Pak Nasrul: Berfoto untuk mencari nafkah
keren989
- 0
“Tunggu sebentar, aku akan sampai di sana setengah jam lagi.”
Ini yang disampaikan Pak Nasrul kepada saya melalui telepon. Setelah dua hari berturut-turut mencoba menghubungi fotografer jalanan yang belakangan viral di media sosial, akhirnya dia menjawab panggilan telepon saya pada Rabu, 26 Oktober.
Apakah anda rutin bermain di kawasan Kuningan dan sekitarnya? Bacalah sekarang. Anggap saja ini sebagai bentuk ‘bayar di muka’. Berbuat baik. Bersikaplah yang baik. pic.twitter.com/uUxL9d4K0r
— Alexander Thian (@aMrazing) 21 Oktober 2016
“Baik pak, saya akan menemui anda di tempat anda, jam satu nanti,” jawabku pada pak Nasrul.
Sebenarnya sejak jam 12 saya sudah sampai di depan gedung Bank OCBC yang terletak di antara Mall Ambassador dan AXA Tower-Kuningan City, Jakarta Selatan. Namun karena dia masih sibuk mencetak foto, pertemuan kami akhirnya tertunda satu jam.
Tidak sulit bagi Pak. Sosok Nasrul di antara pejalan kaki di trotoar Jalan Prof. Dr. Satrio. Dia hanya seorang kakek yang membawa kamera SLR. Saya menghampiri Pak Nasrul untuk memperkenalkan diri: “Saya yang menelepon.”
Pak Nasrul hanya mengangguk. Saya melihat sebuah tas besar, jaket kuning, dan juga setumpuk foto karya Pak Nasrul yang tidak diambil pelanggan – diletakkan di atas kotak penahan lampu jalan.
Saya sempat melihat sekilas foto-foto Pak Nasrul yang mengingatkan saya pada foto-foto hasil jepretan fotografer yang tiba-tiba muncul di lobi gedung tempat berlangsungnya acara wisuda atau pernikahan.
Tidak lama kemudian, tiga remaja putri menghampiri kami. Seperti saya, mereka juga minta difoto Pak Nasrul. Saya meminta izin untuk mewawancarai pria berusia 76 tahun itu setelah dia selesai mengambil gambar.
Tiga wanita yang baru datang: Sheila, Bella dan Rahma meminta Pak Nasrul untuk berfoto bersama mereka. Saya dengan senang hati menyetujuinya agar saya bisa memotretnya dengan kamera Pak Nasrul.
Namun, tampaknya Pak. Nasrul bingung dengan permintaan mereka karena terus mengarahkan kamera ke pelanggan barunya. Baru setelah mengambil dua foto barulah saya mengambil foto Sheila, Bella dan Rahma bersama Pak Nasrul dengan kamera telepon pintar milik mereka.
Saya mengobrol singkat dengan ketiga wanita itu. Bella bilang dia punya mr. Nasrul mengetahuinya melalui jaringan media sosial LINE, sedangkan Rahma melihat postingan Instagram temannya yang baru saja lewat kawasan Kuningan. Namun Sheila mengaku baru bertemu Pak Nasrul hari ini, padahal ketiganya berkantor di salah satu gedung terdekat.
Apa yang membuat mereka datang ke Pak Nasrul? Ketiganya serentak mengaku kasihan dan ingin mengetahui lebih banyak tentang fotografer travelling yang sudah berada di Jakarta sejak 1973 ini.
Sekelompok karyawan berseragam batik biru mendatangi kami. “Ayah, ini fotografernya, kan?” tanya salah satu dari mereka. Pak Nasrul hanya mengangguk, seolah belum pernah melihat kerumunan sebanyak itu mendekat. Mereka punya Tuan. Nasrul menawarkan untuk berfoto di kantor mereka, namun ia langsung menolak dengan alasan: “Koper saya berat.”
Rombongan akhirnya berfoto bersama di lokasi. Setelah mereka berangkat, sore harinya saya bisa ngobrol leluasa dengan Pak Nasrul di tengah hiruk pikuk lalu lintas.
