Negara mengabaikan polemik LGBT
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Istana menjamin perlindungan bagi setiap kaum LGBT tanpa terkecuali.
JAKARTA, Indonesia—Pemerintah mengabaikan wacana pro dan kontra terhadap keberadaan kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sehingga berkembang menjadi ujaran kebencian, kata Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS).
Wacana yang awalnya hanya berisi pernyataan ketidaksukaan pribadi terhadap kelompok LGBT, kini meningkat menjadi pernyataan diskriminatif bahkan ujaran kebencian yang dapat berujung pada kekerasan dan konflik sosial, kata Koordinator KontraS Haris Azhar, Kamis, 25 Februari.
Dia mencontohkan, pada Selasa, 23 Februari, kelompok Solidaritas Perjuangan Demokrasi berencana menggelar aksi di Tugu Yogja untuk menyuarakan pendapatnya, termasuk menuntut hak LGBT dan memerangi ujaran kebencian terhadap kelompok tersebut.
Namun aksi tersebut tidak bisa dilakukan di Tugu Yogja karena dihadang polisi. Penyebabnya, massa intoleran yang teridentifikasi anggota Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) menduduki dan melakukan aksi di Tugu Yogja.
Dalam penampilannya, massa FUI menyebarkan pernyataan ancaman kekerasan, termasuk ‘pembakaran, rajam, atau penghakiman dari pejabat tinggi’ kepada kelompok LGBT.
“Ini adalah contoh bagaimana ujaran kebencian yang tumbuh di masyarakat terhadap kelompok LGBT menyebabkan diskriminasi pada komunitas lain, yaitu pelanggaran terhadap hak kebebasan berkumpul dan berekspresi dari kelompok yang mendukung hak LGBT,” kata Haris.
Perkembangan wacana anti-LGBT dalam ujaran kebencian juga disponsori dan dilegitimasi oleh aktor negara. Berdasarkan catatan KontraS, terdapat 17 pejabat pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap kelompok LGBT.
Bahkan ada yang menyarankan agar wacana anti-LGBT diangkat menjadi kebijakan negara. Misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang secara terbuka dan agresif melakukan ekspresi diskriminasi atas nama hukum, ujarnya.
Sehubungan dengan fenomena di atas, menurut Haris, sering terjadi salah tafsir mengenai pernyataan anti-LGBT. Pernyataan tersebut dinilai sebagai perwujudan hak kebebasan berekspresi, sehingga negara tidak perlu turun tangan untuk meredam ujaran kebencian.
Namun negara dan masyarakat, kata Haris, harus memahami dan membedakan pernyataan-pernyataan berupa opini pribadi, pernyataan diskriminatif, dan ujaran kebencian, baik yang beredar langsung dalam bentuk pamflet maupun yang saat ini gencar memanfaatkan media sosial.
“Wacana anti-LGBT hanya bisa dikategorikan sebagai opini pribadi jika hanya berupa ketidaksukaan pribadi terhadap perilaku LGBT. “Dalam pernyataan seperti ini, wacana anti-LGBT tidak menimbulkan ancaman konflik sosial dan diskriminasi di masyarakat,” kata Haris.
Namun jika pernyataan tersebut berupa usulan atau larangan tertentu terhadap kegiatan kelompok LGBT atau penyerangan dan menyasar individu, maka pernyataan tersebut dapat dikategorikan sebagai pernyataan diskriminatif, ujarnya lagi.
Haris juga mengingatkan, pemerintah sudah memiliki pasal Ujaran Kebencian untuk menindak siapapun yang melakukan ujaran kebencian.
Pasal ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian (SE ujaran kebencian), antara lain:
“Ujaran kebencian itu… bertujuan untuk menghasut dan menghasut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat di berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 11) orientasi seksual;”
Oleh karena itu, segala seruan provokatif yang mendiskriminasi kelompok LGBT dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian sebagaimana tertuang dalam SE Ujaran Kebencian, ujarnya.
Apa tanggapan pihak istana?
Johan Budi SP, juru bicara Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mengatakan negara melindungi setiap individu LGBT tanpa kecuali. “Tapi itu tidak diperbolehkan sebagai sebuah gerakan,” kata Johan kepada Rappler siang tadi.
Gerakan apa yang dimaksud? “Misalnya tidak boleh mempengaruhi orang atau mengumpulkan orang untuk kampanye mendukung pernikahan sesama jenis,” ujarnya.
Bagaimana dengan kampanye HIV/AIDS? “Itu bagus,” katanya. —Rappler.com
BACA JUGA