• October 3, 2024

Motherhood dan gerakan perempuan Indonesia kontemporer

Bagaimana seharusnya kita memaknai Hari Ibu? Sebelum menjawabnya, ada baiknya Anda membaca laporannya Laporan Pembangunan Manusia 2015. Dalam laporan tersebut terdapat fakta yang menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia menempati urutan ke 110 dunia dengan rasio 190 kematian per 100.000 kelahiran. Angka ini tentu masih terlalu tinggi. Seharusnya tidak ada lagi kematian ibu akibat melahirkan.

Tapi mengapa Hari Ibu? Mengapa tanggal 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu di Indonesia? Jika Anda melihat dan membaca sedikit sejarah, Anda akan menemukan nama Presiden Sukarno berdasarkan Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1953. Sejarawan Bonnie Triana menyatakan bahwa tanggal 22-25 Desember 1928 adalah hari diadakannya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Pendorong terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia tidak lain adalah kondisi kehidupan perempuan di Indonesia yang masih dibatasi oleh budaya patriarki yang berlandaskan nilai-nilai feodal.

Masih dalam tulisannya, Bonie menulis bahwa sejarawan Saskia Eleonora Wieringa mengatakan ada sejumlah organisasi perempuan penting yang ikut serta dalam kongres perempuan tersebut, antara lain Wanita Oetomo, Aisyah, Poetri Indonesia, Catholic Women, Wanito Moeljo dan Women’s Section di Sarekat Islam. Liga Islam Muda dan wanita Taman Siswa. Tiga tokoh perempuan yang menggagas pertemuan tersebut adalah Nyi. Hadjar Dewantara dari Taman Siswa Wanita, Ny. Soekonto dari Wanita Oetomo dan Sujatin Kartowijono dari Poetri Indonesia.

Dalam kongres tersebut berbagai hal dibahas, menariknya tema-tema tersebut masih sangat relevan dalam konteks masa kini. Seperti pembahasan mengenai pendidikan perempuan, nasib anak yatim dan janda, perkawinan anak, reformasi hukum perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri perempuan serta tindak pidana kawin paksa yang masih marak saat itu. Fokus pembahasan pada kongres perempuan pertama masih menjadi perjuangan kita hingga saat ini, puluhan tahun setelah Indonesia merdeka.

Menariknya, jika dicermati, Kongres Perempuan Indonesia yang pertama melahirkan aktivisme dan keinginan untuk berorganisasi. Artinya, ada kesadaran politik di kalangan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Selain juga memperjuangkan nilai-nilai seperti anti nikah/poligami. Sayangnya, makna ruang emansipatoris dan keterlibatan perempuan dalam dialektika belakangan ini direduksi hanya sekedar peran ibu saja.

Ada banyak argumen yang mendasari pengurangan ini. Intervensi negara oleh orde baru yang menanamkan mitos kejayaan ibu yang tinggal di rumah, melayani suami, dan mengasuh anak. Mariana Amiruddin, dalam artikelnya Hari Ibu di Indonesia bukanlah Hari Ibu! Sebutkan upaya-upaya untuk mengurangi jumlah perempuan yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Makna Hari Ibu, kata dia, menjadi dangkal karena ideologi “Ibuisme Negara” yang ditanamkan Orde Baru.

Pemahaman ini menempatkan perempuan pada posisi subordinat dengan menekankan fungsi reproduksi dan “kodrat perempuan” untuk mengabdi, mengabdi, dengan menjadi “istri yang patuh”. Perayaan Hari Ibu dalam banyak hal merupakan sebuah kemunduran bagi perempuan Indonesia yang masih harus terus berjuang dalam upaya kesetaraan gender.

Tapi apakah salah merayakan Hari Ibu? Tentu saja tidak. Menurut saya, menjadi seorang ibu bukan berarti bisa lepas dari jati diri Anda sebagai seorang pejuang, aktivis, dan yang lebih penting lagi, seorang manusia. Nj. Soewarni Pringgodigo dalam Buku HUT Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta menyatakan, peran perempuan, ibu, dan istri tidak terbatas pada urusan rumah tangga saja. Hal tersebut dikemukakannya pada tahun 1933 dan hingga saat ini perdebatan tentang peran ibu masih terus berlangsung. Pertanyaan mana yang lebih baik? Tetap di rumah ibu atau mereka yang bekerja?

