengah yang diduga kuat pernah menjadi medan pertempuran (bidang pembunuhan) sekaligus tempat pelarian terakhir Ketua Pengurus Pusat Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit sebelum ditangkap dan dieksekusi.

Banyak dari mereka bercerita tentang tempat-tempat di mana para algojo mengeksekusi tahanan yang diduga komunis. Ada di antara mereka yang menjadi saksi mata kejadian tersebut, namun ada juga yang belum bisa memastikan kebenarannya karena hanya mendengar cerita dari saksi yang meninggal.

Memang saya tidak bisa menulis semua cerita untuk pembaca Rappler karena ada narasumber yang belum pulih dari trauma masa lalu atau takut akan tekanan aparat atau ormas di daerah yang masih kuat. Mereka biasanya hanya bersedia berbagi cerita untuk memberi saya gambaran kejadian.

Terkait kuburan massal, ada satu hal penting yang luput dari perhatian publik, yaitu peristiwa ’65 yang merupakan tragedi kekerasan dan penghilangan paksa (penghilangan paksa). Korban diculik, ditahan, disiksa dan dibuang dalam keadaan tak bernyawa.

Cerita yang sama selalu saya temukan dari para penyintas di berbagai kota yang menceritakan tentang “night tie”, yaitu mengeluarkan narapidana dari penjara atau kamp pada malam hari untuk diinterogasi sebelum akhirnya dieksekusi pada dini hari. Mereka yang termasuk dalam daftar tahanan A – tokoh penting Partai Merah – menjadi sasaran penghilangan paksa.

Kebanyakan narapidana dibawa ke tempat-tempat yang sepi atau jauh dari pemukiman penduduk, seperti sungai, hutan, dan gua. Eksekusi dilakukan dengan sistem pertukaran tahanan antar kota. Tahanan dari kota A dieksekusi di kota B atau C, dan sebaliknya.

Berdasarkan cerita Mulyadi, seorang saksi yang dekat dengan komandan penjaga sebuah kamp di Solo, para tahanan “dibon” itu dibawa ke Wonogiri. Begitu pula dengan kesaksian para penggali kubur di Purwantoro, sebuah kecamatan di Wonogiri Timur, yang melihat orang-orang dari luar daerah digiring ke kuburan untuk menemui ajalnya.

Namun ada juga yang dieksekusi di kamp, ​​​​kemudian jenazahnya dibuang ke sungai, seperti yang dituturkan Martono, salah satu penyintas yang memiliki kesaksian langka – ia terpaksa membawa jenazah setiap malam selama dua tahun dan mandi. . di Sungai Bengawan Solo – yang juga menjadi saksi pada International People’s Tribunal (IPT) 2015 di Den Haag, Belanda.

Baca kisah Martono di sini.

Jembatan Bacem di Solo menjadi saksi bisu eksekusi narapidana terduga PKI. Belum ada yang tahu pasti berapa banyak yang tewas tertembak peluru dan tersapu aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir sepanjang 600 km ke Laut Jawa.

Barjo, salah satu narapidana yang melarikan diri dan menceburkan diri ke sungai sebelum ditembak, mengatakan jumlah narapidana yang diikat dan diangkut dengan truk ke Bacem lebih dari 20 orang dalam semalam. Cerita tentang jembatan Bacem bisa dibaca di sini.

Tempat pembantaian narapidana lainnya adalah gua vertikal di pegunungan karst yang membentang dari Gunung Kidul hingga Wonogiri. Permukaan tanah kapur gersang yang di bawahnya mengalir sungai-sungai bawah tanah yang terhubung dengan Samudera Hindia menjadi “kuburan” bagi orang-orang yang diduga pengikut partai palu arit.

Setidaknya ada dua gua vertikal – begitulah penduduk setempat menyebutnya pinus – yang banyak dikenal sebagai tempat pembuangan narapidana yaitu Luweng Grubug (Gunung Kidul) dan Luweng Mloko (Wonogiri). Seperti yang dituturkan Paul de Blot, seorang pendeta angkatan laut dan dosen agama Universitas Gadjah Mada yang mendampingi para narapidana dan menyelamatkan anak-anak mereka di Yogyakarta pada periode 65-66.

