Panglima Front Jihad: Santri waria disalah didik
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
FJI mempermasalahkan perilaku misoginis perempuan transgender.
YOGYAKARTA, Indonesia—Komandan DPP Front Jihad Islam (FJI) Abdurahman menegaskan pihaknya masih menolak keberadaan kediaman Islam transgender Al-Fatah di Yogyakarta. Penolakan itu disampaikannya secara terbuka dalam mediasi pada Rabu 24 Februari.
“Kami tadi malam sampaikan ada dua poin, pertama kami menolak keberadaan fiqih waria, kedua kami mendukung warga untuk menolak keberadaan hunian Islam waria dan menyerukan penutupan hunian Islam waria,” kata Abdurahman. saat ditemui Rappler pada Kamis 25 Februari di markas FJI di Pandokan, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.
Usai membaca posisi, massa FJI langsung pulang. Mereka tidak mengikuti dialog dan tidak mengetahui apa kesepakatan mediasinya. “Kami belum tahu hasil mediasinya bagaimana, karena kami langsung pulang,” kata Abdurahman.
Kedatangan massa FJI ke Asrama Islam transgender Al-Fatah memaksa pihak pengelola untuk menutup sementara asrama Islam tersebut pada Rabu malam.
Alasan masih menolak tempat tinggal transgender
Alasan utama penolakan yang diberikan FJI adalah karena waria tersebut melanggar syariat Islam. Menurutnya, jenis kelamin yang diciptakan Allah hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan. “Tidak ada yang setengah-setengah,” kata Abdurahman.
Selain itu, kehadiran waria dalam praktiknya juga menimbulkan kebingungan dalam menjalankan ibadah. Misalnya dalam salat berjamaah, kaum waria memakai mukenah dan berada di barisan paling belakang bersama wanita, hal ini dianggap bertentangan dengan syariat dan membuat salat berjamaah tidak diterima.
“Kerugiannya bagi jemaah yang lain. Nyonya. Shinta mengaku merasa risih salat di masjid karena tidak bisa diterima warga. Jelas Anda tidak bisa menerima berada di barisan belakang, meski Anda laki-laki. “Jemaah haji lainnya akan dirugikan,” tambah Abu Hamdan, Komandan FJI wilayah Yogyakarta.
Hunian Islami bagi kaum waria tidak dianggap sebagai solusi
Abdurahman menjelaskan, keberadaan tempat tinggal transgender saat ini bukanlah solusi yang tepat. Warga waria yang tinggal di Islam harus masuk agama waria sebelum melakukan kajian Islam secara mendalam.
“Dia harus bertaubat dulu, lalu ikut belajar dan berdoa. Bagaimana amalannya bisa diterima kalau dia tidak bertaubat terlebih dahulu? Kalau mau tetap punya pesantren, mualaf dulu, laki-laki tetaplah laki-laki, jangan setengah-setengah. “Kalau begitu kita bisa menerimanya,” jelas Abdurahman.
Juru bicara FJI Wawan menambahkan, kesalahan di pesantren waria itu bisa jadi karena pendidikan yang buruk. Pesantren harus dikelola oleh orang yang tepat.
“Kami setuju dengan tempat tinggal transgender Islami, tapi pertama-tama kami bertaubat. Saya tidak tahu siapa orang tua ini. “Tapi saya bilang itu pendidikan yang salah,” tegas Wawan.
FJI sendiri tak mempermasalahkan jika gerak-gerik laki-laki selembut perempuan. Namun saat beribadah harus dilakukan sesuai jenis kelamin.
“Kalau laki-laki pakai sarung atau celana panjang di bagian depan. Apakah dia melambai atau lembut seperti perempuan, itu tidak masalah. “Tetapi jangan membohongi diri sendiri bahwa dia laki-laki,” kata Abu Hamdan.
Ia juga menegaskan, jika kediaman Islam transgender tetap dibuka, maka FJI akan memantau seluruh aktivitas di kediaman Islam transgender tersebut. Mulai dari penyampai kajian hingga penggunaan ayat-ayat dalam kajian.
“Kami akan datang dan memantau setiap kegiatan,” kata Abu Hamdan.
FJI sendiri merupakan ormas yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 2006 yang fokus pada bidang dakwah dan penyiaran. amar makruf nahi munkar. Selain pengajian rutin, mereka juga melakukan kegiatan sosial seperti penyediaan ambulans gratis, pembagian air bersih dan kegiatan sosial lainnya. —Rappler.com
BACA JUGA