Pemerintah ingin menyelesaikan pelanggaran serius tragedi 1965 tanpa CIA
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Jaksa Agung mengatakan yang bisa diterima CIA adalah pemerintah Indonesia, bukan Komnas HAM. Namun, pemerintah belum akan meminta data kepada CIA.
JAKARTA, Indonesia—Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah memilih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada pembantaian tahun 1965 dengan opsi pro justicia dan non justicia, dibandingkan menyerahkan dokumen dari intelijen Amerika Serikat (CIA) untuk dibuka.
“Iya silakan saja, itu kewenangan Komnas HAM, mereka bisa. Tapi kami sepakat dengan Komnas HAM dan duduk bersama mencari solusi. “Solusinya ada dua, pro justicia dan non justicia,” katanya, Rabu, 16 Maret.
Ide pembukaan dokumen intelijen tersebut muncul setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta bantuan Presiden Barack Obama untuk membuka dokumen intelijen terkait peristiwa 1965.
Lanjut Yasonna, menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, opsi pro justicia sulit diambil, apalagi dalam kasus tragedi 1965. “Penghilangan orang secara paksa juga sulit, jadi terbuka ruang untuk urusan non-yudisial yang sekarang sedang dibicarakan,” ujarnya.
Komnas HAM tidak bisa mewakili pemerintah
Sementara itu, Jaksa Agung Prasetyo saat dihubungi Rappler mengatakan, tindakan Komnas HAM dalam melobi CIA tidak bisa dicegah, tapi juga dinilai tidak signifikan.
“Karena yang bisa diterima adalah pemerintah, sebaiknya pemerintah Indonesia bertanya kepada CIA,” ujarnya.
Prasetyo melanjutkan, pemerintah tidak akan meminta CIA untuk saat ini, melainkan akan melengkapi data yang ada.
“Pemerintah saat ini sedang berupaya memfinalisasi hasil penyelidikan yang selama ini dinyatakan belum lengkap,” ujarnya.
Bagaimana tanggapan Komnas HAM?
Anggota Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron yang baru saja bertemu dengan petinggi CIA menilai pernyataan Menteri Yasonna bersifat normatif.
“Hal ini yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat, dapat dicapai melalui jalur yudisial (justicia) dan non-yudisial (pro justicia),” ujarnya kepada Rappler.
Nurkhoiron melanjutkan, apa yang dilakukan Komnas HAM atas permintaan korban dan keluarga korban. Komnas HAM hanya menempuh jalan itu untuk memenuhi permintaan mereka, ujarnya.
Ia menambahkan, Komnas meminta data keterlibatan Amerika saat itu kepada HAM.
“Permintaan para korban yang menginginkan sikap terbuka dari negara-negara yang terlibat membantu operasi dan penyerangan terhadap komunisme saat itu,” ujarnya.
Sejauh mana keterlibatan pemerintah AS?
Lima puluh tahun yang lalu, Kedutaan Besar Amerika di Indonesia mengirimkan pesan kabel kepada pemerintah pusat di Washington. Pesan tersebut pada intinya menanyakan kesiapan dana untuk membantu kelompok sipil yang aktif melawan pengaruh komunisme di Indonesia.
Pada tahun 1965, kelompok sipil dan militer di bawah komando Jenderal Soeharto bekerja sama untuk memusnahkan anggota Partai Komunis Indonesia dan pengikutnya, setelah tujuh jenderal terbunuh pada tanggal 30 September.
Lanjut Nurhiron, data yang dimintanya dari CIA tidak sama dengan data yang diberikan pemerintah. Nurkhoiron mengatakan data ini merupakan pelengkap data pemerintah. “Pemerintah harus mendukung upaya Komnas HAM,” ujarnya.
Apalagi jika ingin menyelesaikannya secara non-yudisial, pemerintah harus membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baru.
“Datanya akan sangat berguna,” ujarnya. —Rappler.com
BACA JUGA