Migran dari Gunung Merah Putih
Ketika saya bertanya tentang Tuan. Daerah asal Nasrul, ia menunjuk bendera merah putih yang berkibar di tiang depan gedung Bank OCBC.
“Merah Putih,” katanya singkat. Saya pikir dia akan menjawab tentu saja dia tinggal di Indonesia. Sejauh yang saya dengar, Pak. Jawab Nasrul Solo – yang kemudian saya ketahui berasal dari Gunung Merah Putih, di sekitar Danau Singkarak yang ada di dalamnya Sehat Air Keras, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Pak Nasrul mengaku bekerja di bidang perminyakan bersama suku Sakai, salah satu masyarakat terpencil di Provinsi Riau, hingga akhirnya berpindah-pindah kota sebelum menetap di ibu kota. Kepada saya, Pak Nasrul mengatakan, ia tidak langsung menjadi fotografer setelah bekerja di Riau. Dia tidak punya pekerjaan di Jakarta.
Kini ia tinggal di kawasan Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Timur. Setiap hari dia naik bus Kopaja untuk mencapai Kuningan. Ia bercerita, kini ia tinggal sendiri meski sudah memiliki seorang anak.
Sebelum menjadi viral
Ini bukan pertama kalinya Pak. Kisah hidup Nasrul disorot netizen di media sosial. Ia pertama kali dikenal publik pada tahun November 2014 berkat postingan di jejaring sosial Pad. Berikutnya pada tahun 2015, Iqbal Fahri dan kawan-kawan bertemu dengan Pak Nasrul saat sedang menjual jasanya di Plaza Festival, Kuningan.
Pada November 2014 dan juga di postingan Facebook tadi, Pak Nasrul terlihat lebih lusuh dibandingkan saat saya bertemu dengannya. Ia juga digambarkan membawa dua kamera: “Satu kamera DSLR merek Minolta yang berfungsi sebagai layar dan satu kamera digital merek Canon yang sudah ketinggalan zaman.”
Hari itu, ia membawa kamera digital merek Nikon. Sayangnya, dia tidak mau menjawab pertanyaan saya tentang kamera.
Kini setelah sosoknya diketahui banyak orang di Internet, apakah ini berarti akan semakin banyak orang yang menggunakan jasanya? “Belum tentu. Kadang kosong, kadang lima,” jawab Pak Nasrul, “Ada juga sedikit.”
Satu hal yang pasti, kini nasibnya lebih baik dibandingkan saat kisahnya pertama kali viral. Aku merasakan antusiasme dalam nada bicaranya, tegas dari tawanya.
Dia dengan antusias mengatakan kepada saya bahwa dia baru saja mencetak 200 foto sebelum kami bertemu. Sayangnya tak jarang pelanggan urung berfoto di Pak Nasrul.
‘Tidak ada cara hidup lain’
Jadi, apakah dia benar-benar menyukai fotografi? Diakui Pak Nasrul, ada masyarakat yang tidak menyukai perbuatannya meski tidak menjelaskan siapa mereka. “Saya menyukainya, tapi musuhnya banyak. “Banyak yang menghina saya karena saya print, print, print gambar karyanya,” akunya.
Apakah Pak Nasrul menyukai pekerjaannya? “Ya, tidak ada jalan lain. Tidak ada cara lain untuk hidup. Itu hanya hal yang ringan.”
Dengan tarif yang cukup terjangkau – Rp 20.000 untuk satu foto – Pak Nasrul bisa melanjutkan kesehariannya. Foto baru bisa diambil setelah lima hingga 6 hari, meski sebelumnya dikabarkan hanya butuh tiga hari untuk mendapatkan hasilnya.
Mungkin foto-foto Pak Nasrul tidak sekeren foto-foto yang biasa Anda unggah di Instagram, namun karena fotografernya adalah orang yang spesial, maka hasil tersebut akan menjadi kenang-kenangan yang tak ternilai harganya.
Saya tidak sabar untuk bertemu kembali dengan Pak Nasrul dan menunjukkan kepadanya bahwa masih banyak orang yang peduli padanya – meski hanya di dunia maya. — Rappler.com