Para aktivis khawatir praktik pernikahan korban dengan pelaku kekerasan seksual masih terus terjadi
- keren989
- 0
Masyarakat Yogyakarta merayakan Hari Perempuan Internasional di sepanjang Jalan Malioboro.
YOGYAKARTA, Indonesia – Hari Perempuan Internasional diperingati dengan prosesi panjang di sepanjang Jalan Malioboro Yogyakarta dari pagi hingga malam pada Rabu, 8 Maret. Peserta aksi membawa poster dan spanduk serta menyampaikan orasi tentang berbagai hal negatif yang masih dialami dan dikaitkan oleh perempuan.
Salah satunya adalah kesadaran bahwa kekerasan seksual merupakan tindakan kriminal dan pelanggaran kemanusiaan. Sejumlah kasus pelecehan seksual di Yogyakarta berakhir damai, bahkan pelaku pelecehan seksual menikahi korbannya.
“Kondisi seperti itu masih terjadi di Yogyakarta. “Di satu sisi, laporan kekerasan seksual yang dilakukan perempuan semakin meningkat, namun di sisi lain, laporan yang berakhir damai dan tidak terselesaikan juga tinggi,” kata Juru Bicara Rifka Anisa, Defirentia One, pada Rabu, 8 Maret.
Organisasi yang fokus pada pemberdayaan dan advokasi perempuan ini mencatat setidaknya 300 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2016, dan 70 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Jumlah ini terus meningkat seiring meningkatnya kesadaran perempuan terhadap kekerasan seksual. Selain itu, berbagai layanan pelaporan juga memudahkan perempuan untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.
Namun, sebagian besar kasus berakhir tidak lengkap. Dari ratusan perkara tersebut, hanya sekitar 20 perkara yang berakhir dengan putusan sah atau incrah. Ratusan kasus yang melibatkan anak tidak dilanjutkan karena kurang bukti, keluarga tidak melaporkan, kasus berakhir damai.
Sementara itu, laporan kekerasan seksual terhadap korban dewasa tidak berlanjut karena berulangnya kasus pemerkosaan dan pelecehan, sulitnya pembuktian, dan usia yang sudah bukan anak-anak lagi.
“Bagi korban janda, ada rasa malu untuk menempuh proses hukum. “Pelaku kemudian menikah dengan korban atau pelaku membayar denda kepada korban,” ujarnya.
Ini merupakan contoh buruk bahwa pelaku kekerasan seksual mudah lepas dari jeratan hukum pidana. Sementara itu, meski kasus kekerasan seksual berakhir dengan damai, korban perempuan selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat setempat. Korban dianggap sengaja menjadi korban untuk mendapatkan keuntungan berupa denda yang diterima dari pelaku.
“Kekerasan dalam rumah tangga juga tinggi dalam perkawinan antara korban dan pelaku,” lanjutnya.
Sejak memberikan bantuan selama 2009-2016, Rifka Annisa telah menerima laporan sebanyak 2.481 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani Rifka Annisa, dengan rincian kekerasan terhadap perempuan sebanyak 1.757 kasus, pemerkosaan 254 kasus, pelecehan seksual 140 kasus, kekerasan dalam pacaran 238 kasus. di keluarga 69 kasus, trafficking 10 kasus, kekerasan terhadap anak 2 kasus, dan lainnya 11 kasus.
Sementara itu, pada acara yang sama, Yogyakarta Women’s Network (JPY) memaparkan sejumlah kasus terkait isu perempuan di Yogyakarta, antara lain pembubaran paksa dan tindak kekerasan saat bedah buku LGBT Irshad Manjid, penyerangan IDAHOT tahun 2015, hingga penyerangan IDAHOT tahun 2015. penutupan paksa pesantren komunitas transgender Al Fatah. pada tahun 2015, penyerangan terhadap acara puasa wanita pada tahun 2016.
Koordinator aksi JPY, Anastasia Kiki, mengatakan dalam beberapa kasus perempuan diposisikan sebagai subjek provokatif atas kebebasan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta menjadi korban tindakan represif negara.
“Di Yogyakarta hadir pembangunan yang berkarakter maskulin. “Puluhan perempuan yang terluka karena dipukul dan diinjak-injak saat melakukan aksi mempertahankan tanahnya sekaligus menyatakan penolakannya terhadap Bandara Internasional New Yogyakarta merupakan bukti bahwa hak atas rasa aman dan hak atas penghidupan bagi perempuan hanya retorika saja,” kata Anastasia Kiki.
Dalam aksi tersebut, ratusan perempuan yang ikut aksi membawa berbagai poster berisi tuntutan, seperti menolak perjodohan, perempuan tidak berdosa, perempuan bukan bagian intim, atau poster bertuliskan, memasak, mencuci, mengasuh anak adalah bukan kodrat perempuan, laki-laki boleh ikut.
Tak hanya perempuan, peserta laki-laki juga turut ambil bagian dalam aksi ini. Mereka merasa masih banyak hal yang perlu diperbaiki terkait pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia.
“Bersyukur ada yang berbicara tentang hak-hak perempuan. “Masih banyak yang perlu ditingkatkan, terutama hak-hak perempuan di bidang pekerjaan, pendidikan, sastra, budaya bahkan percintaan,” ujar Rimba Raya, salah satu pelajar laki-laki yang ikut serta dalam aksi tersebut. – Rappler.com