‘No Shave November’ dan janggut tebal masa lalu
- keren989
- 0
Syukur harus diberikan kepada internet, karena berkat internet, aksi-aksi sosial bisa digaungkan secara viral. Di samping itu tantangan ember es yang mulai dikenal pada pertengahan tahun 2014, setiap tahunnya di bulan November juga diadakan aksi sosial No Shave November. Saat ini tingkat kesadaran masyarakat global, khususnya generasi muda yang melek internet, mengenai bahaya kanker semakin meningkat.
Sederhananya, No Shave November bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit kanker yang biasanya membuat rambut penderitanya rontok selama menjalani pengobatan, dengan tidak mencukur rambut di kepala dan wajah selama bulan November. Biaya perawatan rambut yang tidak terpakai akan disumbangkan untuk mendukung penelitian kanker.
Maka tak heran jika populasi pria berjanggut meningkat pesat pada bulan ini, tidak hanya di dunia Barat tempat lahirnya gerakan aksi sosial ini, tapi juga di Jakarta. Tentu saja, selain janggut yang jarang tumbuh secara alami di wajah pria Indonesia, tumbuhnya cambang, kumis, dan janggut juga turut diperhitungkan.
Dengan No Shave November, janggut memiliki makna kontemporer. Dan seperti kebanyakan tradisi sosial, menumbuhkan janggut memiliki dinamika sejarahnya sendiri.
“Meneliti janggut adalah cara untuk menjelaskan perubahan dan gagasan berbeda tentang masa dewasa dalam suatu periode dan waktu,” kata sejarawan Christopher Oldstone-Moore dalam bukunya. Tentang janggut dan pria: sejarah mengungkap rambut wajah.
Misalnya, satu hal ikonik yang paling diingat tentang Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16 (1861-1865), selain kelihaiannya memimpin AS dalam Perang Saudara dan kebijakannya menghapus perbudakan, adalah janggutnya. Sebelumnya, ia memiliki Grace Bedell, gadis berusia 11 tahun yang menasihati Lincoln untuk menumbuhkan janggutnya saat ia masih berkampanye sebagai presiden pada tahun 1860.
Wajah mulus Lincoln memang terlihat tirus dan menyedihkan. Meski awalnya menganggap saran Grace itu konyol, Lincoln akhirnya mencobanya. Tampaknya efektif. Jenggot Lincoln menambah karisma dan keberaniannya di mata rakyat Amerika, dan ia terpilih sebagai presiden.
Lincoln hanyalah sebagian kecil dari kisah percintaan antara seorang pria dan janggutnya. Setidaknya sejak zaman primitif dengan kehidupannya yang keras, laki-laki memakai janggut untuk menghangatkan mulut dan melindunginya dari debu dan kotoran alam. Selain itu, janggut juga membuat garis rahang terlihat lebih kuat dan mengintimidasi, cocok untuk mengintimidasi orang asing.
Pada peradaban kuno, janggut merupakan bagian dari gaya hidup pria. Mulai diwarnai agar terlihat indah, misalnya hitam di Asyur dan oranye di Persia. Demikian pula di Yunani, para tahanan akan dicukur janggutnya sebagai hukuman. Gambar Tuhan, para dewa, juga digambarkan sebagai seorang lelaki tua dengan janggut lebat, personifikasi kebijaksanaan dan kebajikan tertinggi.
Pada masa Kekaisaran Romawi, pria Romawi biasanya mencukur janggutnya, sebagai upaya untuk membedakan dirinya dari budak dan orang barbar. Sedangkan para ksatria di Abad Pertengahan menumbuhkan janggut sebagai simbol kehormatan dan status sosial. Sebaliknya, para pemimpin agama Kristen dicukur bersih sebagai syarat selibat.
Tepat waktu Renaisans Di Eropa, menumbuhkan janggut bisa menyebabkan seseorang dikenakan pajak, seperti di Inggris pada masa Raja Henry VIII dan Ratu Elizabeth pada abad ke-16, serta Peter the Great di Rusia (1682-1725).
Baru pada pertengahan akhir abad ke-19 janggut kembali populer di kalangan pemimpin Eropa, seperti Alexander III (Rusia), Napoleon III (Prancis), dan Frederick III (Jerman), serta beberapa tokoh sejarah lainnya seperti Karl Marx ( filsuf), Charles Dickens (penulis), Giuseppe Garibaldi (negarawan), Charles Darwin (fisikawan), Arthur Nikisch (komposer), dan lain-lain.
Masuknya agama Islam ke nusantara dan penyebarannya yang pesat pada abad ke-15 membuat komunitas muslim baru ini juga ingin mencontoh menumbuhkan janggut seperti saudara seiman di Arab, dan juga menunjukkan ketakwaan dalam mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW; sebuah tren yang masih dapat ditemukan di Indonesia saat ini.
Soekarno punya kisahnya sendiri, seperti yang ditulis Guntur Sukarno dalam Bung Karno dan favoritnya. Bung Karno memang berteman baik dengan Fidel Castro dan Che Guevara, namun ada satu hal yang tidak disukai Bung Karno dari duo revolusioner Kuba ini: janggut mereka. Menurut Soekarno, janggut justru menutupi ketampanan kedua wajah mereka, bahkan menurutnya hal itulah yang membuat Castro kesulitan menikahi istrinya.
Namun tampaknya pernyataan tersebut hanya sekedar pelampiasan bagi Sukarno yang di masa mudanya bermimpi memiliki kumis seperti aktor kenamaan Hollywood era 1920-an, Norman Kerry. Masalahnya, setelah dicoba ditumbuhkan, Sukarno malah berakhir dengan kumis ala Charlie Chaplin. Sejak saat itu, definisi cantik dan ganteng bagi pria berbadan besar adalah wajah mulus.
Jenggot telah menjadi simbol budaya tandingan sejak tahun 1950-an, misalnya yang telah dipopulerkan dalam budaya modern. hippie pada tahun 1960an dan hipster saat ini. Faktanya, sejarawan Alun Whitley mengatakan bahwa janggut hipster, yaitu janggut tebal yang dimiliki seorang penebang pohon, menjadi mode. rambut wajah yang mendefinisikan generasi ini (2010-an).”
Jenggot bukan sekadar pamer, namun memiliki makna yang erat kaitannya dengan gagasan maskulinitas, fashion, dan ego laki-laki. Mungkin arti janggut akan berubah lagi di masa depan, dan seperti No Shave November, jejaknya akan semakin kuat dalam sejarah. —Rappler.com
Rahadian Rundjan adalah seorang penulis esai, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah. Kini berdomisili di Bogor dan dapat beralamat di @RahadianRundjan.