Nj. Soewarni Pringgodigo menyampaikan bahwa Kongres Perempuan Indonesia “sebenarnya kami menentang “pekerjaan rumah tangga” namun menentang “perempuan malas”, yang hanya menikah namun tidak berhasil bekerja untuk mencapai kesejahteraan dan kesejahteraan dalam pekerjaannya, khususnya pekerjaan perkawinan. Ia meyakini perempuan yang hanya bergantung pada suaminya saja, tanpa kesadaran kritis untuk berdiri dan mandiri, hanya akan menjadi “perempuan parasit yang selalu bergantung pada suaminya”.

Kritik pedas ini bukan untuk mendiskreditkan atau mempermalukan para ibu atau perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Namun ada kritik terhadap mereka, perempuan dan ibu-ibu, yang hanya bersikap patuh, tertindas dan perusuh tanpa mau mendidik dirinya menjadi bangsa yang berdaulat. Perdebatan ini masih berlangsung, di media sosial sering terjadi perdebatan apakah lebih mulia ibu bekerja atau ibu rumah tangga. Keduanya mengaku paling mulia, sedangkan yang lain melanggar dan menindas alam.

Namun upaya untuk memberdayakan perempuan dan ibu khususnya mungkin masih memiliki jalan panjang di Indonesia. 28 Mei 2013 Felix Siauw, seorang tweeter terkenal menulis bahwa “jika seorang wanita menghabiskan 3 jam bersama anaknya dan 8 jam di kantor, lebih baik dia disebut ibu atau karyawan,” katanya, yang kemudian dianggap sebagai seorang guru agama. mewakili sekelompok orang yang percaya bahwa perempuan pada dasarnya adalah ibu rumah tangga.

Legitimasi label “ustad” membuatnya sangat adil. Sekalipun sebenarnya ia mempunyai masalah yang nyata, seorang ibu yang bekerja untuk keluarganya sudah sepantasnya disebut seorang ibu, baik lahiriah maupun tidak. Tweet ini menimbulkan polemik yang cukup kuat, saya rasa hingga saat ini perdebatan tentang ibu ideal masih ada. Norma sosial, norma agama, dan juga tokoh agama yang konservatif telah menghadapi gerakan perempuan khususnya ibu di Indonesia melalui berbagai tuntutan hukum dan hinaan karena dianggap tidak bertanggung jawab terhadap keluarga.

Hari Ibu, atau lebih baik kita sebut Hari Gerakan Perempuan Indonesia, harusnya lebih luas dari itu. Kebaikan tidak lahir dari mereka yang pendiam dan penurut, ketika penindasan terjadi, teladan lahir dari mereka yang melawan. Seperti yang dilakukan perempuan di Rembang di sana, menolak pendirian pabrik semen yang berpotensi merusak lingkungan mereka. Atau apa yang dilakukan perempuan Kamisan yang telah bertahun-tahun berjuang melawan impunitas dan pelanggaran HAM.

Gerakan Perempuan Indonesia Kontemporer boleh jadi merupakan gerakan ibu. Mereka yang memperjuangkan hak atas keadilan bagi anak, keluarga, lingkungan hidup dan juga sosial politik. Namun, mereka yang tidak ingin dan belum mempunyai anak berhak disebut ibu. Makna ibu bukan hanya sekedar perempuan yang mempunyai anak saja, menurut saya pantas jika dijadikan sebagai penafsiran istilah mulia bagi perempuan yang dianggap lebih bijaksana, lebih tua, dan lebih berani.

Perempuan Indonesia seharusnya bebas mendiskusikan pertanyaan mana yang lebih baik, apakah perempuan harus memenuhi kodratnya dengan menjadi seorang ibu, atau tidak melahirkan sama sekali. Menurutku tidak semua orang yang melahirkan anak bisa disebut ibu, dan mereka yang dengan tulus mengasuh anaknya, meski tidak ada hubungan darah, berhak disebut ibu. Tidak semua wanita ingin menjadi ibu. Ada perempuan yang dipaksa menikah meski tidak menginginkannya, ada pula yang dipaksa punya anak meski secara sadar tidak ingin punya anak.

Untuk itu saya persembahkan kepada anda semua yang membaca ini. Untuk menafsirkan kembali Hari Ibu. Mengingat ibu-ibu Rembang, ibu-ibu Kamisan dan juga ibu-ibu Papua yang menuntut hak-haknya sebagai warga negara seperti ibu, dan sebagai pribadi negara, untuk lalim dan tiran. ̶ Rappler.com

BACA JUGA

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Gaya penulisannya penuh sindiran sindiran Saat ini ia aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Ikuti Twitter-nya, @Arman_Dhani.

Sidney prize