• November 26, 2024

Pada tahun 2016, Indonesia masih dirundung kasus sunat perempuan

JAKARTA, Indonesia—Saat menginjak usia sekolah dasar, Maria, bukan nama sebenarnya, melihat seorang anak laki-laki seusianya disunat dan mendapat banyak hadiah. Dia kemudian pergi menemui ibunya. “Bu, aku disunat biar dapat duit banyak,” ujarnya saat ditemui Rappler, Jumat, 8 Januari.

Kemudian ibunya menjawab, “Ya.”

“Yah, kapan? Aku tidak tahu.”

Bayi baru lahir langsung disunat,” kata sang ibu.

“Oh, berarti semua orang di dunia ini harus disunat. “Kalau perempuan nanti disunat kalau kecil, kalau laki-laki kalau sudah besar nanti,” katanya dalam hati.

Percakapan ini membekas dalam diri Maria hingga ia memasuki bangku SMA. Saat duduk di bangku SMA, ia mulai bergaul dengan berbagai komunitas. Baik non-Muslim maupun ‘abangan Islam’, yakni kaum liberal.

Ia mulai berdebat dengan sesama perempuan tentang kewajiban menyunat perempuan. Dan dia menemukan bahwa tidak semua pacarnya disunat.

Di sinilah Maria pertama kali menyadari bahwa ia perlu mencari tahu lebih banyak tentang sunat perempuan. Ia kemudian membeli buku tentang psikologi dan seks serta mempelajari bentuk vagina.

Dia menemukan kosakata klitoris. “Kenapa sepertinya aku tidak memilikinya,” katanya.

Ia juga membaca buku-buku tentang budaya sunat perempuan di Arab, termasuk buku karya Fatimah Mernissi yang membahas secara detail tentang sunat perempuan.

Fatimah merupakan salah satu tokoh feminis asal Maroko yang menentang praktik sunat perempuan bersama Nawal El Saadawi.

“Saya membaca buku tersebut dan menemukan bahwa mengontrol perempuan adalah praktik patriarki. Salah satu caranya adalah melalui sunat dan tindik telinga. Alasannya agar perempuan tidak liar, ujarnya.

Maria terheran-heran ketika membaca buku itu, ia sadar bahwa dirinya sudah disunat. “Mama sendiri tidak tahu kenapa harus disunat,” ujarnya.

Maria mempelajari buku itu lagi dan menemukan bahwa wanita tidak bisa mencapai orgasme jika klitoris di vaginanya dipotong.

Ia marah besar setelah membaca buku tersebut dan tidak mendapat penjelasan dari orang tuanya. Ia kemudian mencoba melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis ketika ia menginjak usia kuliah.

Hasil? “Dari pertama kali berhubungan seks hingga sekarang, saya tidak mengerti seperti apa orgasme itu,” ujarnya. Dia sekarang berusia 33 tahun.

Entah karena masalah psikologis atau karena ada bagian tubuh saya yang hilang, ujarnya.

Kini ia sudah menikah, dan orgasme masih menjadi masalah besar bagi suaminya. “Suami saya stres,” katanya.

Setelah lebih dari lima tahun berhubungan seks dengan suaminya, orgasme masih menjadi dambaan Maria.

“Teman-temanku sering bilang orgasme itu seperti terbang di awan, tapi aku tidak merasa seperti terbang di awan. Itu biasa saja,” katanya.

Kini aktivitas seksual tidak begitu menarik baginya. “Hanya buang-buang waktu.” Meski belum menemukan cara untuk mencapai ‘puncak’, ia memilih menyibukkan diri di kantor dan menjaga anak kesayangannya.

Praktik sunat perempuan cukup tinggi di luar Pulau Jawa

Maria adalah satu dari ribuan anak perempuan di Indonesia yang disunat.

Hasil survei Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). yang dilakukan pada tahun 2013 dan dipublikasikan pada tahun 2015 di 300.000 rumah tangga di 33 provinsi dan 497 kota, menyatakan bahwa lebih dari separuh anak perempuan mereka disunat sebelum usia 12 tahun.

Data sunat perempuan tertinggi terdapat di Provinsi Gorotalo, dan terendah di Nusa Tenggara Timur.

Data UNICEF juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, yakni 3 dari 4 anak perempuan yang disunat mengalami pemotongan klitorisnya pada usia di bawah 6 bulan.

Data juga mengungkapkan bahwa orang tua merupakan pihak yang paling menganjurkan agar anak perempuan tersebut disunat, selebihnya adalah pemuka agama, anggota keluarga, dan tokoh masyarakat.

Dan jika dibandingkan negara lain, Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam praktik sunat perempuan, setelah Mauritania dan Gambia.

Pemerintah dan MUI mendukung sunat perempuan

Apa alasan praktik sunat perempuan masih tinggi di Indonesia? Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Dian Kartika Sari membenarkan data yang disampaikan UNICEF.

Sunat perempuan juga menjadi salah satu fokus Koalisi Perempuan sepanjang tahun 2015.

Ia dan tim pun turun ke lapangan dan menemukan bahwa budaya sunat perempuan berbeda-beda di setiap daerah. “Ada yang simbolis, ada pula yang menoreh (dipotong),” ujarnya kepada Rappler saat ditemui di acara Women’s Coalition Lookout 2016, Jumat, 8 Januari.

Salah satu praktik khitan perempuan dengan memotong klitoris terjadi di Pulau Madura. Budaya masyarakat Pulau Garam, kata Dian, masih kuat dan mengharuskan perempuan ‘menyelesaikan’ klitorisnya.

Sementara itu, tim juga masih menemukan praktik sunat perempuan di perkotaan, namun hanya secara simbolis.

Mengapa praktik ini masih sering dilakukan di wilayah tersebut? “Di beberapa daerah, tokoh masyarakat masih menganggap hal ini penting,” katanya.

Apalagi budaya tersebut ditegaskan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunatan Perempuan yang dikeluarkan pada bulan November 2010,

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sunat Perempuan memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan tertentu seperti dokter, bidan, dan perawat untuk melakukan sunat terhadap pasien perempuan.

Bahkan detil teknis sunat disebutkan dalam peraturan, “Lakukan penggoresan pada kulit penutup bagian depan klitoris dengan ujung jarum suntik steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa hingga ke kulit, tanpa melukai klitoris. bunyinya pasal 4 ayat 2 huruf g.

Peraturan ini kemudian dicabut oleh Wakil Menteri Kesehatan Ali Qufron Mukti saat itu.

Namun bukan berarti praktik ini semakin berkurang. Dian mengatakan, praktik tersebut masih ditemukan selama ada legitimasi dari tokoh agama dan masyarakat.

Belum lagi, kata Dian, tokoh agama yang mendukung praktik tersebut sebagai ajaran agama. Padahal menurutnya sunat itu murni budaya, bukan ajaran agama.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin menegaskan lembaganya mendukung penuh praktik tersebut sebagai kewajiban bagi seorang umat Islam. Penyebabnya karena sebagian umat Islam di Indonesia menganut Mahzab Syafi’i.

“Ada yang menjadikannya sunnah, ada yang mewajibkan, mazhab Syafi’i mewajibkan. “Indonesia sebagian besar menganut Mahzab Syafi’i,” katanya kepada Rappler.

Ia mengatakan, sunat wajib bagi perempuan karena demi kesehatan. Ia juga menerapkan sunat terhadap anggota keluarga di rumahnya yang berjenis kelamin perempuan.

Sunat tidak ada hubungannya dengan kebersihan

Benarkah ada manfaat sunat pada wanita bagi kesehatan? Rappler berkonsultasi dengan dokter wanita yang menyandang gelar dokter kulit dan dokter seks. Beberapa dokter wanita enggan berkomentar. Mereka menyarankan Rappler untuk menghubungi dokter kandungan.

Namun kami kemudian mendapat penjelasan dari seorang dokter di Boyolali, Jawa Tengah, yang merawat pasien sunat perempuan.

Sigit Widyatmoko, dokter umum jebolan Universitas Gadjah Mada, menjelaskan kasus sunat perempuan di Boyolali tidak banyak. Namun diakuinya, ada beberapa pasien yang meminta disunat untuk meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Alasannya tetap sama, demi kebersihan dan kesehatan. Benarkah sunat perempuan ada kaitannya dengan dua hal tersebut?

Menurut Sigit, sunat perempuan pada dasarnya adalah pemotongan kulit klitoris, tekniknya hampir sama dengan pemotongan kulit penis pada pria. “Kalau laki-laki itu skrotumnya, kalau perempuan itu vaginanya,” ujarnya membandingkan.

Ada beberapa teknik pemotongan kulit klitoris. Yakni kulitnya digosok saja, dipotong sedikit, hingga terpotong seluruhnya. “Beberapa suku di Indonesia bahkan ada yang memotong klitorisnya,” ujarnya. Mereka adalah pengikut Syafi’i Mahzab seperti yang diungkapkan Ketua MUI kepada Rappler.

Tujuan pemotongan kulit pada penis adalah untuk membersihkan megma atau kotoran. “Kalau tidak dipotong, dia mudah terkena kanker penis,” ujarnya.

Tapi, kata Sigit, sejauh ini belum ditemukan hubungan antara pemotongan kulit klitoris pada vagina wanita dengan kebersihan. “Setahu saya dari segi medis itu hanya masalah budaya saja, dan dari segi agama, ada mazhab Syafi’i yang mewajibkan, padahal sekolah lain tidak,” ujarnya.

Dari segi medis, kata Sigit, dokter tidak menganjurkan sunat pada perempuan. “Kalau khitan perempuan dilakukan dengan cara digosok, cukup dipotong sedikit, dibuka sedikit kulitnya, tidak masalah. Tapi kalau dipotong, jadi masalah. Kasihan,” katanya.

Tidak ada lagi sunat pada perempuan

Sementara itu, setelah mengetahui bahwa sunat tidak ada kaitannya dengan kesehatannya, bahkan berdampak pada aktivitas seksualnya, Maria mulai mengajarkan hal tersebut kepada wanita seusianya.

Ia tak segan-segan berpesan kepada rekan-rekannya yang memiliki anak perempuan untuk menghindari praktik khitanan tersebut.

“Jangan lagi, jangan sampai ada lagi anak perempuan yang disunat,” ujarnya. Ia tidak ingin wanita lain mengalami masalah seksual seperti dirinya.

Lalu bagaimana pendapat Anda tentang sunat perempuan? —Rappler.com

BACA JUGA

Data Sidney