MUI resmi menyatakan Gafatar sesat
- keren989
- 0
HRW Indonesia menilai fatwa MUI tidak akan membantu menyelesaikan permasalahan Gafatar di Tanah Air.
JAKARTA, Indonesia— (DIPERBARUI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi menyatakan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sebagai aliran sesat pada Rabu, 3 Februari lalu dan menugaskan Komisi Dakwah untuk aktif membina anggota Gafatar dalam berdana.
“Gafatar sesat dan menyesatkan karena merupakan metamorfosis Al Qiyadah dan menjadikan Moshaddeq sebagai guru spiritual,” kata Ketua MUI Maruf Amien dalam jumpa pers di kantornya.
Al Qiyadah yang dimaksud adalah Al Qiyadah Al Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq.
Selain itu, kata Ma’ruf, ajaran Gafatar juga mengadopsi nilai-nilai yang diajarkan di sekolah Millah Abraham yang juga dinyatakan sesat oleh MUI.
Baca selengkapnya tentang Al Qiyadah Al Islamiyah dan Millah Abraham di sini.
MUI menyatakan pengikut Gafatar sebagai murtad. “Bagi yang hanya mengikuti kelompoknya saja, tidak murtad,” ujarnya.
Pertemuan tersebut juga meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada eks warga Gafatar. “Umat Islam tidak boleh mengeksekusi mereka, tidak boleh menolak mereka yang kembali (boleh),” ujarnya.
MUI meminta jemaah Gafatar kembali pada ajaran Islam yang dianut mayoritas dan menugaskan Komisi Dakwah untuk aktif membina eks warga Gafatar.
Bagaimana jika ada eks warga Gafatar yang enggan berpindah agama? “Kami (akan) membangunnya, kami (akan) mengembalikan (ke jalan yang benar),” ujarnya.
Apa temuan MUI?
Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, kajian MUI terhadap Gafatar sudah dilakukan sejak lama, namun baru intensif sejak dua pekan terakhir.
Penelitian dilakukan di beberapa tempat khusus, antara lain Aceh dan Palembang. MUI juga mengumpulkan informasi dari daerah lain seperti Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, DKI Jakarta, Lampung, dan Sumatera Selatan.
Hasil kajian tersebut kemudian diserahkan ke Komisi Fatwa untuk dipelajari lebih lanjut. Komisi Fatwa kemudian melakukan peninjauan sejak Kamis pekan lalu.
Salah satu kajiannya adalah dengan melakukan proses klarifikasi kepada kedua belah pihak, termasuk Kejaksaan Agung dan mantan manajemen Gafatar. Namun eks pengurus tim Gafatar tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Kemudian Komisi Fatwa memutuskan untuk melakukan kajian langsung dengan mengunjungi kamp pengungsi Gafatar. Hasilnya dibawa ke rapat hari ini yang dihadiri 55 anggota MUI dan diputuskan mengeluarkan fatwa sesat.
Dengan tiga pertimbangan:
Poin pertama, MUI membantah Gafatar merupakan organisasi kemasyarakatan. “Padahal Gafatar menegaskan secara organisasi mereka adalah organisasi kemasyarakatan dan tidak ada hubungannya dengan agama, namun dalam proses kajian diketahui aliran agama yang mereka ajarkan itu,” ujarnya.
Poin kedua, adanya keterhubungan antara individu atau ajaran Gafatar dengan Al Qiyadah. Beberapa temuan dari ajarannya, salah satunya meneguhkan karakter Ahmad Moshaddeq sebagai penyelamat, guru spiritual, mesias yang aslinya adalah Nabi Muhammad SAW, ujarnya.
Poin ketiga, belum wajibnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan haji. Serta meyakini Millah Abraham, ajaran yang menurut MUI mencampuradukkan Islam, Kristen, dan Yudaisme dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa aturan baku penafsiran.
Sedangkan untuk fatwa murtad, MUI mengklasifikasikan eks pengikut Gafatar menjadi dua. Pertama, pengikutnya mengikuti keyakinan agamanya. Kedua, pengikut organisasi yang berpartisipasi dalam kegiatan sosial namun tidak dalam aspek keagamaan.
“Jika melakukan rayuan, itu menjadi tindakan ilegal,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Human Rights Watch Indonesia Andreas Harsono mengaku kecewa dengan fatwa MUI. Fatwa ini akan membuat masalah Gafatar semakin rumit dan hak-hak mereka akan semakin dilanggar, kata Andreas kepada Rappler.
Fatwa ini juga membuat upaya penegakan prinsip supremasi hukum di Indonesia semakin rumit karena semakin memperkuat diskriminasi atas nama agama di Indonesia. “Ini hari yang buruk bagi negara dan bangsa Indonesia,” ujarnya lagi.
“MUI harus berbenah diri dengan melakukan edukasi mendengar MUI harus belajar tentang keberagaman, tentang prinsip kesetaraan dalam bernegara, dan tidak bermain untuk menang sendirian, untuk menjadi organisasi modern yang berwawasan luas. tampak tentang persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia, tanpa memandang agama, suku, dan lain-lain.” ujarnya. – Rappler.com