Merry Kolimon, pendeta feminis dari Timor
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
“Kepemimpinan haruslah kepemimpinan feminis. Kepemimpinan feminis berarti dia tidak lagi mengulangi nilai-nilai patriarki.”
JAKARTA, Indonesia — Sore itu, Pendeta Merry Kolimon rehat sejenak dari sidang sinode Gereja Kristen Injili di Timor (GMIT) di kantornya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia bersedia bertemu dengan kelompok media dari Jakarta yang datang bersama Oxfam untuk membahas isu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di provinsi tersebut.
Merry mengenakan kemeja putih dengan rok batik oranye saat memulai perbincangan.
“Terima kasih. Kami merasa sangat terhormat bisa dikunjungi oleh Oxfam dan jurnalis dari Jakarta,” kata Merry membuka diskusi.
Merry merupakan pendeta perempuan pertama yang menjadi Ketua Sinode GMIT sejak perkumpulan ini didirikan pada tahun 1947. Dengan terpilihnya dia, anak sulung dari 7 bersaudara ini mempunyai visi untuk membangun kepemimpinan gereja yang peka gender di GMIT.
“Kepemimpinan haruslah kepemimpinan feminis. “Kepemimpinan feminis berarti tidak mengulangi nilai-nilai patriarki: ‘Selama kamu bahagia, saya memegang semua kekuasaan,’” katanya.
Ia mengatakan selama ini jemaah di NTT dikenal sebagai masyarakat dengan budaya patriarki yang kental.
“Kalau memutuskan masalah dalam keluarga, tugas perempuan di dapur, melihat teh, makanan, duduk berdekatan. Tapi kemudian keputusan yang diambil oleh ayah dilakukan oleh ibu,” ujarnya.
Budaya patriarki juga terjadi di lingkungan gereja. Saat Merry pertama kali datang sebagai pastor perempuan di daerah terpencil di Molo Timur, NTT, seluruh pastor perempuan bertugas sebagai diakon, sedangkan yang bertugas sebagai penatua adalah laki-laki.
Penatua adalah bagian gereja yang bertugas sebagai pengkhotbah di mimbar, sedangkan diakon lebih fokus melayani umat seperti membantu orang sakit dan miskin.
Merry menjelaskan, saat itu terdapat konstruksi gender yang sangat kuat di gereja karena perempuan tidak boleh menjadi penatua karena diaken dianggap sebagai pembantu penatua.
Namun setelah Merry mengabdi di sana selama hampir 3 tahun, akhirnya hampir 50% perempuan diberi kesempatan menjadi penatua.
“Mereka percaya diri untuk berdiri di mimbar dan berdakwah pada hari Minggu,” ujarnya.
Terinspirasi oleh ibunya
Sejak kecil, Merry sudah akrab dengan konsep gender dan feminisme. Diluncurkan oleh ibunya, Sarrin, yang merupakan lulusan Alpha-Omega Foundation – sebuah yayasan di bawah GMIT yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat.
Sarrin lahir dalam kondisi ekonomi yang buruk. Sejak ayahnya meninggal, Sarrin yang merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara ini hanya bersekolah di sekolah dasar karena ia dan salah satu saudara perempuannya harus bekerja untuk membantu ibunya membiayai pendidikan kedua saudara laki-lakinya. Kondisi tersebut membuat Sarrin bertekad agar seluruh anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
“Ibu saya berkomitmen, ‘Kalau saya menikah dan punya anak, saya akan bekerja keras agar perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama’. Dan aku perempuan yang beruntung karena ibuku juga seperti itu,” kata Merry.
Sang ibu mengumpulkan uang dengan menjual pakaian tekstil yang dibelinya dari Jawa kepada tetangganya. Merry pun ikut menitikkan air mata saat menceritakan kisah ibunya yang meninggal sesaat sebelum ia mendapat promosi mengejar gelar doktor di Belanda.
“Dia berharap untuk bergabung dengan promosi saya. Katanya, “Kamu tidak perlu khawatir soal biaya, aku menjual madu supaya bisa menemanimu.” “Dia wanita yang luar biasa,” kata Merry mengenang ibunya.
Ia juga mengatakan, perempuan NTT kini bisa mulai menjadi pemimpin berkat para ibu yang bekerja keras dan berkomitmen memastikan anak perempuan bisa bersekolah. Karena itulah Merry ingin mengabdikan dirinya demi perempuan di NTT.
“Kita tidak bisa hidup sendiri, kita juga harus menjadi berkat bagi putri kita,” ujarnya. —Rappler.com