Pelestarian seni budaya Sunda oleh The Lodge Foundation
- keren989
- 0
BANDUNG, Indonesia — Bibir Rendi Agung Permana seakan tak henti-hentinya tersenyum, melengkapi sorot matanya yang berbinar. Wajahnya basah oleh keringat, sisa kosmetiknya tercoreng. Setiap ekspresi di tubuhnya meneriakkan kegembiraan dan kepuasan. Penuh rasa bangga, bocah 15 tahun itu mengungkapkan perasaannya.
“Saya merasa senang, bersemangat, bangga. “Mungkin ini langkah awal kita menuju kesuksesan,” kata Rendi yakin.
Rendi baru saja menampilkan balet bertajuk Sangkuryang. Ini merupakan pengalaman baru dan pertama kalinya bagi siswa SMK 4 Lembang ini. Sebelumnya, dunia seni pertunjukan terasa asing bagi Rendy. Ada pula 30 pemain lainnya yang merupakan warga Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Pertunjukan drama tari Sangkuryang Arahan sutradara Kiki Permana tidak melibatkan aktor profesional, melainkan warga lokal yang belum pernah berperan sebelumnya. Hal inilah yang unik dari pertunjukan yang pertama kali dipentaskan pada pertengahan Agustus 2017 lalu di The Lodge Maribaya, sebuah objek wisata di kawasan Cibodas Lembang.
Meski dibawakan oleh pemain amatir yang sebagian besar adalah anak-anak, penampilan legenda Tatar Parahyangan ini patut diacungi jempol. Para aktornya bermain benar-benar layaknya seniman teater yang jam terbangnya panjang.
Mereka menari dan berakting hingga berhasil menyuguhkan sebuah tontonan yang menarik. Apalagi lokasi pementasannya konon merupakan tempat Dayang Sumbi dikejar Sangkuryang. Penonton pun dibuat terpana dan baru sadar 30 menit kemudian saat pertunjukan usai. Kerja keras seluruh kru selama 3 bulan pelatihan membuahkan hasil.
Tokoh kunci di balik pertunjukan balet tersebut adalah Heni Nurhaeni Smith. Perempuan asal Garut ini bertujuan memberdayakan warga sekitar lokasi The Lodge Maribaya, objek wisata miliknya. Aksi tersebut ia lakukan melalui The Lodge Foundation, sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap warga Cibodas.
“Karena pengunjungnya mulai banyak dan banyak rejekinya, saya ingin berbagi dengan masyarakat sekitar. Jadi saya mendirikan The Lodge Foundation. “Untuk setiap tiket masuk The Lodge Maribaya saya ambil 1.000 rupiah,” kata Heni saat ditemui di tempat pemutaran film.
Dana yang terkumpul, kata Heni, akan digunakan untuk membiayai tiga program utama The Lodge Foundation, yaitu pendidikan, lingkungan hidup, dan seni budaya. Balet Sangkuryang merupakan perwujudan program seni dan budaya.
Ada alasan tertentu mengapa Heni menjadikan seni dan budaya sebagai salah satu dari tiga program utamanya. Heni yang sudah lama tinggal di Inggris mengaku prihatin dengan semakin menurunnya pertunjukan yang mempromosikan kesenian tradisional Sunda.
“Saya kembali ke Indonesia pada tahun 2015. Dimana di Bandung saya bisa melihat kesenian Sunda? Kalau di Jawa Barat nonton tari balet dimana? Sangkuryang? Tidak ada yang menampilkan kesenian Sunda kecuali pada pesta pernikahan atau acara acara hal-hal tertentu,” kata istri pria asal Inggris ini.
Kondisi itulah yang melatarbelakangi Heni menggelar pertunjukan balet yang mengangkat legenda tanah Parahyangan. Bekerja sama dengan Nuwala Performance, karya seni tradisional Sunda ini akan dipentaskan secara rutin, dua kali sebulan di The Lodge Maribaya.
“Sebenarnya ada beberapa tujuan. Pertama, agar The Lodge memiliki substansi. Kedua, anak-anak ini harus diasuh, dan ketiga, budaya kita tidak bisa kalah. (Pertunjukan seni tradisional) di Bandung hampir tidak ada, tidak ada subjek (rutin), kecuali Saung Angklung Udjo. Tapi itu angklung, kalau baletnya dimana?” kata Heni.
Anak-anak memang menjadi sasaran program The Lodge Foundation. Hal ini juga bukan tanpa alasan. Heni mengungkapkan, anak-anak di kawasan Cibodas kurang mendapat perhatian. Mereka dirundung ancaman putus sekolah dan pernikahan dini. Padahal, menurut perempuan berusia 48 tahun itu, anak-anak Cibodas mempunyai potensi yang belum tergali.
“Dengan tampil, orang-orang menonton, mereka akan melakukannya kepercayaan dirikepercayaan diri yang tinggi, mungkin suatu saat mereka akan menjadi pemimpin,” kata Heni penuh harap.
Harapan itu juga ada di benak Ujang Hermawan. Siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Lembang ini mempunyai cita-cita berkarir di dunia seni pertunjukan. Peluang yang ditawarkan The Lodge Foundation memotivasi Ujang untuk turut serta melestarikan budaya Sunda.
“Kami menyukai seni. Jadi ketika kita mendapat kesempatan seperti ini, kita beruntung. Mungkin ini bisa menjadi awal karir kita. Insya Allah kami akan terus berkarya di dunia seni, khususnya seni Sunda, kata remaja berusia 16 tahun ini.
Yani Sulastri pun tak kalah senangnya. Ibunda aktor Dayang Sumbi, Risma Sri Anjani sepertinya sudah menemukan cara untuk mewujudkan impian putranya menjadi penari profesional.
Warga asli Cibodas ini tak menampik kekhawatiran yang ia rasakan terhadap apa yang menimpa gadis-gadis di desanya. Menurut Yani, banyak anak perempuan di Cibodas yang putus sekolah karena merasa tidak memerlukan pendidikan tinggi atau kekurangan biaya. Setelah itu, biasanya gadis tersebut akan dinikahkan lebih awal atau dipaksa menikah karena sudah berbadan dua.
Ibu dua anak perempuan ini tak ingin anak-anaknya mengalami hal serupa. Melalui program yang dicanangkan The Lodge Foundation, Yani berharap para remaja perempuan di Cibodas, termasuk anak-anaknya, dapat mengembangkan wawasan dan bakat yang ada dalam diri mereka.
“Dengan adanya kegiatan ini, anak-anak bisa menambah wawasannya. Mereka juga bisa mengembangkan bakatnya. Supaya mereka beraktivitas positif, tidak terbawa pergaulan buruk. “Saya tidak ingin anak saya menikah dini,” kata Yani.
Namun bagi Heni, apa yang dilakukannya masih jauh dari cukup. Heni ingin program seperti pemberdayaan masyarakat bisa bergulir dan berkembang seperti bola salju.
“Mudah-mudahan menjadi fenomena yang baik dan menjadi contoh,” kata Heni yang mempekerjakan 250 tenaga kerja lokal. —Rappler.com