Nikmati kebajikan damai Laksamana Cheng Ho di Kelenteng Sam Poo Kong
keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Selain sebagai tujuan wisata, kelenteng ini juga berfungsi sebagai tempat peribadahan warga Konghucu.
SEMARANG, Indonesia – Memasuki halaman Kelenteng Sam Poo Kong, sebuah patung berdiri megah. Pada bagian kaki patung terdapat tulisan yang dipahat pada batu granit.
Bunyinya: Otobiografi Laksamana Agung Zheng He, 1371 – 1435, Duta Besar Perdamaian. Laksamana Zheng He lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok, pada tahun 1371. Pada masa Kekaisaran Yong Le, Dinasti Ming, Laksamana yang kita kenal sebagai Laksamana Cheng Ho memimpin armada muhibah yang mengunjungi negara-negara di luar negeri sebagai Duta Perdamaian.
Pada tahun 1405, pelayaran muhibah pertama, Laksamana memimpin 62 kapal megah berangkat dari Shuzou, Pelabuhan Liujiagang, mengunjungi Champa, Sumatra, Jawa, Sri Lanka dan Kalikut (India Barat). Menurut sejarawan Inggris Galvin Menzies, sejumlah kapal armada Laksamana Cheng Ho berhasil mencapai daratan Amerika pada tahun 1421.
Laksamana Cheng Ho meninggal pada tahun 1435 dalam perjalanan kembali dari Kalikut. Jenazahnya diduga hanyut di tengah laut. Namun ada pula yang meyakini laksamana muslim ini dimakamkan di Semarang.
Percaya atau tidak? Faktanya Klenteng Sam Poo Kong berdiri megah dengan dominasi warna merah dan menjadi bangunan paling menarik di Kota Semarang. Pada musim liburan, ribuan pengunjung datang ke gedung ini, untuk beribadah, atau sekadar menikmati dan berfoto.
Andai saja anak buah Laksamana Cheng Ho tidak sakit, cikal bakal bangunan ini mungkin tidak akan ada. Kuil Sam Po Kong merupakan bekas tempat peristirahatan dan pendaratan pertama Laksamana Cheng Ho. Tempat ini biasa disebut Gedung Batu karena bentuknya adalah Gua Batu besar yang terletak di atas bukit berbatu. Terletak di kawasan Simongan, barat daya Kota Semarang.
Hampir seluruh bangunannya memiliki corak warna merah khas bangunan Cina. Kini tempat tersebut digunakan sebagai tempat zikir dan ibadah atau berdoa serta tempat ziarah. Untuk keperluan itu, di dalam gua batu ditempatkan altar, serta patung Sam Po Tay Djien.
Laksamana Cheng Ho adalah seorang Muslim, dan bangunan ini awalnya dibangun untuk salat, seperti masjid. Namun seiring berjalannya waktu setelah bangunan ini diambil alih oleh Tiongkok, Laksamana Cheng Ho dianggap sebagai dewa. Penganut Konghucu datang ke sini untuk berdoa.
Bangunan utama candi berupa Gua Batu yang dipercaya sebagai tempat awal pendaratan dan markas Laksamana Cheng Ho dan anak buahnya ketika berkunjung ke Pulau Jawa pada tahun 1400-an. Gua aslinya tertutup tanah longsor pada tahun 1700-an, kemudian dibangun kembali oleh penduduk setempat sebagai penghormatan kepada Cheng Ho.
Di dalam gua terdapat patung Cheng Ho yang dilapisi emas dan digunakan sebagai musala untuk memohon berkah demi keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan. Selain bangunan inti gua batu yang dindingnya dihiasi relief perjalanan Cheng Ho dari daratan Tiongkok ke Pulau Jawa, di kawasan ini juga terdapat sebuah kelenteng besar dan dua musala berukuran kecil.
Di dalam Gedong Batu juga terdapat sebuah sumur yang konon tidak pernah kering selama ratusan tahun. Warga yang salat bisa masuk ke ruangan kolong gedung. Kini disediakan juga semacam wadah untuk menampung air dari sumur, sehingga tidak semua orang bisa masuk ke dalam gua. Banyak yang percaya air itu suci dan bisa menyembuhkan penyakit.
Di samping bangunan induk terdapat tempat sembahyang lainnya yaitu Kelenteng Thao Tee Kong yang merupakan tempat pemujaan Dewa Bumi untuk memohon keberkahan dan keselamatan hidup. Sedangkan tempat pemujaan Kyai Juru Mudi adalah makam juru mudi kapal yang ditumpangi Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho singgah di Semarang untuk berobat kepada juru mudi tersebut.
Tempat ibadah lainnya dinamakan Kyai Jangkar karena di sini disimpan jangkar asli kapal Cheng Ho yang juga dihias dengan kain merah. Disini digunakan untuk mendoakan arwah Ho Ping yaitu mendoakan arwah yang belum mempunyai sanak saudara yang mungkin belum mendapat tempat di akhirat.
Ada tempat pemujaan Kyai Cundrik Bumi yang dulunya merupakan tempat penyimpanan segala jenis senjata yang digunakan awak kapal Cheng Ho, serta Kyai dan Nyai Tumpeng yang melambangkan tempat penyimpanan makanan pada masa Cheng Ho.
Selain musim liburan, tempat ini paling banyak dikunjungi saat Imlek atau Tahun Baru Imlek. Berbagai acara juga diadakan setiap bulan Agustus di halaman tengah candi. – Rappler.com