Negara diminta menjamin keamanan data kuburan massal 1965 itu
- keren989
- 0
JAKARTA, Indonesia— Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada Senin, 25 April 2020, kepada media mengatakan dirinya diperintahkan untuk mengunjungi kuburan massal korban tragedi 1965.
“Presiden mengatakan tadi bahwa dia diperintahkan untuk mencarinya jika ada kuburan massal. Jadi selama beberapa dekade kami diberi makan hingga ratusan ribu meninggal. Padahal sampai hari ini kami tidak pernah menemukan kuburan massal,” kata Luhut.
Ia bahkan meminta lembaga swadaya masyarakat yang memiliki data untuk menyerahkannya kepada jajaran menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan. “Kapan, saya ikut dia (NRO),” ucapnya sambil memaksakan diri.
Juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, mengaku belum yakin dengan perintah tersebut. Dia hanya tahu Jokowi merencanakan pertemuan dengan korban atau penyintas ’65.
“Presiden ingin mendengar sendiri kesaksian para korban, sebenarnya bukan hanya korban ’65, tapi juga semua pelanggaran HAM. Nanti presiden yang memutuskan apa yang harus dilakukan,” jelas Johan kepada Rappler, Selasa malam, 26 April 2020.
Namun, pernyataan Luhut tersebut diburu-buru oleh masyarakat korban. Mereka bahkan menunjukkan lokasi kuburan yang dimaksud. Benarkah pengungkapan data tersebut saat ini mendesak?
Urgensi untuk merilis data kuburan massal
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Contras) Haris Azhar termasuk yang menyambut baik niat pemerintah tersebut.
Sebaliknya, dia meminta pemerintah mengusut temuan kuburan massal korban peristiwa 1965 yang dikumpulkan KontraS.
Ia mengumpulkan data tersebut sejak 2007 melalui investigasi khusus yang dilakukan timnya. KontraS mengunjungi tempat-tempat yang diyakini sebagai lokasi kuburan massal korban pembantaian tahun 1965.
Dari hasil penyelidikan, Kontras menemukan 16 tempat yang diduga sebagai kuburan massal yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Lembaga kemudian melakukan verifikasi dengan mengumpulkan informasi dan kesaksian dari warga tentang eksekusi yang dilakukan, termasuk proses eksekusi yang dilakukan oleh militer saat itu.
(BACA: Tom Iljas ditangkap saat ziarah ke kuburan massal tragedi 1965)
Setiap malam, kata warga, para tahanan dibawa ke tempat eksekusi dan penguburan dengan truk yang hanya dikawal oleh beberapa tentara bersenjata. Sesampainya di lokasi, 4 sampai 5 tahanan disuruh turun dan menggali lubang sendiri.
Setelah itu, seorang prajurit akan memintanya untuk berdiri dan mengeksekusi tahanan tersebut.
Selanjutnya, napi berikutnya akan diminta untuk turun dan menutup lubang yang berisi jenazah napi sebelumnya.
Tahanan itu kemudian diminta untuk menggali kuburannya sendiri, seperti yang terjadi pada napi pertama.
“Begitu seterusnya. Orang-orang itu disuruh menggali kuburnya sendiri,” kata Haris.
KontraS memperkirakan antara 10 hingga 40 orang dieksekusi di satu lokasi kuburan massal.
Namun data ini tidak diungkapkan ke publik oleh Haris. Mengapa? “Ini soal menuntut komitmen kepada negara, kalau kita berikan datanya, apa yang akan mereka lakukan dengan data itu?” dia berkata.
Pemerintah harus terlebih dahulu menjamin proses verifikasi dan keamanan seluruh data yang dimiliki baik oleh KontraS maupun institusi lainnya.
Haris juga berpesan kepada seluruh lembaga pendataan kuburan massal, seperti Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, untuk tidak terburu-buru merilis data ke publik.
“Boleh dibuka data kuburan massal yang sudah diketahui publik, tapi data lain disimpan untuk keamanan barang bukti,” ujarnya.
Libatkan Komnas HAM
Mengenai urgensi data kuburan massal, Ayu Wahyoningroem, Wakil Koordinator Tim Pengadilan Rakyat Indonesia 1965 (IPT 1965), juga ikut berbagi pemikirannya. Dia setuju penyerahan data tersebut harus ditangani secara resmi oleh kementerian di bawah pimpinan Luhut.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penanganan terhadap data yang mengandung bukti penting tersebut.
Menurut Ayu, pelaksanaannya harus melibatkan lembaga seperti Komnas HAM dan tim ahli forensik. Ayu meminta pemerintah membuat direktori atau prosedur operasi standar (SOP) dan menyiapkan payung hukum.
“Karena itu bukan bagian dari ritual sosial dan budaya, tapi bagian dari upaya yudisial,” ujarnya kepada Rappler. Masyarakat, katanya, tidak bisa membedakan antara kebutuhan akan keyakinan mereka dan hukum.
Ayu belajar dari penggalian kuburan massal yang dilakukan pada tahun 2000 silam. Alih-alih menyerahkan tulang ke tim forensik, keluarga korban malah menguburkannya kembali.
“Ini pemborosan,” katanya.
Jika penggalian itu tidak ditangani secara khusus, bukti tidak bisa dibawa ke pengadilan, atau dikonfrontir dengan pernyataan Luhut pada Simposium Nasional 1965 tentang jumlah korban yang hanya mencapai 80.000, jauh dari angka 1 juta yang disebutkan dalam beberapa kajian.
Ayu juga mendapat pelajaran lain dari penggalian kuburan massal di Bali pada Oktober 2015. “Di Bali semua tulang dibakar, semua barang bukti hilang,” ujarnya.
(BACA: Bali mulai bongkar kuburan massal 1965)
Peristiwa pembakaran atau kremasi disiarkan media lokal. Lokasi tepatnya di Masean, Desa Batuagung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali.
Warga mengeluhkan adanya gangguan dari mahluk halus yang diyakini sebagai mahluk halus korban pembunuhan massal. Akhirnya masyarakat dan pemerintah setempat sepakat untuk mengadakan Ngaben Mamungkah (Menggali tulang untuk dibakar) di tempat tersebut.
“Tujuan ngaben ini adalah untuk menyucikan arwah sembilan korban, agar mereka menemukan tempat yang layak. Selain itu juga bertujuan untuk membersihkan wewidangan (wilayah) banjar setempat secara abstrak. Ini terkait dengan kepercayaan terhadap arwah para korban yang masih berkeliaran,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.
Lebih lanjut Ayu mengatakan, mengungkap kebenaran peristiwa 1965 memang membutuhkan proses. Namun hal ini membutuhkan proses yang panjang, termasuk penelitian kuburan massal. “Kalau prosesnya benar, ya keluaranini juga benar. Jangan seperti simposium kemarin, itu jalan pintas,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA