• November 25, 2024

Penampilan terakhir Ibu-Ibu Kendeng

JAKARTA, Indonesia— Ambarwati menatap tajam sekelompok jurnalis yang memotret kakinya. Dia lalu tersenyum. Kakinya yang dibalut plester direntangkan di depan kotak kayu yang akan menjadi ‘tempat belenggunya’ entah sampai kapan.

Kaki mereka akan dijebloskan atau dibelenggu dalam kotak berisi semen sebagai bentuk protes terhadap pembangunan pabrik semen di kampung halamannya di Pati, Jawa Tengah.

Dia kemudian memanggil penulisnya ‘Nyonya’. Penulis dan Ambarwati belum pernah bertemu apalagi saling kenal.

Namun dia meraih tangan penulis itu seolah-olah dia adalah seorang kenalan lama yang hilang dan berkata, “Saya rasa saya mengenalnya. Wanita ini selalu ada saat kami berdemonstrasi. Mbak juga ada di Semarang waktu itu, kan?”

Tentu saja penulis geleng-geleng karena belum pernah ke Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Meskipun sebenarnya tidak.

Penulis kemudian menghampiri Ambarwati dan mulai menanyakan rencana 9 perempuan asal Kendeng ini dengan membawa dua karung semen, kerikil, pasir dan air.

Ambarwati mulai bercerita tentang persawahan di kampung halamannya di Pati, kawasan pegunungan Karst Kendeng, Jawa Tengah. Dia berbicara tentang musim ketiga dan musim pelabuhan.

Dikatakannya, pada musim ketiga biasanya ia menanam semangka, sedangkan pada musim pelabuhan ia menanam padi.

Gemah ripah loh jinawi alias tanah sejahtera dan subur. Kehidupan warga Kendeng menyatu dengan alam. Tapi itu sebelumnya.

Sekarang Ambarwati dan warga di sekitar Pati kesal. Semua berawal dari kabar pembangunan pabrik semen di daerah mereka.

Pembangunan pabrik semen tersebut dilakukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement.

Ia tahu bahwa pabrik itu akan menggali ke dalam perut bumi dan menghancurkan ‘ibu bumi’ yang ia lindungi.

Kini kekhawatiran Ambarwati menjadi kenyataan. Saluran air mulai terganggu.

Namun kekhawatiran tersebut berbanding terbalik dengan fakta yang ada karena pembangunan pabrik semen tersebut akan tetap berjalan karena telah mendapat izin dari bupati yang menerbitkan izin lingkungan (AMDAL).

Anak perusahaan Indocement semakin kuat karena menguasai Lahan seluas 2.868 hektar di Pati.

Merasa risih dengan keberadaan pabrik semen tersebut, Ambarwati dan warga Pati lainnya mengajukan gugatan pada tahun 2015. Langkah warga Pati ini kemudian diikuti warga sekitar Karst Kendeng, seperti Rembang, Blora, dan Grobogan.

Perjuangan yang dilakukan Ambarwati dan warga Pati-Kendeng membuahkan hasil. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan gugatan masyarakat Pati pada Selasa, 17 November 2015. Sidang tersebut diwarnai tangis haru warga Pati yang rela berjalan kaki sejauh 122 kilometer demi mendapatkan keadilan.

Bupati Pati tidak terima dengan kemenangan masyarakat Pati dan mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Tetapi Kemenangan warga Pati terus menginspirasi dan mendorong warga di tiga tempat lain di sekitar pabrik semen untuk mengambil tindakan hukum terhadap pabrik semen tersebut.

Sayangnya gugatan warga Rembang tidak berakhir dengan kemenangan seperti warga Pati. Majelis Hakim PTUN Semarang juga tidak menerima gugatan tersebut karena menilai batas waktu pengajuan gugatan telah habis.

Sementara uji coba terhadap warga Gerobogan masih akan dimulai. Untuk Blora, warga masih memantau perkembangan izin induk yang dikeluarkan bupati untuk perusahaan tersebut.

Perjuangan warga Kendeng tak berhenti sampai di sini. Mereka terus melawan perusahaan semen. Selasa sore di depan Istana Negara, warga Kendeng yang diwakili 9 orang perempuan mengejek penghuni Istana Negara dengan ‘menancapkan’ kaki di kotak berisi semen.

Sambil menunggu kaki ‘ditanam’, Ambarwati dan delapan ‘Kartini’ Kendeng menyanyikan lagu Ibu Pertiwi dalam bahasa daerah. Ia kemudian mengatakan lagu tersebut bermakna tentang Ibu Pertiwi yang selalu melindungi perjuangannya.

Staf khusus Presiden, Jaleswari, menyapa ibu-ibu Kendeng.  Foto oleh Febriana Firdaus /Rappler

“Ibu Pertiwi selalu ada untuk melindungi kita. “Tadi saat ke Jakarta, kami berdoa agar tidak panas,” ujarnya.

Benar saja, cuaca siang itu mendung, padahal terik matahari cukup terik hingga membuat keringat bercucuran di wajah mereka.

Saat tiba gilirannya menginjakkan kaki, Ambarwati menoleh ke arah penulis dengan mata berkaca-kaca. “Aku baik-baik saja, aku putus asa, bukan?” katanya sambil meminta dukungan. Matanya tertuju pada kakinya yang mulai menyentuh semen.

Lalu dia menatap penulisnya lagi. “Aku menangis bukan karena kakiku sakit. “Kasihan anak cucu saya, bagaimana dengan pabrik semennya,” ujarnya.

Sambil kakinya disemen, Ambarwati tak henti-hentinya menitikkan air mata. Berkali-kali ia menyeka wajahnya dengan selendang yang dibawanya dari kampung halaman.

Ditutupi dengan semen.  Foto oleh Febriana Firdaus /Rappler

Ia kemudian menjabat tangan penulis dan berkata: “Apakah saya berdosa terhadap Pak (Presiden Joko Widodo) Jokowi? Benar saya memanggilnya Pak Jokowi atau Pak Presiden?” Penulis mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa Jokowi tidak akan marah jika hanya memberi tahu Pak.

Namun hingga pukul 05.00 sore, presiden yang dihormatinya tak kunjung muncul. Presiden Jokowi hanya mengutus stafnya, Jaleswari Pramodhawardhani, untuk menyampaikan pesan tersebut. “Yang kuat, Bu,” kata Jaleswari kepada ibu-ibu Kendeng.

Jaleswari lalu memberi hormat. Dan beberapa saat kemudian, Rappler melihat mobil RI 2 alias Wakil Presiden Jusuf Kalla lewat. Sayangnya dia tidak datang.

Ibu-ibu Kendeng pun ikut menyapa. Protes hari ini telah berakhir. “Besok saya akan kembali ke sini,” kata Ambarwati. Tekadnya teguh, seolah ini merupakan kunjungan terakhirnya, saat bupati dan aparat penegak hukum tak lagi bisa diandalkan.—Rappler.com

BACA JUGA:

Hk Pools