• November 26, 2024
Organisasi internasional memprotes penolakan visa bagi jurnalis Perancis yang akan meliput di Papua Barat

Organisasi internasional memprotes penolakan visa bagi jurnalis Perancis yang akan meliput di Papua Barat

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Akibat pembuatan film dokumenter “Perang Papua yang Terlupakan” yang tayang pada 18 Oktober 2015, Payen ditolak visanya.

JAKARTA, Indonesia—Reporters Without Borders (RSF) memprotes penolakan izin kunjungan jurnalis Prancis Cyril Payen ke Papua Barat pada Oktober 2015. RSF mempertanyakan janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang mengizinkan jurnalis asing mengunjungi Papua untuk bersantai di dalam negeri.

“Kami mengutuk hambatan terhadap kebebasan media dan diskriminasi terhadap jurnalis independen yang tidak melakukan kejahatan,” kata ketua RSF Benjamin Ismail.

Payen, seorang jurnalis yang biasa menulis tentang Asia Tenggara dan berdomisili di Bangkok, sebelumnya mengunjungi Papua Barat pada pertengahan tahun 2015. Ia kemudian membuat film dokumenter berjudul “Perang Papua yang Terlupakan” yang dirilis pada 18 Oktober 2015.

Usai siaran, Duta Besar Indonesia untuk Prancis kemudian dipanggil Kementerian Luar Negeri dan diberitahu bahwa Payen sudah tidak bisa lagi masuk ke Indonesia, yakni sudah datang langsung sejak November 2015.

Payen sendiri baru mengetahui informasi tersebut pada pekan lalu.

Kapan jurnalis asing bisa bebas memberitakan di Indonesia?

Pada 10 Mei, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan bahwa Papua terbuka untuk jurnalis asing. “Mulai hari ini jurnalis asing diperbolehkan dan bebas datang ke Papua, sama seperti (kalau datang untuk meliput) di daerah lain,” kata Jokowi. Pengumuman tersebut disaksikan Panglima TNI Jenderal Moeldoko dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.

Namun pada 11 Agustus, diterbitkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang mengatur tata cara kunjungan jurnalis asing ke Indonesia. Penerbitan surat ini mendapat protes dari para jurnalis. Akibatnya, ia hanya hidup 16 hari.

Menurut Dodi Riyaadmaji, juru bicara Kementerian Dalam Negeri, pembatalan itu dilakukan atas instruksi langsung. “Perintah Presiden,” katanya kepada Rappler, Jumat pagi, 28 Agustus.

Sikap presiden dan jajarannya nampaknya semakin kurang bulat, ketika media terus menemukan beberapa kejadian pembatasan liputan bagi jurnalis asing. Tidak hanya di Papua, tapi juga di tempat lain.

Pada bulan Oktober 2015, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) internasional memprotes perlakuan pemerintah Indonesia terhadap dua jurnalis Inggris, Neil Bonner dan Rebecca Prosser.

Menurut CPJ, pemerintah Indonesia memperlakukan keduanya seperti penjahat, meski tidak melakukan tindak pidana.

“Neil Bonner dan Rebecca Prosser bukanlah penjahat biasa, mereka harus diperlakukan sebagaimana mestinya.” ujar Bob Dietz, Koordinator Program CPJ Asia, Kamis, 22 Oktober.

Apa saja aktivitas keduanya yang menyebabkan mereka ditangkap petugas imigrasi?

Bonner dan Prosser memerankan kembali adegan itu.”Perompak di Selat Malaka” untuk proyek film dokumenter di perairan Pulau Serapat Batam, op Jumat malam, 29 Mei 2015.

Namun mereka ditahan pihak imigrasi Batam karena diduga melanggar izin kunjungan di tanah air. Bonner dan Prosser menggunakan visa turis untuk membuat film dokumenter yang rencananya akan ditayangkan di National Geographic Channel.

Lalu kapan jurnalis asing bisa bebas memberitakan di Indonesia?—Rappler.com

BACA JUGA

Keluaran Sidney