Paru-paru hijau sedang sekarat di Indonesia
- keren989
- 0
“Seseorang terlihat sangat berbeda dari pohon. Tidak diragukan lagi, kita mengalami hidup dengan cara yang berbeda dari sebatang pohon. Namun jauh di lubuk hati, di jantung kehidupan molekuler, pohon dan kita pada dasarnya identik,” tulis Carl Sagan, kosmolog Amerika terkenal, dalam bukunya, Kosmos.
Sagan benar. Keduanya menggunakan asam nukleat untuk bereproduksi. Keduanya menggunakan protein sebagai enzim untuk mengontrol kimia sel. Manusia membutuhkan oksigen yang dihasilkan oleh pohon, sama seperti pohon membutuhkan karbon dioksida. Keduanya berbagi energi hayati untuk beraktivitas dan tetap berkelanjutan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa pepohonan memiliki energi magis. Siddharta Gautama mencapai pencerahan dan menjadi Buddha ketika bermeditasi di bawah pohon selama 49 hari. Sekitar tahun 1666, sebuah apel yang jatuh dari pohonnya menginspirasi Isaac Newton muda yang kemudian merumuskan teori gravitasi dan merevolusi dunia sains.
Pengalaman Sukarno kurang lebih sama, kebiasaannya berpikir di bawah pohon sukun selama empat tahun pengasingannya (1934-1938) di Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, memunculkan prinsip-prinsip filsafat Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan menjadi Pancasila.
Namun saat ini kesadaran akan ikatan alam tersebut semakin terkikis, tuntutan hidup yang semakin besar membuat masyarakat semakin kejam dalam memperlakukan hubungan lamanya dengan pohon.
Pada pertengahan tahun 2015, aksi perusakan dengan dalih pembebasan lahan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kebakaran hutan dan polusi asap parah yang tidak hanya berdampak pada Indonesia tetapi juga kawasan Asia Tenggara.
Menariknya, bahkan dalam hitungan bulan, hal serupa kembali terjadi ketika baru-baru ini hutan di Provinsi Riau kembali terbakar dan status siaga darurat ditetapkan.
Ironisnya mengingat hari ini, Senin, 21 Maret, masyarakat internasional sedang merayakan Hari Hutan Sedunia yang digagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia. Lalai atau disengaja?
Memang membuka hutan untuk membuka lahan bukanlah hal baru dalam sejarah manusia sejak zaman dahulu. Di Indonesia, kerajaan-kerajaan di Jawa membuka panggung sejarahnya dengan menghilangkan lahan dari hutan yang masih asli.
“Banyak wilayah yang tampaknya telah dibuka untuk penanaman atas perintah seorang raja, yang mengirimkan keturunannya ke hutan yang dikuasai oleh pengikut atau kerabatnya, yang nantinya mungkin menjadi penguasa lokal,” tulis sejarawan Anthony Reid. Asia Tenggara dalam Era Bisnis Jilid I.
Misalnya saja saat Raden Wijaya membuka Hutan Tarik yang berada di sekitar Delta Sungai Brantas, Mojokerto, pada abad ke-13. Hutan tersebut merupakan pemberian Jayatkawang, Adipati Kediri yang baru saja menggulingkan Raja Kertanegara dari Singhasari.
Lahan yang dibuka sebagian besar ditanami padi dan sisanya dijual untuk membeli rempah-rempah yang kemudian dijual kepada pedagang asing. Punya Majapahit laba besarnya sistem perekonomian ini dan dampaknya semakin luas lahan yang akhirnya dibuka akan semakin besar.
Agresi terhadap hutan menjadi semakin umum pada masa kolonial. Ketika Belanda mulai membangun Batavia pada abad ke-17, hutan di sekitar kota dieksplorasi dan ditebangi untuk membangun infrastruktur kota. Banjir pasti terjadi saat musim hujan dan akhirnya menjadi bencana tahunan.
Sistem tanam paksa yang diterapkan pada tahun 1830 membuka lahan untuk penanaman komoditas ekspor baru, seperti teh dan kopi. Hutan di Pulau Jawa semakin rusak. Satwa liar pun diusir dari habitatnya dan diburu karena dianggap hama oleh warga, salah satunya Harimau Jawa yang kini sudah punah.
Sifat pohon yang sakral dan seram terkadang juga efektif dalam mengendalikan pola pikir manusia. Masyarakat Eropa dikejutkan dengan mitos adanya pohon beracun asal nusantara yaitu pohon upas, sebelum Raffles, letnan gubernur Inggris di Jawa (1811-1815) akhirnya membuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar.
Pohon upas tidak seseram yang dikira, konon orang akan mati seketika jika berdiri terlalu dekat dengan pohon tersebut, namun hanya getahnya saja yang terbukti mematikan. Tapi bagaimanapun, masyarakat sudah mempercayainya.
Pohon lain yang dikeramatkan bagi Indonesia adalah beringin. Lambang prinsip ‘persatuan Indonesia’ ini bahkan menjadi lambang partai penguasa yang begitu efektif mengendalikan stabilitas dan persatuan tanah air pada masa Orde Baru.
Ironisnya, deforestasi besar-besaran di Indonesia sebenarnya dimulai ketika Orde Baru berkuasa, pada pertengahan tahun 1970-an, dan menghasilkan pundi-pundi yang mendukung rezim tersebut hingga rezim tersebut runtuh pada tahun 1998.
Rasanya nasib pepohonan di Indonesia kedepannya tidak akan lebih baik lagi. Di kota, ia semakin tergeser oleh aspal dan beton. Di alam, hal ini dihilangkan secara acak untuk menyediakan lahan bagi komoditas labakhususnya minyak sawit.
Kemajuan memang penting, namun bukankah akan keterlaluan jika dicapai tanpa mempertimbangkan risiko kerugian alam?
Dan seperti yang dikatakan Carl Sagan, manusia dan pohon pada dasarnya serupa dan terikat. Oleh karena itu, menghancurkan pohon sama saja dengan mencekik tenggorokan sendiri; Akan tiba saatnya ketika alam membalas dendam dan orang-orang hanya bisa bertanya-tanya mengapa semua bencana ini terjadi.
Ketika hutan, paru-paru hijau, berhenti bekerja, bumi dan seluruh kehidupannya hanya menunggu untuk binasa. Rasanya umat manusia sudah setengah jalan menuju kesuksesan. —Rappler.com
Rahadian Rundjan adalah sejarawan lepas yang saat ini bekerja di bidang sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini berdomisili di Bogor dan dapat beralamat di @rahadianrundjan.
BACA JUGA: