• November 24, 2024

Pembantu Karin, seorang musafir asal Norwegia yang dirampok di Palembang

JAKARTA, Indonesia — Di dunia Barat, Islam telah menjadi sorotan selama lebih dari satu dekade. Stereotipe umat Islam sebagai terduga teroris di sejumlah negara Eropa memang tidak bisa dihindari. Belum lagi diskriminasi terhadap umat Islam di Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Ketakutan terhadap Islam tidak terlihat di Indonesia, setidaknya bagi traveler asal Norwegia, Karin Baadsvik. Pada 8 Maret, tas Karin dicuri dari stasiun saat ia sedang singgah di Palembang, Sumatera Selatan. Akibatnya, ia harus kehilangan barang-barang berharganya.

Beruntung, sejumlah warga Palembang ikhlas membantu Karin. Di era individualistis ini, kisah Karin ditolong warga tersebar melalui media sosial dan seketika menjadi viral.

Ayah Karin, Øystein Baadsvik, menyebarkan kabar tersebut melalui akun Facebook pribadinya. Status Facebook Øystein memuat ungkapan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu putranya selama berada di Palembang.

“Saya punya kabar baik,” tulis Øystein, seorang musisi tuba. Ia kemudian menjelaskan kronologi kejadian tersebut sebelum menutup statusnya dengan kalimat: “Seiring meningkatnya Islamofobia, menurut saya penting untuk berbagi cerita dari orang-orang ini, yang seperti mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim.”

Hingga tulisan ini dibuat, status Øystein telah dibagikan hampir 200 kali dan disukai lebih dari 500 pengguna Facebook.

Kebaikan umat manusia

Di balik pengalaman pahitnya, Karin sendiri menemukan rasa syukur. Ia merasa terinspirasi dengan kebaikan orang-orang yang membantunya di Palembang dan akan merekomendasikan Indonesia sebagai tujuan wisata.

“Saya senang hal itu terjadi. “Jika tidak, saya tidak akan pernah mendapatkan pengalaman yang menunjukkan kebaikan umat manusia yang sungguh luar biasa,” kata Karin kepada Rappler.

“Saya mendapat teman dan kenangan baru yang akan bertahan selamanya.

Wanita berusia 24 tahun itu tiba sendirian di Stasiun Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan. Ia baru saja menikmati Lampung dan berencana singgah di Palembang sehari sebelum berangkat ke Dumai, Riau.

Dari Dumai, gadis itu berencana naik kapal feri menuju Melaka, Malaysia. Perjalanan tersebut merupakan bagian dari tujuannya untuk bertualang dari Bali ke Berlin, Jerman. Kisah perjalanan Karin ditampilkan di blog pribadinya, balitoberlinblog.wordpress.com.

Karin mengatakan, dirinya tidak ingin naik pesawat selama perjalanan. Meski memakan waktu lebih lama, itu tidak masalah baginya.

“Jika saya terbang melintasi daerah berbeda dengan pesawat, orang-orang yang tinggal di bawahnya dan pengalaman berharga itu tidak akan pernah ditemukan,” ujarnya.

“Ada begitu banyak tempat bagus yang tidak memiliki bandara yang tidak diketahui orang, dan saya tidak ingin melewatkan momen-momen itu.”

Dicuri dengan kredit pembelian

Selama di Lampung, Karin ditemani warga sekitar bernama Desta. Ia menghubungi salah satu anggota Komunitas Backpacker Indonesia Daerah (BPIP) Palembang, Riki Azmi Perdana, untuk menjadi tuan rumah yang mengurus transportasi dan akomodasi Karin selama berada di Kota Pempek.

Sesampainya di stasiun Kertapati dan menunggu dijemput teman BPIP, Karin menyempatkan diri keluar stasiun untuk membeli pulsa. Namun sayang tasnya dirampas secara tidak terduga. Uang, paspor, kartu kredit, dan laptopnya hilang.

Gadis kelahiran 18 Mei 1992 itu bercerita kepada Rappler bahwa orang-orang di sekitar penjual pergelangan tangan juga ikut membantu mengejar pencuri tersebut.

“Sekelompok anak muda yang membantu saya membeli pulsa dikejar pelaku, namun akhirnya kami kehilangan jejaknya,” ujarnya. Katanya, gang yang kecil dan sempit menyebabkan Karin kehilangan jejak pencurinya.

“Karena panik, saya putuskan untuk berhenti mengejar pelaku dan kembali mengambil barang-barang saya yang lain sebelum juga dicuri,” ujarnya.

Riki dan teman BPIP lainnya, Olith, sudah menunggu di stasiun saat Karin kembali. Riki mengatakan, dirinya membawa Karin ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian tersebut.

“Saat saya sampai di sana, sudah banyak orang dan polisi di sana. Terakhir, Karin diundang ke Polrestabes Palembang untuk memberikan keterangan dan mengajukan pengaduan,” kata Riki.

Tampil di kafe

Alhasil, rencana Karin untuk tinggal satu hari di Palembang pun harus diperpanjang. Ia harus memastikan melengkapi dokumen dari polisi, memblokir kartu kreditnya, dan mendapatkan paspor sementara dari kantor imigrasi setempat. Selain itu ia juga harus memberi tahu orang tuanya.

Uang Karin pun hilang karena ada di dalam tas hasil curian. Ia bingung bagaimana membiayai perjalanannya. Selain itu, paspornya hilang dan visa turisnya tinggal kurang dari seminggu. Akibatnya, dia harus mendatangi Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta.

“Setelah saya ceritakan (keadaan Karin) ke teman-teman BPIP, ada inisiatif untuk ketukan di Rendezvous Cafe,” kata Riki merujuk pada salah satu bar yang cukup terkenal di Palembang.

Miera Pelangi, penggagas BPIP, menghubungi pemilik kafe, David “Bobo” Lim.

“Karena Karin itu musisi, penyanyi. Ia juga membawa gitar, ukulele, dan alat musik tiup bepergian. Kami meminta bantuan teman kami pemilik kafe tersebut agar Karin bisa mendapatkannya dokar di sana,” kata Miera.

“Kamu tangkap Kari meraih dan menceritakan kisahnya, banyak pengunjung yang merasa kasihan padanya dan dengan tulus memberinya uang. Kami (BPIP) juga Membagikan di media sosial,” ujarnya.

David sang pemilik kafe pun membelikan Karin tiket pesawat ke Jakarta agar bisa mendapatkan paspornya.

Solidaritas antar pecinta bepergian dan musik

Di sela-sela kegiatan rutin, anggota BPIP bergantian mendampingi Karin. Miera yang sehari-harinya berprofesi sebagai bidan pun menyisihkan waktunya.

Saat ditanya alasannya ingin membantu, Miera menjawab: “Karena kami memiliki hobi yang sama bepergian.”

Saya bisa merasakan bagaimana rasanya mengalami bencana dan tidak mempunyai uang sama sekali di negara seseorang. “Juga ada rasa kemanusiaan dalam saling membantu dan membantu sesama,” akunya.

“Jika saya naik pesawat melintasi wilayah yang berbeda, orang-orang yang tinggal di bawahnya dan pengalaman berharga itu tidak akan pernah ditemukan.”

Riki yang juga memiliki pekerjaan tetap, mengambil cuti dari kantor. Dia tidak menyangka hal seburuk itu akan terjadi pada Karin.

“Saya merasa bersalah dan tidak enak. Pelancong sendirian, tidak ada yang tahu, dan barang-barang berharga dicuri. Jadi saya merasa harus membantu semaksimal mungkin,” kata Riki.

Tak heran jika Miera, Riki dan kawan-kawan lainnya turut membantu masyarakat yang membutuhkan, karena BPIP mempunyai motto “Kami bukan komunitas, kami adalah keluarga“.

Karin pun mengaku sangat berterima kasih kepada perkumpulan sepasang kekasih tersebut bepergian Itu.

“Masyarakat backpacker “Indonesia sangat-sangat membantu,” kata Karin. “Mereka membawa saya kemana-mana, bertindak sebagai penerjemah dan membayar semuanya ketika saya tidak punya uang sama sekali.”

Terdampar di negeri orang lain

BPIP didirikan pada bulan April 2013. Mereka rutin membuat kopi bubuk setiap dua bulan sekali.

Di hari ulang tahun BPIP yang ketiga ini, mereka mengadakan “Kulukilir Peh”, yaitu kegiatan yang mengajak peserta mengunjungi tempat-tempat wisata di Palembang. Para kontestan kemudian diberikan tantangan di setiap objek wisata. Salah satu tujuan kegiatan ini adalah untuk menonjolkan potensi wisata yang ada di Palembang.

Selain BPIP, ada pemilik kafe Rendezvous, David “Bobo” Lim yang turut andil membantu Karin.

Karin mengingatkan David tentang pengalamannya tinggal di “daerah kerakyatan”. “Lebih dari separuh hidup saya tinggal di luar negeri. “Saya bisa merasakan bagaimana rasanya terdampar di kota orang lain,” kata David. —Rappler.com