Pemerintah terus mengejar perusahaan-perusahaan luar negeri yang menghindari pajak
- keren989
- 0
Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.
Faktanya, banyak perusahaan digital asing yang sudah lama membuka usaha di Indonesia, menghasilkan keuntungan besar, namun tidak membayar pajak.
JAKARTA, Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyasar perusahaan-perusahaan besar asing yang diduga tidak membayar pajak dengan baik. Sebaliknya, pelaku usaha mendaftarkan jenis usaha yang tidak sesuai dengan kegiatan yang dijalankannya.
Setelah ditelusuri, sebagian besar perusahaan tersebut bergerak di sektor digital.
“Sebagian besar berbentuk perseroan terbatas, Kantor perwakilanserta perorangan,” kata Ken Dwijugisteadi, Direktur Jenderal Pajak, di kantornya, Rabu 6 April.
Nama-nama yang disebutkan adalah Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo. Twitter hanya memiliki kantor perwakilan di Indonesia, sedangkan Google, Facebook, dan Yahoo telah terdaftar sebagai badan usaha sejak tahun lalu.
Bentuk usaha ini tidak menjadi masalah jika nama-nama besar di atas tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Bahkan, mereka meraup pendapatan besar dari bisnis periklanan digital.
“Sekarang ditetapkan menjadi Badan Usaha Tetap (MAAR),” kata Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, Muhamad Hanif.
Mereka juga akan menyelidiki kewajiban pajak penghasilan selama perusahaan beroperasi di Indonesia.
TAPI menurut Pasal 2 ayat 5 UU Pajak Penghasilan adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan, yang tidak bertempat tinggal di Indonesia; atau berada di Indonesia untuk jangka waktu 12 bulan untuk menjalankan bisnis di Indonesia.
Namun, pemerintah sejauh ini mengakui bahwa mereka melewatkan pajak dari operasional bisnisnya. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, perusahaan-perusahaan tersebut mengabaikan kewajiban membayar pajak di Indonesia.
“Mereka hanya berpihak pada negara asal,” ucapnya Bambang.
Salah satu contohnya, Google. Sejak masuk ke Indonesia, mereka tidak pernah membayar pajak.
Pajak miliaran dolar AS
Menurut Hanif, nilai pajak dari keuntungan iklan perusahaan-perusahaan tersebut sangat besar.
“Bisa mencapai miliaran dolar AS,” ujarnya.
Padahal, berdasarkan perjanjian ekonomi digital antar negara anggota G20, seharusnya Indonesia menerima sebagian keuntungan tersebut melalui pajak.
“Kalau mendapat keuntungan dari suatu negara, pajaknya harus masuk ke negara itu. Bahkan ke negara lain pun tidak, kata Bambang.
Sistem perpajakan ini juga dicatat oleh perjanjian, atau perjanjian antar negara. Singapura, negara tempat perusahaan online di atas mendaftarkan usahanya, sudah memiliki perjanjian dengan Indonesia.
Perjanjian tersebut menjamin perusahaan tidak akan membayar pajak dua kali. Bambang menjelaskan, pajak yang terutang oleh induk perusahaan di Singapura dipotong sebesar pajak penghasilan di Indonesia.
“Kalau di Singapura pajaknya 10 persen, di sini 5 persen. Nanti di sana (Singapura) tinggal bayar sisa 5 persen saja. Yang penting bayar di Indonesia dulu, kata Ken.
Pemerintah berupaya menerapkan undang-undang perpajakan pada ekonomi digital. Untuk hal ini mereka bekerja sama dengan kantor pajak Negeri Singa.
Dari sana, pemerintah bisa memperoleh besaran pendapatan dan pajak yang harus dibayar. – Rappler.com
BACA JUGA: