Mereka dieksekusi sebelum diadili
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia – Bulan Maret menjadi bulan yang cukup melelahkan bagi Divisi Khusus 88 (Densus 88). Badan intelijen di bawah naungan Kepolisian RI dituding melakukan eksekusi tanpa pengadilan.
Sekretaris Islamic Study and Action Center (ISAC) Endro Sudarsono menyebutnya “pembunuhan di luar proses hukum”.
“Pengujian di luar keputusan pengadilan,” kata Endro kepada Rappler, Senin, 25 April.
Siapa mereka? Siyono merupakan nama terduga teroris yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Pemuda asal Desa Pogung, Klaten, Jawa Tengah ini ditangkap dan diinterogasi unit Densus 88 hingga meninggal pada Maret lalu.
Selain Siyono, ada sejumlah nama lain yang diduga menjadi korban kekerasan Densus 88, seperti Andika Bagus Setiawan, siswa kelas 2 MAN Jamsaren, Solo, Jawa Tengah, yang diduga terlibat teroris. jaringan. Andika ditemukan dalam tahanan orang tuanya dalam kondisi babak belur pada Januari lalu.
Menurut orang tuanya, kondisi Andika sangat memprihatinkan. Pemuda itu mengaku mendapat kekerasan saat diperiksa Densus setiap Kamis.
Masih banyak terduga teroris lainnya yang bernasib lebih malang dari Andika. Mereka tak sempat diinterogasi, namun langsung ditembak mati, atau mengaku ditembak mati, meski menurut ISAC mereka juga menemukan bekas penyiksaan.
Misalnya kasus terduga teroris Fonda Amar Sholikhin. Anggota kelompok teroris pimpinan Santoso ini diduga disiksa sebelum meninggal.
Fonda alias Ponda alias Dodo dikabarkan tewas ditembak saat operasi gabungan TNI-Polri di Poso, Sulawesi Tengah pada 28 Februari 2016.
Ketua ISAC HM Kurniawan mengatakan, jenazah Fonda tiba di kampung halamannya di Brengosan, Solo pada Jumat, 18 Maret. pada pukul 05:30 WIB, setelah berada di RS Bhayangkara, Palu, Sulawesi Tengah sejak 29 Februari.
Usai keluarga menunaikan salat subuh, sekitar pukul 06.45 WIB, peti mati pria berusia 22 tahun itu dibuka warga dan disaksikan keluarga serta panitia pemakaman.
Warga dan panitia menemukan luka di kening kanan yang diduga bekas tembakan, dua gigi depan atas dan bawah jenazah Rampal, serta perut kiri jenazah robek, terdapat jahitan.
ISAC menduga Fonda mengalami luka akibat benda tumpul di gigi depannya dan luka tusuk di perut kiri.
Setelah nama-nama di atas, muncul pula nama-nama lain seperti diungkapkan salah satu pengurus Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Jawa Tengah (Jateng), Sholahuddin Sutowijoyo, pada Rabu, 20 April.
Menurut Sholahuddin, masih ada sederet nama terduga teroris lainnya yang belum diungkapkan kematiannya. Pelakunya hanya satu: Densus 88.
Berikut daftar yang dihimpun Rappler dari ISAC dan DDII:
Berikan itu
Densus 88 dibentuk pada tanggal 20 Juni 2003 berdasarkan SK No. 30 Tahun 2003, sebagai tindak lanjut dari terbitnya UU No. 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme yang menekankan kewenangan Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia.
Satuan ini dibentuk sebagai respon atas semakin maraknya aksi teroris yang dilakukan oleh organisasi teroris jaringan Al-Qaeda, salah satunya Jemaah Islamiyah (JI).
Setelah lebih dari satu dekade, Densus telah menangani banyak kasus yang belum terselesaikan. Namun, setelah kasus Siyono terungkap, kasus serupa yang menumpuk seperti gunung es akhirnya mencuat ke permukaan.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas mengakui terungkapnya kematian Siyono membuka kesadaran masyarakat lebih besar bahwa ada hal-hal yang ditutup-tutupi oleh Densus 88.
Densus terpojok karena Siyono meninggal saat pemeriksaan. Bahkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengakui ada kelalaian anak buahnya dalam kasus Siyono.
Hafid juga mengatakan, kasus ini menjadi pintu gerbang pertama untuk menuntut Densus 88 lebih terbuka.
Pernyataan Hafid disambut baik oleh peneliti KontraS, meski dengan harapan besar. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, menilai Densus 88 tidak hanya harus terbuka, tapi juga harus meningkatkan kinerjanya.
“Kami menilai banyak terjadi pelanggaran hukum baik di bidang prosedur maupun pelanggaran hukum substantif. Misalnya, orang tersebut tidak terbukti teroris, tapi ditangkap, disiksa, bahkan ditembak mati, kata Haris.
Ia juga menemukan kasus teroris yang ditangkap dan diadili, namun tata cara penangkapannya selalu aneh atau melanggar aturan.
Oleh karena itu, Kontras melalui Komisi III DPR RI mendesak adanya audit dan evaluasi terhadap kinerja negara-negara dalam eksekusi aksi teroris, dalam hal ini Densus 88.
Bukan pembubaran Densus dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), tapi evaluasi, ujarnya.
Masalah lain yang akan menjadi kendala, kata Haris, adalah perlawanan dari pihak kepolisian. Jika polisi memang berniat meningkatkan kinerja Densus, maka harus ada sanksi pidana terhadap anggota yang melakukan pelanggaran.
Densus, kata Haris, harus berhenti melakukan operasi yang menghalalkan segala cara. Ia pun meminta DPR memberikan rekomendasi kepada Presiden, agar ada keputusan presiden yang mengatur kinerja Densus 88 agar lebih bertanggung jawab.
Tapi itu semua tergantung Kapolri, ujarnya. Kapolri akan menentukan penegakan hukum di badan intelijen khusus terorisme.
Peneliti KontraS Putri Kanesia yang khusus mendampingi kasus Siyono menambahkan, tidak hanya DPR, Komnas HAM dinilai mampu mendorong lembaga peradilan dan legislatif untuk memberikan keadilan bagi keluarga terduga teroris.
“Komnas HAM didorong. “Saya tidak mengatakan Komnas HAM tidak berbuat apa-apa, tapi saya belum melihat ada kemajuan dalam menangani kasus ini,” kata Putri.
Lantas bagaimana tanggapan Komnas HAM? Hafid mengatakan kepada Rappler, dirinya meminta waktu bertemu dengan Presiden untuk membahas rekomendasi KontraS.
Mudah-mudahan Presiden mendengarkan, kata Hafid.
Hentikan penyebaran kekerasan
Meski negara belum menentukan sikap terhadap kasus Siyono di atas, Ketua Umum Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengaku lebih prihatin dengan dampak kasus pemuda asal Klaten dan sederet kasus tersebut. kasus serupa lainnya.
Ia memandang Densus 88 seperti negara di dalam negara. “Oleh karena itu, seolah-olah orang tersebut yang melakukan tindakan tersebut menangkal terorisme, namun tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat. Mereka sendiri menjalankan tirani otoritas. “Mereka bisa menuduh siapa pun dengan stigma tertentu,” kata Dahnil.
Ia mengatakan, aparat kerap membangun paradigma “membunuh atau dibunuh” untuk melegitimasi eksekusi penembakan yang dilakukan anggota Densus di lapangan.
Padahal, siklus pembunuhan ini hanya akan menimbulkan balas dendam antara penguasa dengan kelompok teroris, bahkan keluarganya.
Dahnil mencontohkan bocah teroris Imam Samudra yang terinspirasi menjadi teroris. Ia kemudian bermigrasi ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengikuti jejak ayahnya.
Kasus putra Imam Samudra menunjukkan bahwa negara tidak melakukan deradikalisasi, namun malah mereproduksi radikalisasi.
Dahnil mengatakan, penanganan terduga teroris harus lebih manusiawi dan beradab.
Hal penting lainnya, kata Dahnil, adalah transparansi kinerja Densus.
Jika polisi tetap tidak mau perbaikan, Dahnil melontarkan tanda tanya. “Mencurigakan, ada motif rent-seeking di balik ini. “Bisa proyek, bisa anggaran,” ujarnya.
Komisi III berjanji akan mengusutnya
Sementara itu, Komisi III Bidang Hukum DPR RI tengah mendalami kasus Siyono dan kasus sejenisnya. Salah satu anggota komisi, Desmond Junaidi Mahesa mengatakan negara harus memenuhi rasa keadilan masyarakat, khususnya keluarga korban.
Untuk mewujudkan hal tersebut, negara diharapkan lebih proaktif, salah satunya dengan memberikan sanksi tegas terhadap personel kepolisian yang terbukti melakukan pelanggaran.
Untuk membantu pemerintah, Desmond mengatakan komisinya akan membentuk tim investigasi khusus.
Namun tim ini akan dibentuk setelah Polri mengumumkan hasil sidang kode etik anggotanya terkait dugaan pelanggaran kasus tewasnya terduga teroris Siyono. Sesuai agenda, hasilnya diumumkan pada Selasa 26 April.
Pembentukan tim ini juga akan bergantung pada jenis hukuman yang diberikan kepada anggotanya, jika terbukti melakukan pelanggaran. Kejahatan ringan atau berat.
Rappler menghubungi Densus 88 tetapi tidak mendapat tanggapan. Surat resmi yang dikirimkan untuk melakukan wawancara khusus juga tidak dibalas.
Sembari menunggu kasus Siyono dan terduga teroris lainnya terungkap, Suratmi Mufidah, istri Siyono, hidup di bawah bayang-bayang misteri kematian suaminya. Ia kini hidup di bawah lindungan PP Muhammadiyah.
Terakhir, dia mengeluhkan banyaknya uang yang diduga diberikan anggota Densus 88 sebagai “uang perdamaian”. Namun dia menolak dan melawan. Ia percaya bahwa nyawa suaminya tidak bisa dibayar hanya dengan uang rohani.
Karena seperti yang diyakini kebanyakan orang, korban bukan sekedar angka, tapi setiap tubuh punya nama.
Yang perlu dijelaskan mengapa mereka harus mati sebelum ada bukti keterlibatannya dalam jaringan teroris? —Rappler.com
BACA JUGA: