• November 27, 2024

Pejabat mengundurkan diri, Indonesia menjadi pusat ‘budaya malu’ dan ‘menyalahkan budaya’

Pengunduran diri Direktur Jenderal Pajak Sigit Pramudito dan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Djoko Sasono baru-baru ini menarik perhatian dan mendapat apresiasi banyak pihak. Sebab kejadian ini masih sangat jarang terjadi di negara kita. Padahal, hal inilah yang sangat diharapkan, dinantikan, dan sekaligus diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.

Alasannya sangat sederhana namun mendasar, yaitu mereka merasa kinerjanya gagal dan harus dipertanggungjawabkan kepada atasan masing-masing dan masyarakat. Gagal mencapai target pembayaran pajak 2015 sebesar Rp 1,294 triliun dan kesalahan prediksi kemacetan saat libur panjang Natal dan Tahun Baru, inilah pertimbangan dan alasannya.

Kedua pejabat ini patut menjadi teladan bagi setiap penyelenggara pemerintahan yang memegang jabatan dan mengemban tanggung jawab yang diberikan. Mereka mengakui bahwa mereka bersalah sebelum orang lain memutuskan bahwa mereka salah. Keduanya mengundurkan diri atas kemauannya sendiri sebelum ada orang atau pihak lain yang mengundurkan diri.

Pengunduran diri mereka mengejutkan banyak pihak. Namun tentu saja tidak di masa depan, ketika semakin banyak PNS yang sadar dan menunjukkan moral dan etika yang sangat baik serta amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan negara.

Pengunduran diri pejabat yang tidak kompeten dan bersalah juga meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pemerintah. Impian Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk melahirkan pejabat pemerintahan yang bersih dan berwibawa tentu akan lebih mudah terwujud.

Tanggung jawab moral

Dalam dunia birokrasi, baik di pemerintahan, korporasi, maupun institusi lainnya, tanggung jawab baik secara hukum maupun moral merupakan sesuatu yang mutlak, namun pada kenyataannya hal tersebut mahal dan tidak mudah untuk diperoleh. Mudah diucapkan, namun sulit diterapkan. Muncul sebagai slogan dan diagung-agungkan, namun sering dilupakan atau dilupakan karena kepentingan salah satu atau beberapa pihak.

Dennis F. Thompson (1980), menyebutkannya “masalah banyak tangan.” Sedangkan dalam birokrasi pemerintahan, keadaannya lebih sulit karena biasanya sulit menentukan atau melacak siapa yang harus dan patut menerima tanggung jawab tersebut. Yang sering terjadi adalah “aktor” yang tampil atau menjadi “korban” yang harus memikul tanggung jawab pihak lain.

Apakah pengunduran diri pejabat karena merasa gagal menjalankan tugasnya sudah menjadi tren di Indonesia? Jawabannya adalah belum.

Namun sejarah mencatat, memang ada sejumlah pejabat yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan mengundurkan diri karena merasa gagal, tidak lagi menganggap dirinya layak dan demi kepentingan masyarakat dan negara.

Mereka antara lain mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, mantan Wakil Bupati Kabupaten Garut Dicky Candra, dan mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Handoyo Sudrajat. Contoh terbaru adalah Setya Novanto yang mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI, padahal peristiwa ini sarat politisasi dalam proses yang panjang.

Memang sedikit. Sekalipun masyarakat menilai dan melihat banyak sekali pejabat publik di Indonesia yang terang-terangan gagal atau tidak layak lagi menduduki jabatan, namun mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan jabatan, kedudukan, dan kekuasaannya.

Di berbagai negara lain di dunia, pengunduran diri pemimpin dan pejabat karena merasa gagal menjalankan tugasnya merupakan hal yang sangat lumrah. Misalnya, Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won mengundurkan diri karena tenggelamnya kapal feri Sewol. Walikota Bukares di Rumania, Cristian Popescu Piedone, karena puluhan orang tewas akibat kebakaran di a klub malam Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama karena gagal memenuhi janji kampanyenya untuk menutup pangkalan militer AS di Okinawa. Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan telah melakukan pelanggaran akademik yaitu plagiarisme.

Faktanya, tugas dan tanggung jawab, baik hukum maupun moral, bagi seorang pejabat publik didefinisikan secara jelas dan jelas ketika ia menjabat. Hukum dan etika mengatur hal ini dengan baik. Bahkan janji-janji yang diucapkan dalam sumpah jabatan menguraikan tugas dan membatasi tindakan seorang pejabat.

Profesor Mao Shoulong dari Universitas Renmin di Beijing mengatakan bahwa seorang pejabat publik harus mampu menerima tanggung jawab melalui empat aspek:

  • Pertama, tanggung jawab moral, seperti menimbulkan banyak korban atau menimbulkan penderitaan bagi masyarakat.
  • Kedua, tanggung jawab politik terhadap partai yang berkuasa (partai yang berkuasa) dan pemerintah.
  • Ketiga, tanggung jawab demokrasi terhadap rakyat dan pemilih yang memilihnya.
  • Dan keempat, tanggung jawab hukum, yang menentukan ada tidaknya kelalaian dan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan tugas.

Setiap pejabat harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Namun dalam perjalanannya, sering kali muncul konflik antara kewajiban hukum dan moralitas. Keduanya tidak bisa serasi apalagi dipertemukan. Jadi, dalam beberapa situasi kritis, Gutman dan Thompson, masuk Sheppard (2009), mengatakan, opsi mundur dinilai sebagai satu-satunya cara yang paling bisa diterima dari aspek moral dan kelembagaan.

Revolusi rohani

Sebagai negara besar, tidak hanya di kawasan, Indonesia jelas dilihat dan diikuti oleh banyak masyarakat dunia dalam berbagai hal, termasuk perilaku para pejabat, birokrat, dan pemimpinnya. Sekarang kita mulai melihat pejabat Indonesia mengundurkan diri. Apa sebenarnya alasan seorang pejabat publik mengundurkan diri?

Banyak pemimpin kita yang beriman budaya malu (budaya malu), namun tidak diikuti perasaan bersalah karena diperkuat oleh reputasi, rasa hormat, prestise dan harga diri. Kees Berten (2002), berpendapat bahwa bahaya terbesar ditimbulkan oleh masyarakat yang tingkat budayanya berada pada tingkat budaya malu adalah ketika rasa malu mereka muncul ketika kecacatan atau rasa malu mereka diketahui orang lain.

Inilah saat mereka merasa kehilangan muka dan harga diri mereka merosot. Jika masyarakat tidak mengetahui rasa malunya, maka mereka akan merasa aman dan nyaman. Sanksi dari budaya malu berasal dari luar, apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain. Sedangkan perbuatan jahat itu sendiri dianggap tidak penting.

Lawan dari budaya malu adalah budaya utangatau budaya berbasis rasa bersalah. Budaya berhutang merupakan budaya dimana meskipun kejahatan atau kelalaiannya tidak diketahui orang lain, namun pelakunya tetap merasa bersalah. Pelaku merasa risih dan seringkali menyesali perbuatannya.

Di kalangan PNS, perbuatan yang tidak mengandung unsur pidana seperti asas, kewajiban, dan tanggung jawab, meskipun PNS tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dapat pula digolongkan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. budaya utang.

Dengan kondisi budaya malu Dan budaya utang, banyak antropolog dunia mempelajari perbedaan budaya antara budaya Barat dan Timur. Mereka menemukan kenyataan yang cenderung dianut oleh budaya Barat budaya utangsedangkan budaya Timur lebih dominan budaya malu.

Hal inilah yang menciptakan budaya pengunduran diri pejabat publik di Indonesia karena tanggung jawab moral masih mahal dan jarang terjadi. Untuk itu sepertinya kita sangat membutuhkannya budaya utang dan perubahan mental. Revolusi spiritual, rencana Presiden Jokowi yang harus kita dukung bersama. —Rappler.com

Vita Alwina Daravonsky Busyra adalah dosen komunikasi di London School of Public Relations, Jakarta.

BACA JUGA:

Sidney hari ini