Bagaimana dengan Wiji Thukul dan 12 aktivis yang makamnya tak kunjung ditemukan? Apakah kita akan menyangkal bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap mereka hanya karena kita tidak pernah melihat kuburan mereka?

De Blot bercerita tentang penangkapan massal di kota pelajar dan sekitarnya. Mereka ditahan di Lapas Wates (Kulonprogo) dan Lapas Wirogunan (Yogyakarta). Pada siang hari, tentara memblokir truk yang lewat di jalan utama dan meminjamnya untuk mengangkut tahanan ke Gunung Kidul pada malam hari.

Bersama beberapa pendeta lainnya, ia berdoa dan menyaksikan para tahanan dijatuhkan ke dalam lubang vertikal sedalam sekitar 90 meter. Keesokan harinya, jenazah yang terbawa arus sungai di dasar gua muncul dan melayang ke pantai selatan.

Ketika ada pemberitahuan dari komandan kamp tentang rencana eksekusi, de Blot pergi ke penjara dan menuliskan nama dan alamat tahanan yang akan mati malam itu. Namun, pendeta tersebut tidak pernah memberi tahu para tahanan bahwa mereka akan mati.

Dia kemudian menggunakan daftar ini untuk mengunjungi keluarganya dan memberikan layanan keagamaan. De Blot juga mengatakan, begitu seorang tahanan diambil, seorang tahanan baru masuk ke dalam penjara.

Sementara itu, kisah Luweng Mloko sering diceritakan oleh para lansia setempat. Ceritanya mirip dengan kesaksian de Blot, narapidana diangkut dengan truk pagi-pagi sekali, dieksekusi dan dilempar ke dasar gua. Selama tiga bulan, gua tersebut menyebarkan bau busuk ke desa-desa sekitarnya.

Beberapa warga kemudian mendatangi gua yang berada di atas bukit tersebut untuk menutupinya dengan dedaunan namun malah menemukan sesosok tubuh tersangkut di bibir gua yang kemudian mereka dorong dengan bambu hingga terjatuh.

Luweng Grubug telah dibersihkan. Tengkorak dan tulangnya telah diambil dan dipindahkan sebelum situs tersebut dikelola oleh ahli speleologi Indonesia, Cahyo Alkantana, untuk wisata gua. Sedangkan Luweng Mloko disebut-sebut belum pernah terjamah.

Saya juga mendapat cerita tentang beberapa kuburan massal yang dikunjungi oleh Yayasan Investigasi Korban Pembunuhan ’65 untuk keperluan pendataan. Salah satu sumber, yang juga merupakan penyintas, bahkan sesumbar kepada saya bahwa dia mengetahui tempat pemakaman para tahanan.

Namun rasanya tidak adil jika kuburan massal menjadi satu-satunya indikator untuk menentukan ada tidaknya kekerasan dan pelanggaran HAM berat. Apalagi jika dijadikan dasar penghitungan jumlah korban kekerasan.

Bagaimana dengan Wiji Thukul dan 12 aktivis yang makamnya tak kunjung ditemukan? Apakah kita akan menyangkal bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap mereka hanya karena kita tidak pernah melihat kuburan mereka?

Kuburan massal hanyalah salah satu bukti penting yang mencatat penghilangan paksa, namun bukan merupakan bagian utama dari narasi kekerasan terhadap kemanusiaan. Penghilangan paksa satu atau seratus nyawa juga tidak bisa dibenarkan, terutama bagi negara yang menganut prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jika melihat cara-cara penghilangan paksa seperti di atas – tidak selalu menguburkan korban – apakah masih relevan? interogasi kuburan massal sebagai bagaimana cara menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di tahun ’65? —Rappler.com

Ari Susanto adalah kontributor Rappler Indonesia. Dia dapat ditemukan di Twitter @susantoku.

Baca juga kisah korban dan penyintas 1965 lainnya:

Result HK