Pasca pemboman di Istanbul, bandara menjadi semakin mengkhawatirkan
keren989
- 0
Ledakan bom bunuh diri di Bandara Attaturk, Istanbul, Turki, Selasa malam waktu setempat, 28 Juni, sungguh mengguncang perasaan. Bom meledak di titik kedatangan, saat calon penumpang baru datang, atau sedang ngobrol dengan keluarga yang menjemput.
Tiga bom meledak hampir bersamaan. Jumlah korban meninggal terus berubah. Pertama 10, lalu 30 dan terakhir 41 orang. Kami berharap jumlah ini tidak bertambah. Jumlah korban luka jauh lebih tinggi dan mencapai 239 orang. Ini angka yang sangat buruk.
Anda mungkin masih ingat, tiga bulan lalu sebuah bom juga meledak di bandara. Kali ini sasarannya adalah bandara Brussel. Belgia, negara yang terkenal dengan keselamatan dan keamanannya, telah menjadi korban terorisme. Sebanyak 34 orang tewas dan 136 orang luka-luka.
Saya teringat sebuah artikel yang banyak dikutip:
“Satu nyawa yang hilang adalah sebuah tragedi, ribuan nyawa yang hilang adalah sebuah statistik”.
Kutipan menarik ini pertama kali muncul di surat kabar The Washington Post pada tahun 1947 oleh kolumnis Leonard Lyons untuk menggambarkan bencana kelaparan yang melanda Ukraina, saat masih berada di bawah Uni Soviet.
Tentu saja Anda, dan juga saya, tidak setuju dengan kutipan yang terkesan meremehkan makna hidup. Setiap orang yang meninggal di Bandara Attaturk, maupun di Brussel, adalah orang yang memiliki tanggung jawab sosial yang sangat penting.
Mereka adalah para pelancong yang sehari-hari berada di rumah, atau kepala keluarga pencari nafkah, ibu rumah tangga, manajer perusahaan dengan ratusan karyawan, atau mungkin seorang pelajar. Dampak sosial dan kemanusiaan akibat pengeboman ini sungguh dahsyat.
Bandara kini menjadi sasaran empuk orang-orang yang berniat jahat. Dulu, bandara merupakan tempat yang paling aman dari aksi teroris dibandingkan terminal transportasi lainnya, baik itu pelabuhan, stasiun kereta api, atau pelabuhan laut.
Aturan mengenai keamanan bandara dibuat dengan sangat detail. Silakan klik di sini untuk mengetahuinya secara detail.
Pemerintah Indonesia juga memiliki peraturan keselamatan penerbangan. Secara umum aturan tersebut diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Berikut peraturan yang lebih rinci berupa Peraturan Presiden, Keputusan Menteri Perhubungan, dan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara.
Ketika semuanya berjalan lancar, keamanan bandara relatif lemah. Namun begitu ada masalah, keamanan bandara menjadi sangat ketat. Pasca tragedi 11 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar di New York, Amerika Serikat, pemeriksaan di bandara menjadi ekstra ketat.
Sebelum tragedi 9/11 yang merobohkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York City, setiap memasuki bandara kami hanya perlu menunjukkan tiket. Item hanya melewati pemindai sesekali mendaftarsekali ke ruang tunggu.
Sekarang barangnya diperiksa lebih lengkap: Apakah ada gunting, gunting kuku, cairan lebih dari 100 mililiter. Kami juga terpaksa melepas jaket, ikat pinggang, tas pinggang, dan jam tangan. Pada dasarnya lengkap. Selain itu, kini kita harus menunjukkan tiket plus kartu identitas. Untuk menuju Amerika, kita harus menunjukkan di bandara keberangkatan alamat tempat kita akan menginap selama berada di Negeri Paman Sam.
Saat serangan Paris kedua terjadi, saya sedang berada di Bandara Internasional Doha, Qatar, dalam perjalanan menuju Miami, AS. Benar saja, setibanya di Miami, butuh waktu dua jam untuk mengantri melewati security.
Begitu pintu pesawat terbuka, sudah ada 10 petugas berseragam militer yang menatap tajam ke arah penumpang satu per satu. Banyak penumpang adalah warga negara Asia Selatan. Ada pula yang diminta menepi untuk pemeriksaan khusus.
Setelah itu kami harus menjalani dua ujian “pintu” lagi. Biasanya hanya di gerbang imigrasi.
Masalahnya, bagaimana kalau ada yang nakal, misalnya membuat identitas palsu? Sangat mungkin. Hanya dengan Rp 250.000 saja kamu sudah bisa membuat KTP palsu di Jalan Pramuka Jakarta Timur.
Sebuah acara investigasi televisi pernah mengangkat isu KTP palsu. Reporter stasiun membuat KTP di Jalan Pramuka dan berhasil membuat rekening bank. Akun tersebut dijual kepada komplotan penipu. Mungkin penipu menghubungi Anda dan berkata, “Selamat, Anda memenangkan hadiahnya… bla..bla..bla..”
Pada tanggal 7 Februari 2005, media Amerika Serikat, Slate, mempublikasikan hasil investigasi bertajuk, Celah Berbahaya dalam Keamanan Bandara. Artikel ini ditulis empat tahun setelah tragedi 9/11.
Keamanan di bandara-bandara di AS masih ekstra ketat. Salah satu kerentanan keamanan yang ditemukan jurnalis adalah check-in daring. Pemegang tiket pesawat tetap ada mendaftar di rumah, atau di kantor, dengan mengisi tiket, nomor penerbangan, dan kartu identitas. Dia kemudian hanya menekan tiket masuk hasil mendaftar Itu.
Sesampainya di bandara, calon penumpang tidak perlu melakukannya mendaftar lagi. Itu sudah cukup menunjukkan tiket masuk dan kartu identitas.
Jurnalis Slate dua kali menggunakan identitas palsu untuk melakukannya mendaftar. Dan, terima kasih Tuhan, dia aman. Andai saja penumpang biasa bisa mendapatkannya mendaftar Dengan menggunakan KTP palsu, teroris tentu bisa melakukan hal serupa. Duh, kuharap itu tidak terjadi.
Oleh karena itu, saya setuju dengan ucapan Tito Karnavian, Kapolri baru yang dilantik Presiden dan disetujui rapat paripurna DPR.
Yang terpenting adalah informasi intelijen untuk mencegah aksi teroris, dengan memantau pembicaraan dan gerak-geriknya, kata Tito.
Persoalannya, para teroris muda ini semakin canggih dalam penggunaan teknologi, termasuk komunikasi menggunakan berbagai media sosial.

Lubang keamanan lain yang bisa berbahaya adalah pemeriksaan keamanan bagi awak pesawat yang seringkali diabaikan.
CBS Television Media AS meluncurkan penyelidikannya di bandara-bandara besar tahun lalu, termasuk di New York, Florida dan Atlanta. Ketika calon penumpang harus bersiap mengantre untuk pemeriksaan keamanan, awak kabin, pilot, dan petugas penerbangan lainnya boleh melenggang melalui pintu lain. Tidak ada pemeriksaan identitas atau barang yang dibawa.
Mungkin karena petugas keamanan sudah merasa mengenal awak pesawat tersebut. Namun dampaknya seringkali tidak sepele.
Pada tahun 2014, seorang petugas Delta Airlines di bandara Atlanta, AS, kedapatan beberapa kali menyelundupkan senjata laras panjang ke dalam pesawat yang terbang menuju New York. Tak main-main, jumlah yang berhasil dibawa mencapai 100 pucuk. Petugas dengan mudah berjalan melewati pos pemeriksaan yang dijaga puluhan petugas sambil membawa senjata berbahaya tersebut.
Jatuhnya pesawat Rusia di Sinai, Mesir, pada 31 Oktober 2015 juga merupakan akibat dari kelalaian pemeriksaan keamanan. Pesawat jet yang membawa 217 penumpang dan tujuh awak itu hancur berkeping-keping setelah meledak di udara. Sebuah bom cair yang terdapat dalam kaleng minuman diledakkan di udara.
Mengapa bom itu bisa masuk ke dalam pesawat? Ada dugaan bom tersebut dibawa oleh awak pesawat dan kemudian diletakkan di salah satu kursi penumpang.
Hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370 yang terbang dari Kuala Lumpur menuju Beijing pada 8 Maret 2014 masih misterius. Entah karena ada gangguan pada pesawat, atau ada penyebab lain, masih belum ada jawaban. Sesaat setelah menaiki pesawat, alat pelacak tiba-tiba mati total sehingga menyulitkan pencarian.
Begitu kita naik ke pesawat, ibarat menyerahkan keselamatan kita kepada pilot dan personel penerbangan lainnya. Kita bersyukur, dari ratusan ribu penerbangan yang terjadi di muka bumi ini setiap harinya, hampir seluruh pilot dan awak pesawat adalah profesional yang menjalankan tugasnya dengan baik.
Namun, catatan kelam dunia penerbangan juga menunjukkan bahwa ada segelintir pilot yang mempunyai niat tersembunyi untuk merugikan diri sendiri dan penumpangnya. Semoga hal ini tidak terjadi pada kami atau penumpang lainnya. –Rappler.com