• October 11, 2024
Nani Nurani, Penyanyi Istana, korban 1965 yang menunggu keadilan selama 13 tahun

Nani Nurani, Penyanyi Istana, korban 1965 yang menunggu keadilan selama 13 tahun

JAKARTA, Indonesia—Pada awalnya, Nani Nurani hanyalah seorang remaja biasa yang dibesarkan di lingkungan Islam yang moderat dan modern. Namun dia berkembang dan menjadi penyanyi dan penari.

Karirnya terus menanjak, hingga mampu tampil di Istana Cipanas pada tahun 1962-1965. Pada tahun 1965 ia pindah ke Jakarta. Ia juga disebut-sebut sebagai penyanyi kebanggaan presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Ia kemudian diundang tampil pada HUT Partai Komunis Indonesia tahun 1965 di Cianjur, Jawa Barat.

Menurut catatan LBH Jakarta, nasib Nani berubah setelah ia tampil di HUT PKI. Ia dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan disebut-sebut sebagai kader Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Nani bahkan disebut mendapat rumah dari tokoh penting PKI, DN Aidit.

Akibat tuduhan tersebut pada tanggal 23 Desember 1968, Nani Nurani ditangkap oleh Polisi Militer Cianjur dan dibawa ke Gedung Ampera Cianjur untuk diinterogasi selama satu bulan.

Kemudian pada tanggal 20 Januari 1969, Nani Nurani dipindahkan ke kantor Korps Polisi Militer (CPM) Bogor untuk diinterogasi kembali.

Sementara itu, ia dipindahkan ke kantor CPM Guntur pada tanggal 25 Januari 1969, hingga akhirnya pada tanggal 29 Januari 1969 diputuskan Nani Nurani ditahan di Penjara Wanita Bukitduri.

Pada tanggal 29 Maret 1976, berdasarkan Surat Perintah Panglima Kodam Jaya Laksus Pagkopkamtib Nomor 40/III/1976, Nani Nurani mendapat pembebasan penuh.

Selama Nani Nurani ditangkap, sejak 23 Desember 1968 hingga 29 Maret 1976, ia tidak pernah diperiksa selama persidangan dan pengadilan tidak pernah memutus bersalahnya.

Namun, setelah Nani bebas, ia tak lepas sepenuhnya dari bayang-bayang label ‘anggota PKI’.

Pada tahun 1977, para pejabat Babinsa dan Camat Rawa Badak Utara yang meminta dokumen sumpah, bahkan menuduh Nani sebagai pelarian dari Gerakan Perempuan Indonesia (Gerwani) PKI. Kejadiannya sekitar Agustus 1977 saat ia pindah rumah ke kawasan Plumpang.

Pada tahun 1978, Kartu Tanda Penduduk Nani ditandai sebagai mantan tahanan politik (ET). Selain itu, bersama nama lainnya, Nani masuk dalam daftar anggota Organisasi Terlarang (OT) Kelurahan Rawa Badak, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Nani Nurani diminta Camat Koja untuk melaksanakan wajib lapor setiap bulannya, yakni dilakukan setiap tanggal 2 di kecamatan dan setiap tanggal 18 di kecamatan. Hal ini telah dilakukan sejak tahun 1984.

Nani melawan

Merasa diperlakukan sewenang-wenang, Nani mengajukan gugatan terhadap pemerintah Indonesia pada tahun 2003 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Pada tahun yang sama, putusan PTUN mengabulkan gugatan Nani. Dalam putusan PTUN, Nani Nurani tidak terbukti terlibat baik langsung maupun tidak langsung sebagai anggota PKI atau kelompok C.

Padahal, putusan PTUN menyatakan pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum atas tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap Nani. Putusan PTUN tersebut dikukuhkan dengan putusan Mahkamah Agung nomor: 400K/TUN/2004.

Namun belakangan tak berhenti berjuang di tingkat PTUN, ia kemudian mengajukan gugatan sendiri ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2011. Namun majelis hakim dalam putusannya menyatakan gugatan Nani Nurani tidak dapat diterima. Atas putusan tersebut, Nani Nurani mengajukan banding.

Namun lagi-lagi permohonan Nani tidak bisa diterima. Atas upaya hukum tersebut, Nani Nurani bersama tim advokasi korban stigma 65 mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Maret 2013 dan mengajukan memori kasasi pada tanggal 22 Maret 2013 serta mendapat pemberitahuan dari pihak yang berwenang. pengajuan memori anti kasasi yang diajukan oleh kejaksaan. .

Namun Nani belum mendapat kepastian soal perkembangan penyidikan perkara kasasinya, apakah sudah diselidiki dan diputus atau belum diselidiki sama sekali.

Atas kondisi tersebut, Nani dan tim advokasi mengajukan pengaduan pada tahun 2013, termasuk daftar nomor perkara, majelis hakim, dan panitera yang memeriksa kasasi Nani.

Namun Ombudsman RI tak berani mempersoalkan permasalahan yang dikeluhkan Nani dengan alasan kasus Nani sudah diproses hukum.

Pertarungan hati nurani Nani tidak berhenti, pada tahun 2015 Nani bersama tim advokasi mengajukan pengaduan ke Komisi Yudisial namun Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan untuk menerima permohonan Nani.

Setelah itu, Nani dan tim kembali mendatangi Ombudsman untuk mengadukan maladministrasi atas lambatnya penyidikan kasasi Nani Nurani oleh Mahkamah Agung.

Bahkan, pada 13 Januari 2016, Nani dan tim advokasi mengajukan permohonan pendaftaran sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat karena kurangnya informasi yang diterima Nani dan tim advokasi terkait perkembangan kasasinya.

Pengaduan yang disampaikan Nani dan tim advokasi ke berbagai lembaga negara bukannya tanpa dasar, merujuk pada Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:

“Setelah menerima memori kasasi dan tanggapan memori kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, panitera pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, tanggapan memori kasasi, beserta berkas perkaranya. . ke Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari.”

Juga Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa panitera pada Mahkamah Agung wajib mencatat permohonan kasasi dalam buku register dengan mencantumkan nomor urut sesuai dengan tanggalnya. diterimanya, membuat catatan singkat mengenai isinya dan melaporkannya kepada Mahkamah Agung.

LBH meminta Pengadilan Tinggi segera memutus kasus Nani

Veronica Koman, anggota tim Advokasi Nani Nurani mempertanyakan kejelasan status kliennya di Mahkamah Agung.

“Kami meminta MA segera mengusut perkara kasasi Nani Nurani, mencoba memutus. mandiri dan tidak memihak,” katanya kepada Rappler.

Menurut dia, berkas Nani sudah diterima MA sejak November 2015 dengan nomor registrasi 3286/K/PDT 2015. Namun hingga hari ini, 3 Februari, belum ada kejelasan mengenai kasus Nani.

Apa tanggapan Mahkamah Agung? Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi Sudjiono mengatakan, perkara Nani diterima hakim, namun pada 15 Januari, bukan November 2015 seperti yang disampaikan kuasa hukum.

Saat ini kasusnya masih ditangani T2 atau pembaca dua. Menurut Suhadi, pembaca di MA sedikitnya ada tiga orang, yang terakhir adalah majelis hakim.

Suhadi belum bisa memastikan kapan perkara Nani akan dibacakan majelis hakim. “Jadi tergantung komposisinya sendiri,” ujarnya kepada Rappler siang tadi.

Mungkinkah kasus Nani menjadi prioritas Mahkamah Agung tahun ini? Suhadi tidak yakin. “Karena di MA tahun ini ada 15.000 perkara,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA

Pengeluaran Sydney