Pakai mukena saat salat? Dilema Spiritual Transgender
keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia – Deretan mukena yang dipajang di etalase salah satu kios pasar di Kota Bandung menarik perhatian Monik. Motif dan model yang berbeda-beda sepertinya membuat Monik ingin memilikinya.
Namun dia segera menekan keinginan tersebut. Bagi Monik, memiliki dan mengenakan mukena adalah sebuah impian yang entah kapan akan menjadi kenyataan.
Monik terlahir sebagai anak laki-laki dari keluarga muslim yang taat. Sejak kecil ia sudah terbiasa mengaji dengan memakai baju kepompong dan peci seperti anak laki-laki lainnya.
Namun Monik tahu ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Ketimbang memakai baju coco dan peci, ia lebih memilih gamis dan jilbab. Saat itulah Monik sadar, di dalam tubuhnya dia adalah seorang wanita.
“Di situlah saya merasa bahagia. Bertemu dengan teman-teman transgender lainnya, memakai wig, memakai bra, saya merasa bebas. Ini seperti hidup di penjara, selalu bebas.”
Monik menjalani masa remajanya dengan penuh tekanan. Dia terpaksa menjalani hidupnya sebagai seorang laki-laki; disuruh bertani dan mencari kayu bakar di hutan. Monik juga pernah disekolahkan di pesantren laki-laki di desanya, Tasikmalaya, Jawa Barat.
“Induk akan Saya telah menjadi seorang laki-laki,” katanya.
Pada tahun 2000, Monik memutuskan mengungsi ke Bandung. Di kota berjuluk Paris-nya Jawa ini, Monik menemukan kebebasan yang dicarinya.
“Di situlah saya merasa bahagia. Kalau ketemu teman (sesama waria), pakai wig, pakai bra, saya merasa bebas. “Seperti hidup di penjara, lalu bebas,” kata Monik.
Di Bandung, Monik bisa leluasa berekspresi sebagai perempuan maskulin (waria). Dia bisa berdandan, memakai rok, daster, bahkan terkadang berhijab. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia lakukan agar terlihat seperti wanita: memakai mukena.
“Saya akan Salatnya memakai topeng, namun kembali lagi pada ajaran spiritual ya Kalaupun waria, kalau masih punya alat kelamin laki-laki, pakai saja sarung, pakai ala boy. “Hanya saja kepala saya ditutupi pashmina, bukan peci,” kata waria yang aktif sebagai peer supporter ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) ini.
Jujur saja, Monik mengaku tak nyaman menunaikan salat hanya dengan mengenakan sarung. Namun dia tak mau memaksakan diri memakai mukena. Waria berusia 34 tahun ini takut terlihat mempermainkan aturan agama. Selanjutnya, ketika ia berdoa, ia bertatap muka dengan Sang Pencipta.
“Saya waria, menghadap Tuhan senyaman mungkin. Karena saya belum menjalani operasi, saya masih memiliki alat kelamin laki-laki, jadi saya sebisa mungkin menghadap Tuhan hidup “Harus sesuai gender, meski ada pashmina manja,” kata anggota komunitas transgender Srikandi Priangan ini sambil tersenyum.
Tak hanya mukena, berhijab juga menjadi keinginan terpendam Monik. Terkadang ia menutupi rambut pendeknya dengan jilbab pada momen-momen tertentu atau saat membaca Alquran.
Sebagai seorang muslim, Monik ingin mengikuti aturan agamanya. Hal ini diajarkan oleh didikan keluarga dan guru di pesantren. Mengenakan mukena dan hijab akan dilakukan di kemudian hari, jika dia pernah menjalani operasi kelamin.
Mukena dan hijab mungkin hanya sekedar potongan kain, namun bagi Monik itu adalah bukti bahwa ia telah menjadi wanita seutuhnya.
Merasa lebih nyaman
Lain halnya dengan Shinta Ratri. Baginya, mengenakan mukena dan hijab bukan lagi sekedar khayalan. Waria berusia 55 tahun itu sudah memakainya sejak 1997.
Pengurus Asrama Islam Al-Fatah Waria Yogyakarta ini mengenakan mukena dan hijab karena menurutnya dia adalah perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Sebagai seorang muslimah, Shinta juga berusaha berpakaian sesuai dengan dress code seorang muslimah, yaitu menggunakan mukena saat salat dan berhijab.
Secara fisik, Shinta masih berjenis kelamin laki-laki. Status di kartu identitasnya juga menyatakan hal yang sama. Namun kondisi tersebut tidak menghalanginya untuk mengenakan mukena.
Ia merasa lebih nyaman menunaikan salat dengan mukena. Hal serupa juga dilakukan beberapa temannya di pesantren. Namun ada juga yang tetap memakai sarung dan peci tergantung kenyamanan masing-masing.
“Karena kenyamanan berhubungan langsung dengan ketaatan beribadah,” kata Shinta.
Keputusannya mengenakan mukena meski masih berjenis kelamin laki-laki menimbulkan keraguan apakah shalatnya sah atau tidak, diterima atau tidak. Shinta mengaku berkonsultasi dengan ulama dan akademisi terkait masalah tersebut.
Ia diberi penjelasan bahwa diterima atau tidaknya doa seseorang adalah hak prerogratif Allah, bukan urusan manusia. Sebagai pribadi, Shinta hanya berusaha melakukan apa yang menurutnya baik.
“Tidak ada hal seperti itu dalam Islam fiqhitu untuk waria, apa atau apa? Maka selanjutnya kita melakukan apa yang kita anggap baik dan kita serahkan hasilnya kepada Allah. Namun Allah lah yang berhak menerimanya atau tidak,” ujarnya.
Wyn Sanjaya mempunyai pandangan yang bertentangan. Meski sudah terang-terangan menyatakan dirinya perempuan, namun untuk urusan salat Wine memutuskan mengambil posisi sebagai laki-laki.
“Organ fisiknya laki-laki, tapi jenis kelamin saya perempuan. Jadi menurut aturan agama, kemana perginya aurat pria? Anda tidak perlu repot menggunakan mukena lah“Cuma pakai kaos dan celana saja sudah bisa salat,” kata Ketua Komunitas Transgender Srikandi Panjalu di Ciamis.
Wine mengaku mendapat nasehat dari penasihat spiritualnya yang mengingatkannya untuk sadar akan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Apalagi untuk hal-hal yang berkaitan dengan hubungan dirinya dengan Yang Maha Kuasa.
“Kalaupun kita hidup sebagai waria, yang penting kita sadar bahwa kita tetap laki-laki,” kata Wine.
Mukena untuk wanita transgender menurut islam
Monik, Shinta dan Wine mempunyai pendapat masing-masing mengenai mukena untuk masyarakatnya. Apa yang mereka pikirkan mungkin mewakili pemikiran waria lainnya. Tapi bagaimana Islam memandang masalah ini?
Sebelum menyatakan sah atau tidaknya waria memakai mukena saat salat, Nur Rofiah, dosen pascasarjana Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, mengajak agar persepsi waria atau transgender disamakan.
Dikabulkan atau tidaknya doa seseorang itu hak prerogratif Allah, bukan urusan manusia. Sebagai pribadi, Shinta hanya berusaha melakukan apa yang menurutnya baik.
Rofiah menjelaskan, ada dua istilah untuk menyebut seseorang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya, yaitu transgender atau waria dan transeksual.
Transgender adalah seseorang yang perilakunya perempuan namun berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan transeksual adalah seseorang yang secara fisik terlahir sebagai laki-laki atau memiliki banyak jenis kelamin, namun orientasi dan perilaku seksualnya perempuan, atau bisa juga sebaliknya, yang terlahir secara fisik perempuan namun orientasi dan perilaku seksualnya laki-laki, lalu alat kelaminnya menjalani operasi untuk mengetahui identitasnya.
Waria yang menjalani operasi kelamin disebut juga dengan transeksual.
Dalam Islam sendiri, kata Rofiah, ada istilahnya amplopistilah bagi mereka yang mempunyai alat kelamin ganda dan khunsa musykil, bagi mereka yang identitas gendernya sulit ditentukan, laki-laki atau perempuan.
Tapi, lanjut Rofiah, apapun kondisinya, jika jenis kelamin seseorang sudah ditentukan, misalnya melalui operasi, maka identitas seseorang akan sesuai dengan keputusan akhir tersebut, meski sebelumnya dibesarkan dengan lawan jenis.
“Artinya sebagai satu orang amplop “Kalau dia besarkan laki-laki, lalu kalau besar dia lebih percaya diri dari perempuan, lalu dioperasi, lalu sahnya perempuan, jadi tentu saja dia tidak hanya boleh, tapi harus memakai pakaian dan perlengkapan ibadah perempuan,” kata Anggota Dewan Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Isu Hak Perempuan, di sini.
Masalahnya, tambah Rofiah, banyak waria atau mereka yang memiliki jenis kelamin ganda tidak memiliki kemampuan untuk menjalani operasi.
“Jadi, seseorang yang berpenampilan seperti waria bisa jadi sebenarnya adalah seorang transeksual atau biseksual,” kata Rofiah.
Berdasarkan Fiqih Islam yang mengatur positivisme atau lahiriah dan terukur, seorang waria yang belum menjalani operasi atau mempunyai aurat laki-laki, wajib melaksanakan shalat dengan tata cara laki-laki.
“(Jika waria salat dengan mukena) menurut fiqih secara umum, salatnya tidak sah,” kata perempuan yang bergelar doktor ini.
Namun Rofiah mengingatkan, manusia memiliki dimensi non fisik yang tidak bisa diukur, termasuk orientasi seksual. Dalam shalat terdapat dua dimensi, yaitu kelahiran yang menjadi acuan fiqh dan spiritual yang berkaitan dengan hubungan yang sangat pribadi antara manusia dengan Tuhan.
Untuk hubungan ini, parameternya melampaui fisik.
Lantas, apakah Allah menerima shalat para waria pemakai mukena?
“Kalau menurut Tuhan tentu hanya Tuhan yang tahu,” kata Rofiah. —Rappler.com
BACA JUGA: